" Sebuah angan "
Pagi itu aku bangun seperti biasanya, bedanya setelah mandi dan sarapan aku tidak langsung membuka kafe. Karena ini akhirnya pekan, kafe yang ku kelola baru buka siang nanti.
Sebagai gantinya aku mengambil jaket kulit ku, bersiap untuk jalan-jalan.
Mentari pagi menyambut ku saat aku mengeluarkan Leon dari garasi, sinar hangat nya menerpa wajahku. Titik titik embun masih terlihat di ujung dedaunan, udara masih terasa sedikit lembab.
Aku menyalakan mesin untuk memanaskan nya sebentar, lalu mengenakan helm full face setelah mengunci pintu rumah. Tak butuh waktu lama, kuda besi kesayangan ku itu sudah berada di jalanan. Mesinnya menderu lembut di jalanan yang masih sepi, perlahan melaju menuju batas kota.
Banyak orang menyebutnya sunmori, tapi bagi ku itu hanya sekedar jalan jalan untuk melepas sedikit rasa lelah setelah seminggu bekerja.
Angin pagi berhembus lebih kencang saat aku memasuki jalan utama. Matahari baru naik setengah, warna langit masih bercampur ungu dan jingga tipis. Jalanan belum ramai, hanya restoran kecil yang baru membuka pintu, dan beberapa orang tua yang berjalan santai dengan anjing mereka.
Aku memperlambat laju motor, bukan karena aku takut terlambat, tapi karena aku ingin menikmatinya.
Ada sesuatu yang berbeda dengan pagi hari… semacam kedamaian yang hanya muncul sekali dalam sehari, lalu menghilang begitu saja ketika dunia mulai berisik.
Tanganku menggenggam handle lebih erat.
Ini waktuku.
Waktu untuk bernapas tanpa dikejar apa pun.
Saat motor melaju melewati jembatan, sinar matahari menari di permukaan sungai, kilauannya seperti kaca yang pecah dalam gerakan pelan. Indah dengan cara yang tidak berusaha menjadi indah.
Orang-orang sering bertanya kenapa aku suka berkendara sendirian.
Mereka tidak pernah mengerti bahwa di saat seperti ini…
aku merasa paling hidup.
Tidak ada percakapan yang harus dijawab.
Tidak ada ekspresi yang harus dijaga.
Tidak ada peran yang harus dimainkan.
Hanya aku, jalanan, dan suara mesin yang menjadi satu dengan detak jantungku.
Mendekati batas kota, berapa orang pengendara mulai terlihat mengikuti ku, membentuk iring iringan yang teratur. Tidak semuanya menggunakan motor sport seperti milik ku, banyak diantaranya yang motor matic modifikasi. Kami berkendara bersama, saling menyapa sekilas. Kami mungkin tak saling mengenal, tapi kami semua berada disini untuk bersenang-senang.
Aku menepi ketika melihat sebuah kafe kecil di sudut jalan. bangunannya tidak terlalu mencolok, hanya jendela besar kayu tua dan papan nama yang warnanya mulai pudar. Dari dalam, aroma kopi baru diseduh melayang pelan, menembus pintu kaca yang setengah terbuka.
Aku memarkir motor, melepas helm, rambutku berjatuhan sedikit berantakan. Tidak apa. Pagi terlalu indah untuk aku pedulikan penampilan dulu.
Begitu masuk, suara lonceng kecil di atas pintu berbunyi.
kring...
Hangat. Tenang. Seolah dunia di luar berhenti tepat di depan ambang pintu.
Aku memesan cappuccino, lalu mengambil tempat dekat jendela. Sinar matahari masuk halus, menciptakan garis-garis keemasan di meja kayu. Tanganku mengelus cangkir hangat itu pelan, menikmati aroma yang naik sebelum menyesapnya.
Hening yang menyenangkan.
Sampai seseorang mendekat.
Langkahnya tidak tergesa, tenang, seolah dia tahu aku akan memperhatikan.
Aku tidak perlu mendongak untuk tahu siapa itu. Ada sesuatu dalam cara udara di sekelilingku berubah… sesuatu yang terlalu familiar.
" Lia ? "
Suara itu.
Suara yang dulu bisa membuat dadaku terasa penuh hanya dengan satu kata.
Aku mengangkat wajah.
Mataku bertemu miliknya.
Ada jeda satu detik, panjang, jelas, tapi tidak canggung.
Seperti dua buku yang pernah saling menyatu, lalu ditutup, hanya untuk dibuka lagi di halaman yang sama.
“Kau di sini juga,” jawabku pelan. Bukan kaget. Bukan marah.
Lebih seperti aku belum siap, tapi aku akan tetap duduk di sini.
Dia tersenyum samar.
