Bab 1 – Anak Bulan dan Gadis Siren
Di bawah cahaya bulan sabit yang pucat, hutan di belakang Kuil Bulan berkilau dengan sinar perak lembut. Kerlip kunang-kunang melayang seperti serpihan bintang jatuh, dan di tengah cahaya itu, dua anak kecil berlari sambil tertawa—penuh kehidupan.
Lucius, anak kecil dari bangsa Demon Bulan, berambut hitam legam seperti malam dan bermata merah lembut yang berpendar. Meskipun darah gelap mengalir dalam dirinya, Lucius adalah anak yang tenang, lembut, dan selalu berhati-hati dengan kekuatan yang tersembunyi di tangan mungilnya.
Di sampingnya ada Aurelia, putri kecil dari Ratu Siren. Mata birunya sebening laut, rambutnya berkilauan seperti gelombang keemasan. Setiap gerakan Aurelia membawa keanggunan yang tidak dimiliki anak daratan. Bahkan tawanya terdengar seperti nyanyian angin.
Mereka sudah bersahabat sejak hari ketika Aurelia tersesat dari laut, dan Lucius menemukannya menangis di tepi sungai bulan.
Seharusnya malam ini sama seperti biasanya—bermain, tertawa, dan berbagi mimpi.
Namun sesuatu mulai berubah.
Kesalahpahaman Kecil yang Mengubah Segalanya
Aurelia memeluk sebuah kerang kecil di dadanya.
“Lucius,” ucapnya pelan, “Mama memberiku jimat ini. Katanya benda ini melindungiku dari sihir gelap.”
Langkah Lucius terhenti.
Sihir gelap.
Jari-jarinya mengepal perlahan. “Apa… kamu pikir sihirku gelap?”
Aurelia membelalakkan mata. “Bukan! Aku tidak bilang begitu—”
“Tapi kamu menjauh tadi,” gumam Lucius, lirih. “Waktu aku ingin menggenggam tanganmu.”
Aurelia panik, menggeleng cepat. “Aku kaget karena kerangnya tiba-tiba bersinar! Bukan karena kamu!”
Tapi hati Lucius sudah terlanjur tersentuh rasa sakit.
Dia melangkah mundur. Cahaya bulan memantul di matanya, membuatnya tampak lebih tajam, lebih dingin—dan terluka.
“Kamu bohong.”
Suara kecil itu gemetar.
“Kamu juga menganggap aku berbahaya… sama seperti semua orang.”
Aurelia meraih tangan Lucius, tapi bocah itu menepisnya.
Gerakan yang sama seperti ketika Aurelia secara tidak sengaja menjauh darinya.
Aurelia membeku.
“Lucius, tunggu—”
Namun Lucius kembali memunggunginya, mencengkeram jubahnya erat-erat.
“Kita berjanji untuk tidak saling takut…” suaranya pecah.
“Dan kamu yang melanggar duluan.”
Sebelum Aurelia bisa menariknya, sebelum dia bisa menjelaskan—
Lucius menghilang ke dalam bayang-bayang hutan bulan.
Aurelia berdiri sendiri di bawah cahaya perak, jimat kerang itu terasa dingin di telapak tangannya.
Ia berbisik pada malam, suaranya retak seperti lagu siren yang kehilangan melodi:
“Lucius… aku tidak takut padamu. Aku takut kehilanganmu.”
Namun angin malam membawa suaranya pergi.
Dan pada malam itu, benih kebencian—lahir dari rasa sakit, ketakutan, dan kesalahpahaman kecil—mulai tumbuh diam-diam di hati dua anak itu.