Bagas, 17 tahun, adalah anggota termuda dari keluarga Wiratama. Di mata orang tuanya—sepasang pensiunan guru yang menjunjung tinggi kedisiplinan—Bagas adalah permata yang patuh. Di rumah itu, di bawah atap yang megah namun terasa sempit, Bagas adalah anak bungsu yang tak pernah membantah.
“Gas, jangan sentuh motor itu. Fokus belajar. Kakakmu dulu bahkan tidak pernah meminta motor sampai lulus kuliah,” ujar Ayah suatu sore, tatkala Bagas hanya berdiri menatap motor sport bekas di garasi.
“Ya, Yah. Bagas belajar sekarang,” jawab Bagas, nadanya datar dan tanpa emosi. Kakak-kakaknya, seorang dokter dan seorang akuntan, adalah standar emas yang tak terjangkau, dua bayangan sempurna yang selalu menghantuinya.
Hidup Bagas di dalam rumah adalah rangkaian ‘Jangan’, ‘Harus’, dan ‘Seharusnya’. Intimidasi halus itu melilitnya: harus selalu di kamar saat jam sembilan, harus mendapat nilai A untuk setiap mata pelajaran, harus menjawab semua pertanyaan dengan ‘Ya’ atau ‘Siap’. Ia adalah robot yang diprogram untuk kesuksesan, disetel untuk kepatuhan.
Pukul 15.00, seragam sekolah Bagas yang rapi tersampir di gantungan pintu kamar. Ia telah menyelesaikan sesi belajar wajib sore, menyisakan buku-buku tebal yang terbuka sebagai alibi.
“Bu, Bagas ke rumah Raga ya, mau bahas tugas kelompok Sejarah,” izinnya, suaranya sopan dan santun.
“Jangan lewat dari Maghrib, Nak. Telepon Ibu kalau sudah mau pulang,” pesan Ibunya, tak pernah curiga, karena Bagas tidak pernah melanggar.
Begitu pintu gerbang rumah mewah itu tertutup di belakangnya, pernapasan Bagas seolah lega. Ia berjalan cepat ke gang sempit di ujung jalan kompleks. Di sana, sudah menanti sebuah jaket jeans dan helm full-face hitam.
Dalam hitungan detik, Bagas Wiratama yang polos, anak patuh kebanggaan keluarga, lenyap.
Yang muncul adalah ‘Bayu’, seorang remaja dengan mata tajam, jaket berstiker band metal, dan motor tua yang sengaja ia parkir jauh dari rumah. Ia menghidupkan mesin, meninggalkan asap knalpot tebal di udara.
Bayu adalah Bagas yang bebas.
Ia melaju ke sebuah warung kopi di pinggir kota yang jadi markas kelompoknya. Mereka bukan geng motor besar, hanya kumpulan anak muda yang mencari pelarian dari rumah mereka yang terlalu ‘sempurna’ atau terlalu ‘hancur’.
“Yo, Bayu! Tumben cepat,” sapa Rio, pemimpin kelompok kecil itu.
Bagas, atau kini Bayu, hanya menyeringai. “Biasa, kabur dari markas neraka.”
Malam itu, Bayu bukan hanya minum kopi dan tertawa keras. Ia beradu argumen, suaranya lantang dan berapi-api—sesuatu yang mustahil ia lakukan di rumah. Ia bahkan terlibat sedikit perselisihan dengan sekelompok remaja lain di jalan, menyelesaikan masalah itu dengan ketegasan yang tak pernah ia tunjukkan.
“Gue suka di sini, Yo. Di sini, kalau gue marah, gue boleh marah. Kalau gue salah, gue boleh salah,” kata Bayu, sambil mengisap rokok yang ia sembunyikan dalam lipatan jaket.
Waktu berlalu tanpa terasa. Bayu si berandalan selalu pulang ke rumah tepat sebelum adzan Maghrib, kembali menjadi Bagas si anak patuh. Kehidupan ganda ini memberinya keseimbangan yang rapuh. Ia butuh kebebasan, namun ia juga takut kehilangan cinta (atau setidaknya persetujuan) keluarganya.
Suatu malam, ketegangan mentalnya mencapai batas. Ia sedang berkumpul dengan teman-temannya—mereka berencana pergi jauh keesokan harinya—saat ponselnya bergetar. Bukan dari Ibu, melainkan dari Ayah.
“Bagas, kamu di mana? Raga bilang kalian tidak ada janji tugas hari ini. Jangan bohong pada Ayah!” Suara Ayah di telepon dingin, menembus jaket jeans dan kulitnya.
Wajah Bagas mendadak pucat. Ia melihat teman-temannya yang bingung, lalu ke jalanan gelap yang memberinya begitu banyak keberanian.
Bayu yang gagah tiba-tiba runtuh, kembali menjadi Bagas yang ketakutan.
Ia bergegas pulang, motornya melaju kencang. Ketika ia membuka pintu rumah, ia disambut oleh Ayah yang berdiri tegak di ruang tamu, diapit oleh kedua kakaknya yang menatapnya dengan kekecewaan.
“Dari mana kamu, Nak?” tanya Ayah, suaranya rendah, jauh lebih menakutkan daripada teriakan. “Jelaskan jaket apa itu. Rokok yang kamu tinggalkan di saku celana seragammu tadi pagi itu apa?!”
Bagas tercekat. Ia tahu ia tidak bisa berbohong lagi. Selama ini, ia membangun dua kehidupan untuk bertahan hidup, namun kini kedua dinding itu bertabrakan, menghancurkan dirinya di tengah.
“Aku… aku hanya ingin sedikit bebas, Yah. Aku lelah terus menjadi apa yang kalian mau!” teriak Bagas, pertama kalinya ia meninggikan suara di rumah itu. Air mata, yang selalu ia tahan saat menjadi Bagas, kini tumpah bersama kejujuran yang pahit.
Ayah terdiam, tak menyangka anak bungsunya yang pendiam menyimpan amarah sebesar ini. Namun, yang keluar dari mulut Ayah bukanlah pengertian, melainkan kekecewaan yang mendalam.
“Kamu telah mengkhianati kepercayaan kami, Bagas. Kamu merusak nama baik keluarga ini.”
Bagas mundur selangkah. Di mata keluarganya, ia hanya melihat penilaian, bukan rasa sakitnya. Ia menyadari, kepatuhan yang ia berikan selama ini adalah satu-satunya mata uang yang membuatnya berharga di rumah itu.
Ia menatap Ayah, Kakak-kakaknya, dan seluruh rumah yang terasa seperti penjara emas.
“Kalau begitu… aku bukan Bagas yang kalian kenal lagi. Aku memilih Bayu.”
Ia melemparkan kunci motornya ke lantai marmer, berbalik, dan berlari keluar. Di balik pintu, ia tidak tahu ke mana ia akan pergi. Ia hanya tahu satu hal: ia tidak akan kembali ke dalam sangkar yang penuh dengan ekspektasi dan intimidasi atas nama kasih sayang itu.
Selesai.