Tidak selebar dulu.
Tidak sehangat dulu.
Tapi aku tetap mengenalinya.
" apa kabar ? "
Dia menarik kursi dan duduk di hadapanku, tanpa menunggu izin. Seolah dunia memberikan ruang untuk itu.
Dan entah kenapa, aku membiarkannya.
Dia duduk di hadapanku, tapi rasanya jarak kami masih sejauh dua tahun yang hilang begitu saja.
" baik "
Tanganku tetap memegang cangkir, tapi genggamannya sedikit menguat, bukan karena gugup, hanya saja tubuh selalu jujur lebih dulu dari hati.
“Aku tidak menyangka kau masih suka mampir ke tempat ini.”
Aku menoleh pada jendela, menatap cahaya yang jatuh ke jariku.
“Ada hal-hal yang tidak berubah,” kataku.
“Walau orang-orangnya berubah.”
" apa kau sedang touring juga ? "
" hanya jalan jalan " aku mengangkat bahu.
" kau sendiri ? " aku balik bertanya.
" tentu saja untuk touring "
" kau tidak berubah ya, masih sama seperti dulu " sebuah senyum tipis terlukis di wajahku.
“Kau terlihat berbeda,” katanya sambil menautkan tangan di meja.
Nada suaranya ringan, tapi matanya mengamati.
Memperhatikan.
Seperti dulu.
Aku mengangkat bahu kecil, pura-pura santai.
“semua Orang bisa berubah.”
“Kau tidak,” jawabnya cepat, terlalu cepat.
" Bukan tidak, kau hanya tidak tahu "
" apa kau ingat ? Dulu kita sering kemari setelah touring. Menghangatkan diri dengan secangkir kopi hangat " lelaki itu menatap keluar jendela, seolah dia bisa melihat bayangan masa lalu disana.
" semua itu sudah berlalu "
" walau begitu tetap masih bisa dikenang "
" maaf, aku harus pulang " aku melirik jam tangan ku, mencoba mencari alasan untuk pergi.
aku bangkit berdiri. Rasanya luka itu mulai terbuka kembali, dan kurasa jika aku berada disana sedikit lebih lama aku akan meledak. Jadi aku pamit dan segera pergi, meninggalkan minuman ku yang belum habis, sama seperti kisah ku dengan nya. Tapi lelaki itu menahan tangan ku sebelum aku sempat benar benar pergi,
" Boleh aku minta nomor kontak mu ? '' tanya nya. Aku hanya menatapnya datar,
" Kalau kau bilang aku tak pernah berubah, kau seharusnya tahu kalau nomor kontak ku masih sama seperti dulu " jawabku sengaja penuh teka teki. Lelaki itu akhirnya melepaskan tangan ku, membiarkan ku pergi.
Pagi itu yang seharusnya tenang berubah menjadi runyam. Hanya karena pertemuan tak disengaja yang singkat, semuanya jadi berantakan.
Di luar, sinar matahari sudah naik lebih tinggi. kota mulai bergerak dengan ritme yang lebih cepat.
Aku mengambil helmku, berjalan menuju motor yang terparkir tak jauh dari pintu kafe.
Mesin menyala dengan suara lembut.
Angin pagi menyentuh pipiku saat aku mulai melaju.
Hening, tapi tidak kosong.
Aku hanya membiarkan pikiran lewat begitu saja, tanpa perlu ditangkap, tanpa diolah.
Perjalanan pulang terasa singkat.
Bangunan kafe menyapaku dengan kehangatan yang familier.
papan kayu kecil dengan nama kafe, aroma kopi yang samar tertinggal dari kemarin, dan jendela besar yang selalu menjadi favoritku saat sore tiba.
Aku membuka pintu kaca.
Bunyi lonceng kecil di atasnya berbunyi
kriing..
suara yang biasanya memberi rasa pulang.
Lampu-lampu hangat kunyalakan satu per satu.
Ruang itu perlahan hidup kembali.
Aku menggulung lengan jaket, mengikat rambut, dan memasukkan apron ke leherku.
Gerakanku otomatis, rutinitas yang telah menjadi bagian dari tubuhku.
Mengelap meja, menyalakan mesin espresso, memeriksa stok pastry di etalase.
Semua berjalan tanpa perlu berpikir.
Dan hari ini tetap berjalan.
Pelanggan akan berdatangan.
Kopi akan diseduh.
Cahaya siang akan masuk lewat jendela besar itu dan memenuhi seluruh ruangan.
Hanya perlu menunggu waktu sampai pelanggan berdatangan, memenuhi kafe siang itu. Senyum kembali terkembang di wajah ku, menyambut pelanggan dengan ramah. Walau aku sendiri tak yakin apakah senyum itu tulus atau palsu.
