Hujan turun pelan di halaman Ravensbridge Academy, sekolah elite yang selalu tampak seperti bangunan museum Eropa abad pertengahan. Di tengah basahnya sore itu, Aeryn berdiri di bawah atap balkon lantai dua, memandangi halaman yang mulai sepi. Di earphone-nya, Rossa bernyanyi lembut – “Ku mencintaimu… lebih dari yang kau tahu…”
Suara itu menyayat, seolah menarik kembali setiap luka yang selama ini ia coba kubur.
Sementara itu, di bawah, Elena—gadis yang sudah tiga tahun mengisi hidup Aeryn—menahan buku-bukunya di dada. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, namun matanya tetap indah seperti biasa. Ada sesuatu yang ingin ia katakan… namun tak pernah berhasil keluar sejak kemarin.
Mereka memang masih sama-sama muda, tapi cinta yang hadir terasa terlalu besar, terlalu dewasa, dan terlalu rumit untuk usia enam belas.
---
“Aeryn… we need to talk,” kata Elena pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh hujan.
Aeryn turun dari tangga batu, langkahnya lambat. Lagu Rossa masih berputar di telinganya—dan entah bagaimana, setiap liriknya justru membuat hatinya makin sesak.
Saat ia tiba di hadapan Elena, gadis itu memalingkan wajahnya.
Bukan karena benci, tapi karena takut terlihat rapuh.
“Aku mau denger,” jawab Aeryn lembut.
Elena menggigit bibirnya. “Aku… bakal pindah ke Vienna.”
Aeryn terdiam. Angin, hujan, bahkan suara musik di telinganya terasa berhenti.
“Ayahku sudah dipindahkan. Dan mereka mau aku ikut…” Elena menarik napas panjang, matanya mulai berkaca. “Aku mau bertahan. Tapi aku nggak bisa nentang keluarga terus.”
Aeryn menunduk.
Ini déjà vu.
Ia pernah bermimpi adegan ini—entah kapan, entah di mana—dan di mimpinya, ada bunga forget-me-not yang terjatuh dari tangan seseorang.
Kini, adegannya jadi nyata.
“Berarti… kita selesai?” tanya Aeryn lirih.
Elena menggeleng keras. “Tidak. Tapi jarak itu kejam, Aeryn. Kita cuma remaja. Aku takut kita saling menyakiti.”
Hujan makin deras. Aeryn mengulurkan tangan, menggenggam tangan Elena yang dingin.
“Kita yang nentuin kisah ini. Bukan jarak, bukan Vienna, bukan siapa pun.”
Elena diam, menangis pelan.
Dan lagu Rossa masuk ke bagian reff:
“…Namun bila saat berpisah telah tiba
Izinkan ku menjaga dirimu…”
Aeryn menutup mata perlahan.
Lagu itu seperti doa, tapi juga perpisahan.
---
Malam itu, mereka duduk di ruang musik sekolah. Hanya lampu gantung kuno yang menyala, membuat ruangan tampak hangat. Elena duduk di depan piano, sementara Aeryn bersandar di dinding, memperhatikan gadis yang sebentar lagi akan hilang dari kesehariannya.
“Mainin sesuatu,” kata Aeryn.
Elena tersenyum samar. “Lagu apa?”
“Ayat-Ayat Cinta.”
Elena tertawa kecil. “Kamu beneran mau aku nangis?”
“Ya. Biar aku punya kenangan versi lengkap.”
Elena memulai. Jari-jarinya menyentuh tuts piano, menghasilkan melodi lembut yang langsung memenuhi ruangan. Dan ketika ia mulai bernyanyi, suara itu pecah di tengah, penuh air mata.
Aeryn menghampiri, duduk di sampingnya.
Tanpa kata. Tanpa penjelasan.
Hanya dua hati yang sama-sama takut kehilangan.
Ketika lagu selesai, Elena bersandar ke bahunya.
“Aeryn…” bisiknya. “If I ever forget… remind me, okay?”
Aeryn mengecup puncak kepalanya. “You won’t. Aku bakal jadi ayat yang selalu kamu baca.”
Elena tersenyum pahit. “Dan kalau aku sakit hati sampai lupa?”
“Kamu boleh lupa segalanya,” jawab Aeryn, suaranya pelan tapi pasti.
“Tapi jangan lupa bahwa aku pernah mencintaimu dengan seluruh hidupku.”
Air mata Elena jatuh.
Dan untuk pertama kalinya, sejak mereka bersama, ia memeluk Aeryn seerat mungkin—seakan takut dunia merebutnya.
---
Esok paginya, Elena berangkat ke bandara.
Aeryn hanya menerima satu pesan suara:
> “Walau cinta kita berat… aku tahu suatu hari kita bakal ketemu lagi. Mungkin di Paris. Mungkin di tempat lain. Tapi kalau suatu hari aku kembali… tolong jangan berpaling, Aeryn. You are my favorite verse.”
Aeryn memejamkan mata, berdiri di bawah pohon maple merah, tempat terakhir mereka berpamitan.
Suara Rossa kembali mengalun:
“Izinkan ku mencintaimu
Atau tak mencintaimu…”
Dan di angin musim gugur itu…
Aeryn berjanji pada dirinya:
Cinta ini mungkin diuji.
Tapi tidak akan pernah selesai.