Bab 2 – Benih Kebencian yang Mulai Tumbuh
Sejak malam itu, suasana di sekitar Kuil Bulan tak lagi sama.
Lucius tidak pernah datang ke sungai tempat mereka biasa bermain. Ia tidak lagi mengetuk jendela kamar Aurelia saat fajar, tidak lagi membawa bunga bulan kecil yang selalu ia petik diam-diam untuk gadis siren itu.
Semua kebiasaan kecil itu—hilang seketika.
Lucius yang Baru
Di halaman kuil, Lucius duduk sendirian di bawah pohon bulu-bulu malam. Matanya yang merah, biasanya lembut dan hangat, kini tampak dingin, penuh jarak.
Para penjaga Demon Bulan memperhatikannya dengan cemas.
Anak itu tidak menangis, tidak marah—hanya diam.
Tapi diamnya bukan tenang.
Diamnya seperti permukaan danau gelap sebelum badai.
“Lucius kecil, apa kau ingin makan?” tanya pelayan kuil.
“Aku tidak lapar,” jawabnya tanpa menoleh.
Itu adalah kebohongan.
Lucius jarang makan sejak kejadian itu.
Setiap kali menutup mata, ia terbayang Aurelia yang menarik tangannya—
menjauh…
takut.
Ia memukul dadanya kecil-kecil, mencoba menghilangkan rasa sesak yang tak ia pahami.
“Kenapa aku diperlakukan seperti monster… padahal aku hanya ingin menjaganya…” bisiknya.
Kekuatan bulan di tubuhnya mulai bergejolak, mengikuti emosi yang tidak ia mengerti. Luka kecil di hatinya, tumbuh menjadi duri.
Aurelia Mencari
Di sisi lain, Aurelia berlari di sepanjang sungai bulan, membawa kerang jimat yang menyebabkan semua masalah itu. Napasnya tersengal, matanya berkaca-kaca.
“Lucius!” panggilnya.
“Lucius, tolong jawab aku!”
Suara panggilannya memantul di antara pepohonan, namun tidak ada jawaban.
Hanya suara air yang mengalir dan angin yang melintas.
Setiap hari Aurelia mencari di tempat mereka dulu bersembunyi dari penjaga, di bebatuan yang biasa mereka duduki, bahkan di cabang pohon tinggi tempat Lucius dulu menyembunyikan permen.
Tidak ada Lucius.
Dan rasa bersalah semakin menjerat hatinya.
“Mungkin dia benar… mungkin dia membenciku sekarang…” gumam Aurelia, air mata menetes ke tanah.
Ia bahkan mencoba mendekati Kuil Bulan, tapi para penjaga menghalanginya.
Siren dan Demon Bulan memang memiliki hubungan yang rumit sejak lama.
“Maaf, putri kecil siren,” kata penjaga.
“Lucius tidak ingin menemui siapa pun.”
Aurelia menggigit bibirnya. “Bukan siapa pun… aku hanya ingin bicara dengannya…”
Tapi tetap saja ia tak diizinkan masuk.
Kesalahpahaman yang Membesar
Malamnya, di balkon kamar bulan, Lucius mendengar bisikan dua penjaga yang sedang berbicara.
“Kasihan Aurelia. Dia benar-benar ingin bertemu Lucius.”
“Biarkan saja. Siren memang takut pada demon. Lagipula, lebih aman kalau anak itu menjauh.”
Lucius membeku.
Takut?
Kau juga takut, Aurelia?
Di matanya, air bening lain muncul—tapi bukan air mata.
Cahaya sihir bulan berkumpul di sekelilingnya, berdenyut pelan.
Rasa sakit berubah menjadi kemarahan sunyi.
“Kalau begitu… aku tidak akan menemuinya lagi,” bisiknya akhirnya.
Tangannya yang kecil mengepal kuat.
“Kalau dia takut padaku… maka aku akan menjadi makhluk yang pantas ditakuti.”
Keputusan itu menjadi goresan pertama dalam hatinya—goresan yang kelak berubah menjadi luka dalam.
Dan malam itu, langit bulan seakan lebih gelap dari biasanya.