Suara mesin espresso, denting sendok, dan obrolan pelan mulai memenuhi ruangan, membentuk harmoni yang akrab.
Aroma kopi bercampur wangi butter dari pastry yang baru keluar oven.
Matahari menembus jendela besar, memantul lembut di meja kayu dan cangkir-cangkir putih.
Aku bergerak ke sana kemari tanpa terburu-buru—menyapa, tersenyum, menerima pembayaran, menyodorkan gelas, membersihkan meja.
Ritme yang stabil.
Ritme yang menyenangkan.
Hari berjalan ringan seperti itu.
Menjelang sore, cahaya matahari mulai condong ke arah barat.
Cahaya keemasan masuk melalui kaca, menghangatkan ruangan dengan warna yang lembut, seakan seluruh kafe dilukis oleh senja.
Obrolan pelanggan mereda menjadi gumaman nyaman.
Beberapa duduk dengan laptop, beberapa hanya menikmati minuman mereka sambil menonton jalanan dari balik kaca.
Aku mengusap permukaan meja bar dengan kain lembut, sesekali melirik ke arah jam.
Waktu berjalan perlahan, tenang dan tanpa beban.
Lalu lonceng di atas pintu berbunyi.
kriingg...
Aku menoleh tanpa berpikir.
Seseorang melangkah masuk.
Langkahnya tidak tergesa, tapi juga tidak ragu.
Bukan pelanggan tetap, aku tahu itu dari cara dia melihat sekeliling, memperhatikan ruangan seolah mencatat setiap detailnya.
Tatapan kami bertemu.
Dia tersenyum pelan, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sesuatu yang dia cari.
" Aku menemukan mu "
Aku berhenti mengelap meja.
Tangan masih memegang kain.
Hanya satu detik, tapi terasa lebih panjang dari itu.
Aku menarik napas perlahan.
" Iya,” jawabku.
Suasana kafe tetap hangat, tetap hidup.
Tapi di dalam ruang kecil di antara kami berdua, waktu terasa berhenti.
" Mau pesan apa ? '' tanyaku ramah dengan senyum yang sedikit kupaksakan. Tebak siapa yang datang ?
Ken, Lelaki tadi pagi.
" Apa saja boleh "
" Latte ? "
Dia mengangguk singkat, sembari mata nya terus menatapku lekat lekat.
Sial. Kalau begini aku tidak bisa kabur kemana mana.
Aku membalas dengan anggukan kecil sebelum memutar badan, mengambil portafilter, menuang bubuk kopi, dan menekan perlahan.
Gerakan otot-otot tanganku berjalan otomatis, tapi ada sedikit gemetar halus yang tidak bisa kucoba sembunyikan.
Aku berusaha tak mempedulikan nya, mencoba tetap profesional dalam bekerja.
Suara mesin espresso mengisi celah percakapan yang tak terjadi. Aku menuang susu panas, membentuk buih kecil yang lembut. Aku bisa merasakan tatapannya, meski tidak melihat. '' apa aku boleh minta waktu mu sebentar ? " Aku terdiam.
Kupindahkan latte ke cangkir putih, kuputar perlahan agar buihnya rata, dan entah kenapa, hatiku tergerak membuat latte art sederhana. Kuberi minuman itu ke hadapannya.
Lalu tersenyum. Dia melihat permukaannya sejenak, lalu tersenyum tipis.
" tentu saja " aku melihat jam di pergelangan tangan ku, menjawab pertanyaan nya tadi. Sebelum kami sempat mengobrol lebih lanjut, lonceng di pintu kafe kembali berbunyi. Seorang lelaki menyusul masuk, lalu berjalan mendekat ke meja bar.
Langkahnya terdengar jelas di antara suasana yang mendadak terasa terlalu sunyi.
" Hai kak " sapa ku riang tanpa sadar. Lelaki itu tersenyum manis padaku,
" Halo dik "
" Latte seperti biasanya ? " Tanyaku yang dibalas anggukan olehnya. Aku mengangguk, berbalik mengambil biji kopi, menuang, menekan, mengunci portafilter.
Gerakanku otomatis, terlatih. Tak sampai 3 menit, secangkir latte sudah ku hidangkan di hadapannya.
" Siapa ini ? " Tanya nya sembari melirik Ken di kursi sebelah nya.
" Ah, perkenalkan, dia Ken. Teman ku saat SMA "
Keduanya saling tatap, lalu menjabat tangan satu sama lain.
" Ken "
" Rum "
Aku tersenyum kikuk sementara mereka berkenalan, suasananya terasa sedikit canggung.
