Hujan sore itu turun tanpa permisi, membasahi trotoar, menyembunyikan jejak-jejak langkah manusia yang tergesa pulang. Di antara keramaian yang berlindung di bawah atap toko, Alea berdiri sambil memeluk tasnya erat. Ia tidak membawa payung. Tentu saja tidak—hari ini ia terlalu sibuk menenangkan hatinya yang berantakan untuk memikirkan hal remeh seperti cuaca.
Ia baru saja melihat seseorang yang tidak ingin ia temui lagi.
Seseorang yang pernah menjadi seluruh dunia baginya.
Raka.
Sudah hampir dua tahun sejak mereka berpisah. Dua tahun sejak kalimat dingin itu melukai Alea:
> “Kita terlalu sibuk memperbaiki masa lalu, sampai lupa membangun masa depan.”
Dan kini, takdir mempertemukan mereka lagi—di depan kafe tempat dulu mereka biasa tertawa, bercanda, dan bertengkar kecil soal hal-hal yang sekarang justru ia rindukan.
Alea menarik napas panjang—tapi sebelum ia sempat melangkah pergi, sebuah payung hitam tiba-tiba terbuka tepat di atas kepalanya.
“Masih sama,” suara itu berbunyi, hangat namun menyimpan ragu.
“Kamu tetap nggak pernah bawa payung.”
Alea terpaku. Raka berdiri di sampingnya, rambutnya sedikit basah, tapi senyum kecilnya sama seperti dulu—senyum yang membuat seluruh pertahanan Alea retak.
“Raka... kamu ngapain di sini?”
“Nyari kamu.”
Jawabannya sederhana, tapi memukul hati Alea dengan keras.
“Maksud kamu apa?” suaranya nyaris bergetar. “Dua tahun kamu nggak ada kabar, lalu sekarang—”
“Aku salah,” potong Raka lembut. “Aku pergi waktu kamu butuh aku. Aku ngebiarin kamu berjuang sendirian. Dan aku menyesal.”
Hujan menetes lebih deras. Alea menunduk, berusaha menguatkan diri.
“Raka… kamu yang minta kita berhenti.”
“Iya.” Raka menatapnya dalam, tidak lari lagi dari kata-kata mereka yang dulu menyakitkan. “Tapi aku juga yang nggak pernah berhenti berharap kita bisa mulai lagi.”
Hening.
Hanya suara hujan, bau tanah basah, dan getaran kecil di dada Alea yang mencoba menolak namun justru semakin merindukan kehadiran di sampingnya itu.
Raka memegang payung dengan satu tangan, dan tangan lainnya terulur pelan.
“Alea… bolehkah aku memperbaiki yang dulu aku hancurkan? Aku nggak minta sekarang… cukup kasih aku kesempatan untuk berjalan di samping kamu lagi.”
Setetes air jatuh ke pipi Alea—entah dari langit atau dari matanya sendiri, ia tidak tahu.
Alea menatap tangan itu lama. Terlalu lama.
Tapi kenangan—yang manis dan pahit—mengalir di antara jarak yang tinggal sejengkal itu.
Akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Raka… kalau kamu pergi lagi, aku nggak yakin bisa bangun kedua kalinya.”
“Aku nggak akan pergi,” suara Raka mantap. “Kali ini… aku tetap.”
Alea menutup mata sejenak.
Lalu tangannya bergerak—pelan, ragu, namun nyata.
Ia menggenggam tangan Raka kembali.
Raka tersenyum. Bukan senyum kemenangan, tapi kelegaan seolah dunia berkata bahwa mereka masih diberi waktu.
“Pulang bareng?” tanya Raka.
Alea mengangguk kecil.
Di bawah payung hitam yang sama, mereka berjalan berdampingan untuk pertama kalinya setelah dua tahun. Hujan tidak lagi terasa dingin. Mereka tidak bicara banyak, tapi genggaman tangan itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan:
Beberapa cinta tidak hilang—hanya menunggu momen untuk pulang.
Di tunggu bagian ke 2 yah