Payung kecil itu seakan menjadi dunia baru bagi Alea dan Raka. Jalanan masih basah, aroma hujan masih memeluk udara, tapi kini semuanya terasa berbeda—seolah setiap langkah perlahan menghapus jarak yang selama ini memisahkan mereka.
Namun hati Alea tetap berdebar cemas.
Perasaan yang lama dipendam muncul kembali seperti gelombang yang menabrak tanpa aba-aba.
Raka meliriknya sesekali. “Kamu kedinginan?”
“Enggak,” jawab Alea cepat, meski sebenarnya dingin itu ada… tapi bukan dari hujan.
Dingin itu datang dari ketakutan akan masa lalu yang mungkin terulang.
Beberapa langkah kemudian, Raka tiba-tiba berhenti.
Alea menatapnya bingung. “Kenapa berhenti?”
Raka menatapnya dengan cara yang membuat waktu seperti menahan napas.
“Aku pengen jujur sesuatu.”
Alea menelan ludah. “Tentang apa?”
Raka menggeser payung agar melindungi Alea lebih penuh, sementara dirinya sedikit kehujanan.
“Dua tahun aku pergi… bukan karena aku nggak sayang,” ucapnya pelan. “Tapi karena aku takut. Takut gagal ngejaga kamu. Takut bikin kamu terluka terus.”
Alea menunduk. “Tapi kamu tetap ninggalin.”
“Aku tahu.” Suara Raka merendah, penuh penyesalan yang tak bisa ia sembunyikan. “Dan tiap hari aku nyalahin diri sendiri soal itu.”
Alea memejamkan mata.
Bagian dirinya ingin marah…
Bagian lainnya justru merindukan pelukan yang dulu membuatnya merasa aman.
“Kamu sekarang bilang mau memperbaiki semuanya,” kata Alea pelan. “Tapi bagaimana kalau nanti kamu takut lagi? Kamu pergi lagi?”
“Aku nggak nyari alasan buat pergi lagi, Le.”
Raka mendekat setengah langkah.
“Aku nyari cara supaya aku pantas buat tinggal.”
Kata-katanya sederhana.
Tapi justru itu yang membuatnya terasa jujur.
Alea menghela napas panjang.
“Raka… kesempatan kedua itu berat. Bukan cuma buat kamu—buat aku juga.”
“Aku siap menanggung beratnya, kalau itu berarti aku bisa jalan di samping kamu lagi.”
Keheningan kembali jatuh.
Tapi bukan hening yang canggung…
Hening yang penuh ketegangan lembut antara dua hati yang ingin bergerak, tapi takut salah langkah.
Alea akhirnya berkata, “Kalau kamu mau mulai lagi… semuanya harus pelan-pelan. Kita nggak bisa langsung kembali kayak dulu.”
Raka mengangguk seketika. “Aku nggak minta kita balik seperti dulu.”
Ia tersenyum kecil.
“Aku mau kita jadi lebih baik dari dulu.”
Alea menatap mata Raka.
Dan untuk pertama kalinya hari itu… ia percaya sedikit.
“Baik,” bisiknya. “Kita coba… pelan-pelan.”
Raka mengulurkan tangan, bukan memaksa, hanya menawarkan.
Alea ragu sejenak.
Lalu—seperti sebelumnya—ia menyambutnya.
Genggaman itu tidak seerat dulu.
Namun justru karena itulah… terasa lebih tulus.
Di bawah payung yang sama…
Mereka berjalan pulang dengan langkah yang tidak lagi terpisah, meski belum sepenuhnya menyatu.
Tapi setiap cerita besar selalu dimulai dari langkah kecil, bukan?
Dan malam itu… langkah kecil mereka baru saja dimulai.