" Jarang sekali Lia punya 'teman'. Kalau kamu teman nya berarti kamu orang baik, teman nya Lia teman ku juga "
Aku tertawa canggung,
" kakak bisa aja. bagaimana kerja nya kak ? " Ujarku mencoba mengalihkan pembicaraan.
" melelahkan, kamu sendiri bagaimana ? " Rum balik bertanya.
" Entahlah. Bisa baik, bisa buruk " aku mengangkat bahu, tak yakin harus menjawab apa.
" Selalu saja begitu " dia tertawa kecil. Tanpa sadar aku menatap nya dalam dalam, senyum nya, tawanya, kehangatan yang diberikannya. Dialah yang membuat ku berhasil bertahan sejauh ini. Dapat kurasakan tatapan Ken yang menatapku lekat-lekat, tapi aku berusaha tak mempedulikan kehadirannya. Dia memperhatikan ku sembari menikmati latte miliknya, sementara aku mengobrol dengan Rum dan sesekali melayani pelanggan lain nya.
Aku melirik nya sekilas, cangkir nya sudah kosong, tapi dia belum terlihat ingin pergi. Kurasa Rum juga menyadari nya, karena dia kemudian bilang ingin istirahat di dalam lalu memberiku kode dengan tatapan matanya.
" Kalau begitu aku istirahat dulu di dalam, Kurasa kalian juga ingin membicarakan sesuatu ? " Pamit nya lalu dengan santai masuk ke dalam ruang istirahat staf. Aku menghela nafas pelan,
" Kenapa kau datang kemari ? "
" masih ada hal yang ingin ku bicarakan dengan mu "
aku menghela nafas berat,
" Darimana kau tahu aku ada disini ? "
" Rizky yang memberitahuku "
'' teman mu yang selalu ikut touring dengan mu itu ? dia dan kekasihnya memang kemari tempo hari " aku mengingat ingat teman yang ia Sebutkan.
" Apa sebenarnya yang kau inginkan ? " Tanyaku pelan.
" Apa aku boleh minta waktu mu sebentar ? Aku ingin mengatakan sesuatu "
" Katakan saja "
Dia justru menggeleng,
" Apa kau sama sekali tak bisa memberiku waktu ? Aku hanya memintamu meluangkan sedikit waktu untuk ku " dia menatapku dengan tatapan yang tak dapat ku artikan.
" Kalau begitu nanti sore, setelah aku selesai bekerja "
" Apa kau tidak keberatan kalau kita sekalian mencari angin ? "
Aku menghela nafas pelan,
" Baiklah. Kebetulan aku juga punya banyak hal yang ingin ku tanyakan pada mu " kataku akhirnya. Ken baru bangkit berdiri, dia memberikan selembar uang lima puluhan.
" Ambil kembalian nya " ujarnya sembari melihat ponsel.
" Nanti sore pukul lima, aku akan menunggumu di tempat kita pertama bertemu " lanjut nya sebelum pergi.
Aku menghela nafas lega, akhirnya dia pergi juga. Kaki ku melangkah menuju ruang istirahat staf dimana Rum berada,
" Sudah selesai ? Kenapa cepat sekali ? " Tanya nya saat aku masuk. Dia sedang rebahan di sofa sambil bermain ponsel, dan langsung duduk saat melihatku datang.
" Yah begitulah " aku duduk disebelahnya, lalu tanpa ragu menyandarkan kepala ku pada bahunya.
" Memangnya apa yang kalian bicarakan ? "
" Bukan apa-apa, dia hanya mengajakku untuk bertemu nanti sore. Temani aku ya kak ? " Pintaku.
" Kalau dia mengajakmu bertemu bukan kah itu berarti dia ingin membicarakan hal penting hanya dengan mu ? "
" Aku tahu itu, tapi aku takut akan melukai nya nanti. Aku butuh kakak untuk mencegah hal itu terjadi "
'' baiklah " Rum merangkul ku lalu mengecup lembut puncak kepalaku.
Sore nya setelah aku menutup kafe, sesuai janji aku pergi ke lokasi janjian bersama Rum. Tempat itu sudah berubah, tempat yang dulunya adalah sebuah tempat percetakan itu kini berubah menjadi sebuah kafe. Ken terlihat sudah menunggu dengan motor kesayangan nya yang masih tetap sama seperti dulu, Zura.
" mau kemana ? " Tanyaku saat Leon sudah berada di samping Zura.
" Terserah saja "
Aku berpikir sejenak, lalu sebuah tempat yang sedikit jauh dari hiruk-pikuk kota terpikir olehku.
" Oke, kalau begitu ikuti aku '' aku membawa Leon kembali memasuki jalanan, diikuti Ken dan Rum dibelakang. Kurasa Ken belum menyadari kehadiran Rum yang membuntuti di belakang nya, karena dia belum terlihat ingin protes.
