𝙑𝙄𝙀𝙉𝙉𝘼
“Ketika doa menjadi bahasa yang tak pernah salah.”
Senja di Vienna turun perlahan, menutup kota itu dengan warna oranye keemasan. Salju tipis mengambang di udara, sementara lonceng St. Stephen’s Cathedral berdentang lembut dari kejauhan.
Arsen berdiri di depan gereja tua itu, napasnya berembun, matanya menatap lantai batu yang basah. Ada doa yang sejak lama ingin ia ucapkan, tapi baru sore itu ia punya keberanian.
Sementara itu, Clare berdiri di sisi pintu, scarf abu-abu membalut lehernya, wajahnya tersapu cahaya senja. Tidak ada musik… tapi hati Arsen memutar satu lagu:
“Maafkan bila ku tak sempurna…
Cinta ini tak mungkin ku cegah…”
Clare menatapnya.
“Akhirnya kamu datang juga.”
Arsen tersenyum kecil. “Aku takut kamu nggak mau lihat aku lagi.”
“Aku marah, bukan benci,” jawab Clare pelan. “Kamu pergi tanpa bilang apa pun.”
Arsen menunduk.
“Waktu itu aku bingung… aku takut. Dan aku nggak mau kamu ikut jatuh sama masalahku.”
Angin Vienna meniup pelan rambut Clare.
“Sampai kapan kamu mau mengorbankan hal-hal tanpa memberi aku kesempatan buat tahu?”
Arsen mendekat satu langkah, suaranya menurun, hampir seperti berbisik.
“Aku mencintaimu. Itu saja yang aku tahu.”
Clare memejamkan mata.
Lirik itu berdengung lagi:
“Pengorbanan cinta yang agung…
Kut’ pertaruhkan…”
Arsen meraih tangan Clare dengan hati-hati, seolah takut ia hilang.
“Aku datang ke sini bukan buat minta dimaafkan… tapi buat bilang aku akhirnya berani menghadapi semuanya. Sama kamu.”
Clare membuka mata, dan untuk pertama kalinya sejak bulan itu, ia tersenyum kecil.
Vienna merajut keduanya dalam dingin yang hangat—dalam diam yang penuh makna.
Dan ketika mereka melangkah menyusuri Kärntner Straße yang mulai menyala oleh lampu malam…
Arsen berbisik.
“Ini bukan akhir, Clare. Vienna cuma permulaan.”
______________________________________
𝙋𝘼𝙍𝙄𝙎🇫🇷
“Karena beberapa cinta hanya butuh satu kota untuk tumbuh, tapi Paris… untuk menetap.”
Hujan gerimis membungkus Paris dalam cahaya lampu kuning yang memantul di jalan basah. Di depan Eiffel Tower yang berkilau, Clare berdiri sambil memegang payung bening.
Arsen muncul dari arah Champs de Mars, sedikit terengah, membawa buket kecil lily putih.
“Kamu telat,” Clare menggodanya.
“Aku deg-degan,” Arsen tertawa pendek.
Mereka berjalan pelan, payung membungkus keduanya dalam dunia kecil milik mereka. Dari kejauhan, Paris terasa seperti lagu yang diputar pelan.
“Aku suka Vienna,” kata Clare, “tapi Paris… beda.”
Arsen memandang wajahnya yang terkena pantulan lampu kuning.
“Karena di Paris, kamu kelihatan paling hidup.”
Clare menggenggam tangan Arsen.
“Kita ini rumit ya.”
“Rumit yang aku pilih,” Arsen menjawab tegas.
Mereka berhenti tepat di bawah Eiffel Tower yang bersinar seperti debu emas.
Hujan makin halus.
Suasana makin pelan.
Hati makin jujur.
Arsen mendekat, menatap mata Clare.
“Di Vienna aku minta kesempatan…
Di Paris aku berjanji.”
Clare menahan napas.
“Berjanji apa?”
Arsen senyum kecil, tapi matanya serius.
“Berjanji aku nggak akan pergi lagi. Bukan dengan cara pengecut. Bukan diam-diam. Kalau aku jatuh, kamu tahu. Kalau aku naik, kamu ikut. Kalau aku takut, kamu dengar.”
Clare menggigit bibir.
“Dan kalau aku yang takut?”
Arsen menautkan keningnya pada kening Clare.
“Then I’ll stay. That’s my vow.”
Lagu itu mengalun di hati Clare…
“Verses of love tell stories… My love for you…”
Dan di Paris, mereka akhirnya belajar:
Cinta tidak harus sempurna.
Cukup jujur.
Cukup dua arah.
Cukup dipertahankan.
Dan malam itu, di antara hujan, lampu, dan janji…
Mereka tidak lagi saling mencari.
Mereka menemukan.