Udara malam terasa dingin menyapa, tapi bukan itu yang membuat bulu kudukku berdiri. Angin berdesir lembut di sela-sela jaket kulitku, membawa aroma aspal basah dan samar wangi bensin. Lampu jalan memantul di permukaan helm, menari di kaca visor seperti bintang yang berlari menjauh.
Aku melaju di depan, suara mesin motor menggema mantap memecah kesunyian. Di kaca spion, dua sorot lampu lain menyusul. satu di tengah, satu di belakang, berbaris rapi seperti bayangan masa lalu yang tak mau benar-benar pergi.
Entah sejak kapan perjalanan malam bisa terasa sesunyi ini. Tak ada suara selain deru mesin dan hembusan angin. Kadang salah satu dari mereka mempercepat laju motornya, mendekat sebentar, lalu kembali menjaga jarak. Seolah ada garis tak kasat mata yang membatasi kami bertiga, cukup dekat untuk terasa, tapi terlalu jauh untuk dijangkau.
Rambu penunjuk arah menuju bar itu akhirnya terlihat di kejauhan, terpampang samar di antara kabut tipis. Lampu-lampu kota perlahan memudar, digantikan oleh hutan kecil di sisi jalan dan aroma tanah lembap yang menenangkan.
Aku menurunkan gas, menunggu mereka sejajar sebelum berbelok ke arah kiri, jalan kecil menuju bar yang hanya dikenal oleh orang-orang tertentu.
Di sana, di antara dinginnya udara malam dan samar cahaya lampu neon, aku bisa mendengar degup jantungku sendiri. dan entah kenapa, suara itu terasa lebih keras dari deru motor siapa pun.
Aku langsung masuk ke dalam bar setelah memarkir motor, diikuti kedua lelaki itu.
" Seperti biasa ya " ujarku pada bartender. Bar kecil itu kosong, hanya ada si bartender dan kami bertiga yang baru datang. Bartender yang sudah hafal dengan pesanan ku mengangguk singkat, dia langsung cekatan meracik minuman untuk ku.
" Tumben kamu mengajak teman ? "
" Aku butuh tempat bicara " aku duduk di kursi bar, tempat favorit ku kalau bar itu sedang kosong. Si bartender hanya mengangguk paham, dia menyodorkan anak panah dart padaku. Ken menyusul duduk di sebelahku, sementara Ares duduk di sisi lain nya.
" Bar ? Kamu sering kesini ? "
" hanya sesekali " aku mengangkat bahu santai.
" Jadi ? Apa yang ingin kau bicarakan ? " Tanyaku.
“ kau benar benar tidak berubah ya ? "
Aku menatap nya dengan sebelah alis yang terangkat,
Ia tersenyum miring, seolah baru sadar dirinya sendiri yang terpeleset.
'' dalam beberapa hal '' koreksi nya. Aku diam tak menjawab, membiarkan rasa canggung menyelimuti. Bartender dan rum yang tak mengerti, hanya bisa saling pandang sembari menebak nebak apa yang sedang ku pikirkan. Aku yakin mereka berdua menyimak dengan seksama setiap kalimat yang terucap, dan memperlihatkan setiap detail kecil yang kulakukan. Karena tak mendapatkan respon apapun dariku, Ken berdehem kikuk,
" Aku pikir…”
Dia berhenti.
Mungkin mencari kata.
“ kau tidak akan mau melihatku lagi.”
Aku tidak menjawab.
" Kau tahu, setelah bertemu denganmu hari ini, kurasa aku menyadari satu hal. Aku.. masih mencintaimu, sama seperti dulu " ungkap nya pelan.
" Apa kau keberatan kalau aku sedikit sarkas ? " si bartender baru saja meletakkan gelas minuman pesanan ku, dia juga memberikan gelas berisi minuman yang sama untuk rum dan ken. Kulihat lelaki itu mengangguk, itu berarti dia tak keberatan. Baiklah, kalau begitu aku juga tidak akan sungkan.
" Kau dulu juga bilang begitu. kau bilang kalau kau tulus, dan tak akan meninggalkan ku. Tapi ? " Aku mengangkat bahu.
Ia terkekeh kecil, getir tapi bukan putus asa.
“Kau selalu berkata seolah kau mengerti semuanya.”
“Aku tidak,” kataku.
“Aku hanya terbiasa menerima.”
Dia mengangkat wajah, menatapku, jatuh, tulus, dan terlambat.
“Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Nada suaranya rendah. Bukan dramatis.
Lebih seperti seseorang yang akhirnya menemukan napas.
" Tunggu ? Dulu ? Bukan kah kau bilang kalian hanya teman ? " Potong rum meminta penjelasan. Aku langsung menatap nya tajam,
" Aku mengajakmu bukan untuk berkomentar " sinis ku. Ken menoleh ke arah rum,
" Tunggu, bukan nya dia lelaki di kafe tadi siang ? Kenapa dia bisa ada disini ? Kupikir kita hanya berdua ? " Protes Ken yang ternyata baru menyadari kehadiran rum di antara kami.
" Kau seharusnya berterima kasih karena aku mengajaknya " ujarku datar. Aku menatap mata nya
Tapi matanya…
matanya bukan mata yang dulu pernah menatapku seolah dunia cukup ditempati kami berdua.
Kini tatapan itu hati-hati.
Pelan.
Seperti orang yang mengetuk pintu, tapi tidak yakin apakah ia masih diizinkan masuk.
Setelah hening sejenak, barulah ia kembali buka suara.
" bisakah kita memulai semuanya dari awal lagi ? Seperti dulu ? " Nada itu…
Ringan.
Seolah ia bukan orang yang pernah meninggalkan luka besar tanpa penjelasan.
Aku meminum minuman di gelas ku sedikit sebelum menjawab,
" Sebelum aku menjawab, biarkan aku bertanya beberapa hal " aku memainkan anak panah dart di jemari ku.
" Katakan saja, aku akan mencoba menjawab nya "
" Pastikan kau memikirkan jawaban mu sebelum menjawab, karena jawaban ku juga bergantung dari jawaban mu " tegas ku. Ken mengangguk paham, dia terlihat yakin dengan pertanyaan yang akan ku lontarkan.
" Pada tanggal 19 Oktober 2 tahun lalu, apa yang kau lakukan ? " Tanyaku. Dart ditangan ku melayang dan melesat, tepat di angka tujuh belas. Pertanyaan pertama, dart pertama.
'' bagaimana aku tahu ? Itu sudah 2 tahun yang lalu "
" Coba saja ingat lagi. aku juga tidak sedang buru buru, jadi kau bisa memikirkan jawaban mu dengan baik " aku beralih menatap rum, yang ternyata juga sedang menatapku. Kulihat gelas nya yang tak ia sentuh sedari tadi,
" Kenapa tidak diminum ? "
Dia hanya tersenyum tipis, seolah meragukan sesuatu.
" Tenang saja, tidak ada kandungan alkohol di dalam nya. Bukan begitu zak ? "
" Benar. khusus untuk mu yang sudah gila, aku tidak berani memberi alkohol walau cuma sedikit " kami kemudian tertawa bersama.
" Kalian terlihat akrab, apa dia sering mampir kesini ? " Tanya rum pada zak.
" Yah, tidak juga. Kami sudah kenal cukup lama, dan dia kemari kalau sedang gila atau ingin menggila "
" Heyy, tidak kali ini. Aku kemari karena tidak terpikirkan tempat mana yang bisa ku gunakan untuk bicara dengan nya " aku menunjuk Ken di sebelahku.
" Itu berarti sebenarnya kau tahu kalau pembicaraan mu mungkin bisa membuat mu menggila, karena itu kau kemari kan ? "
'' itulah kenapa kau mengajakku juga " sambung rum.
Aku berdecak kecil,
" Cih, dasar. Aku kan hanya berjaga jaga "
" Apa kau bisa memberi ku sedikit petunjuk ? Aku benar benar tidak ingat " ujar Ken memutus obrolan kami bertiga. Aku menghela nafas pelan,
" Kau menghilang tepat sehari sebelum kau dan aku bertengkar. tanpa kabar, tanpa kata, tanpa penjelasan " jawab ku.
" Wah wah, kau bahkan ingat detail detail kecil seperti itu ? Aku jadi bertanya tanya sebenarnya ada apa Dengan kalian berdua " rum geleng geleng kepala, dia lalu meminum minuman nya. Kulirik ken sekilas, dia masih terlihat berpikir, mengingat ingat kejadian dua tahun lalu. Diam diam aku mengeluarkan pisau kecil dari saku, bersiap menggunakannya saat Ken menjawab pertanyaan ku nanti.
" Bukan apa apa kok " aku tertawa kecil menanggapi kalimat rum, padahal kepala ku saat ini dipenuhi berbagai asumsi jawaban yang akan dikatakan oleh lelaki disebelah ku itu. Rum ikut tertawa,
" Kau tahu, kau tidak pintar berbohong Lia "
Belum sempat aku menanggapi, suara lelaki disebelah ku yang kutunggu jawabnya terdengar.
" Aku hanya berangkat sekolah seperti biasa kok "
Syuuut...
Pisau yang ada di tangan ku melayang, membuat semua orang terkejut.
" Lia ! " Rum refleks berseru, sementara zak langsung buru buru mengecek kondisi Ken.
Lelaki itu tidak terluka.
Tentu saja, karena sasaran ku bukan dia. Tapi papan dart dibelakangnya. Benda tajam itu menancap di sana, tepat di bagian tengahnya. Ken tentu saja yang paling terkejut, pisau itu melesat hanya satu mili dari daun telinganya barusan.
Keheningan sesaat menyelimuti bar, tak ada yang berani bersuara. Sampai akhirnya aku tertawa,
" Hahahahaha "
" Apa yang lucu ?! " Ken yang keterkejutannya sudah reda langsung naik pitam. Aku sedikit memiringkan kepala ku,
" Yang lucu ? Kau itu sangat lucu tahu " aku menatap nya. kuyakin pupil ku sedang menyusut sekarang, dan itu membuat tatapan ku pada nya terlihat lebih menyeramkan Dimata nya. Aku meletakkan ponsel ku dengan kasar diatas meja bar,
" Sudah kubilang untuk berhati-hati dengan jawaban mu kan ? Kau bilang kalau kau berangkat sekolah seperti biasa, lalu apa ini ?! " Nada suara ku sedikit meninggi. Ku tunjuk layar ponsel ku yang menyala dan menampilkan gambar ken yang berboncengan dengan seorang gadis saat sedang jalan jalan. Ken diam membisu, sementara aku kembali mengambil anak panah dart.
" Dulu kau bilang, kalau kau sedang pergi ke rumah kakak mu. Lalu sekarang kau bilang kau sekolah seperti biasa. Padahal kau sebenarnya sedang jalan-jalan bersama gadis lain kan ? " Aku melempar anak panah. Ken tetap diam, dan tak ada yang ingin bicara, menciptakan keheningan sesaat.
Aku fokus menatap sasaran dart, sementara tangan ku memainkan anak panah lain nya yang sudah ku ambil. Tiba tiba rum menyentuh kepala ku,
" Berhenti membuat tatapan seperti itu, aura mu berubah menyeramkan tahu " ujarnya sembari mengusap usap kepala ku. Aku menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri.
" Benar kawan, lagipula kenapa juga kau tiba-tiba melempar ke sasaran dart yang ada disana ? Sebelumnya kan kau melempar di sasaran yang ini '' sambung zak sembari menunjuk dart di dekat ku yang sudah tertancap 2 buah anak panah. Di bar itu sebenarnya ada 3 sasaran dart, satu di dekat ku, yang kugunakan untuk sasaran anak panah dart biasa, satu di belakang Ken yang menjadi target pisau ku, dan satu lagi di dekat zak.
Aku mengangkat bahu santai,
" Entahlah, tiba-tiba aku ingin melempar ke arah yang berbeda " aku meneguk habis minuman ku.
" Aku mau bintang, yang berry ya "
Zak hanya mengangguk, mau tak mau dia menuruti permintaanku. Rum menyikut perut ku, lalu memberi kode dengan melirik Ken yang masih diam menunduk.
" Apa kau akan terus membisu ? Kalau iya mungkin sampai sini saja pembicaraan kita "
" Maaf '' ujar nya pelan.
" Huh ? " Aku memastikan aku tak salah dengar.
" Maaf " ulang nya. Aku tertawa,
" Hahaha, maaf ? Apa menurutmu maaf mu itu berarti ? Lebih baik kau Jawab saja pertanyaan ku "
Ken tak menjawab, dia hanya mengangguk sebagai jawabannya.
" Siapa ?- "
" Dia sebenarnya pa- ''
" Jangan memotong kalimatku dong "
" Maaf "
" Aku tahu kok, dia pacar mu kan ? Lebih tepatnya selingkuhan. Tapi yang ingin ku tanyakan adalah, kalau dia pacar mu, lalu aku siapa ? " Aku kembali melemparkan anak panah, benda kecil itu menancap tepat di tengah. Sama seperti pertanyaan ku yang kuyakin tepat sasaran, skakmat.
Ken diam tak menjawab, mungkin lebih tepatnya dia tak bisa menjawab.
" Kenapa ? '' aku menghela nafas pelan, mencoba menahan diri untuk tak mengeluarkan pisau lainnya dari saku.
" Kenapa kau melakukan nya ? Apa salahku padamu ? Kau bahkan pergi begitu saja, kau juga tidak bilang apa-apa.”
Suara itu tetap lembut tapi jelas.
Dia menunduk, menahan sesuatu yang tidak selesai.
“Aku salah.”
Hanya itu.
Kalimat yang seharusnya datang dua tahun lalu.
Aku menyandarkan tubuh ke kursi, membiarkan punggungku merasakan sandaran dingin.
Hati tidak bergetar.
Bukan karena aku sudah sembuh.
Tapi karena luka itu sudah diam.
Ia tetap ada, tapi tidak lagi berdarah.
Dia menatapku langsung.
Tanpa bersembunyi.
Tanpa kabur.
“Aku ingin menjelaskan semuanya,” katanya.
“Kalau kau bersedia mendengar.”
Aku mengangguk,
" Katakan "
"kau ingat saat kau bilang kalau aku sama saja dengan lelaki lain karena mengajak mu membahas hal hal yang sedikit tidak senonoh?"
aku mengangguk, aku memang pernah mengatakannya dulu.
"itu karena aku tak menyukai saat kau membahasnya ''
" sejak itu aku mulai mencari gadis lain, dan mati rasa padamu "
"kau sudah pernah mengatakannya " ujar ku dingin. Aku meneguk bintang yang sudah dihidangkan oleh zak,
"kau bilang begitu, tapi kenapa yang kulihat berbeda?" sekali lagi anak panah melesat mengenai sasaran.
"kau sebenar nya menganggapku sebagai orang lain kan ? kau dari awal tak pernah sekalipun menyukaiku, aku adalah pengganti. Sayangnya trikmu ketahuan oleh ku, karena tidak ingin disalahkan, kau justu balik menyalahkan ku. Mengatakan kalau karena aku lah kau mati rasa, lalu menghilang begitu saja tanpa sepatah katapun. " aku tanpa sadar mengeluarkan pisau lainnya dari saku. bukan untuk dilempar, tapi aku hanya ingin menyentuhnya. Rum yang sebelumnya sudah waspada saat melihat ku mengeluarkan pisau hanya bisa terus memperhatikan setiap gerak gerik ku.
"kau tahu? berbulan bulan aku terus bertanya tanya, apa salah ku? apa yang sudah kuperbuat sampai aku melukai mu? tapi akhirnya aku sadar, salahnya bukan di aku. Tapi kau" aku menatap pantulan wajah ku pada benda logam itu, menghela nafas pelan. Dadaku masih terasa sedikit sesak, tapi aku berusaha tak menghiraukannya.
" kalau kau tanya apa kita bisa memulai semuanya dari awal, maka kau salah besar. Memangnya kau dan aku pernah berakhir ? selama ini kau memang masih milik ku, kau hanya berselingkuh terang terangan dihadapanku. Seharusnya yang kau tanyakan, apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak. Dan sayangnya, kedua pertanyaan itu, jawabanku tetap tidak "
“Kita mungkin memang tak cocok menjadi pasangan,” kataku.
“ kita lebih cocok menjadi teman, entah hanya teman mengobrol atau teman jalan jalan ”
Ia mengangguk. dan untuk pertama kalinya sejak dia duduk, aku melihatnya bernapas dengan benar.
“Terima kasih, masih mau duduk di sini.”
Aku tersenyum tipis.
“Terima kasih karena akhirnya datang.”
Dan untuk sesaat…
keheningan kembali menjadi ruang yang nyaman.
" kau seharusnya bersyukur lia masih mau menganggap mu teman dan tidak membunuhmu saat bertemu dengannya "canda zak sembari menepuk bahu ken. Kami tertawa bersama mendengarnya, yah dia benar sih.
" kurasa sudah waktu nya untuk ku pulang "ken bangkit berdiri.
"terima kasih untuk waktu nya "pamit nya. Aku mengangguk sekilas,
"maaf soal pisau tadi "
" jangan takut pada lia ya, dia sebenarnya baik kok. Tapi memang kadang sedikit gila " sambung rum yang langsung ku sikut. Aku diam diam menatap kepergian nya sampai suara deru motor nya tak lagi terdengar,
Seseorang yang pernah menjadi rumah, sebelum pada akhirnya berubah menjadi asing.
Perlahan, aku tersenyum kecil pada diriku sendiri.
Pertemuan tadi bukan awal, bukan akhir. hanya sesuatu yang akhirnya bisa diletakkan di tempatnya.
Aku kembali pada diriku yang sekarang.
Bukan yang dulu menunggu kabar yang tak pernah datang.
Di kota kecil ini
Seharusnya aku bisa dengan mudah menemukannya
Tapi kurasa tuhan tak mengizinkanku untuk bertemu dengan nya
Mungkin tuhan tahu kalau aku sebenarnya belum siap untuk menghadapi nya
Tuhan tahu kalau aku masih butuh waktu
Sebenarnya aku bisa saja melacaknya kalau aku mau
Tapi entah kenapa aku memilih untuk tak melakukan nya.
Mungkin aku takut ?
Takut belum siap untuk menghadapi nya