Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apakah pelecehan dan bullying sudah dinormalisasikan? Bahkan terkadang orang tertinggi pun tidak mau tahu perkara itu.
Bagaimana jika sekolah elit terbaik di sebuah kota yang diimpikan semua orang ternyata sarang bagi oknum-oknum biadab berkeliaran, pihak sekolah yang tak mau ambil pusing atas kejadian bully dan pelecehan yang dialami atau dilakukan siswa-siswinya, bahkan guru sekalipun?
Tuhan itu menciptakan manusia berbeda-beda. Dan tentunya dalam aspek yang berbeda pula. Seperti contohnya, takdir. Hanya sedikit kemungkinan bahwa manusia ditakdirkan dengan takdir yang sama. Begitu pula dengan Iona.
Dunia memang sebercanda itu untuk Iona yang terlahir jelek, bodoh, dan tidak berbakat. Bahkan dia sendiri malu untuk memunculkan dirinya di depan orang banyak. Orangtuanya pun malu mempunyai anak sepertinya, mereka sangat jarang mengenalkannya kepada rekan kerja dan kolega mereka. Mereka tidak menganggap Iona ada.
Iona tersiksa dengan situasi seperti ini, dia membenci hidupnya, dan juga mereka.
Setiap harinya gadis itu akan bertempur dengan psikisnya ketika tungkainya harus tak mau melangkah ke tempat yang lebih pantas disebut neraka.Tanpa melangkah pun sepertinya gadis itu akan tetap tersiksa.
Apalah arti buku dari sampul yang tampak indah namun di dalamnya penuh noda dan kertas yang robek?
"Hai, jelek!" Seseorang menyapa Iona yang baru saja menginjakkan kakinya di kelas.
Betapa menjijikkannya mereka yang katanya berpendidikan tapi tidak tahu bagaimana cara menyapa yang benar. Tertawalah, mereka yang bertampang cantik dengan mulut ringan mengatakan perempuan lain jelek, adakah mereka berpikir jika si jelek tidak ada, maka title cantik di diri mereka juga tidak akan pernah ada.
Iona gadis yang tak beruntung itu duduk di kursinya, tanpa memperdulikan orang-orang sempurna yang mencemooh sejak dia datang tadi.
Seorang remaja laki-laki menghampirinya, duduk di kursi yang kosong di sampingnya, saking menjijikkannya gadis itu sampai tidak ada yang mau menjadi teman sebangkunya.
Remaja laki-laki itu menunjukkan kurvanya sambil menatap wajah Iona yang menunduk.
"Ah, sudah lama tidak bermain." Sungguh memuakkan! Asal kalian tahu, Iona bukan lagi gadis yang suci. Mereka, manusia yang berada di gedung elit ini sungguh menjijikkan. Bayangkan! Gadis yang mereka cemooh buruk rupa dan bodoh, tapi mereka sendiri masih mengambil keuntungan darinya. Apakah pantas para binatang itu disebut manusia?
Dan Iona sendiri pun adalah orang paling dungu yang pernah ada. Imbesil yang secara sukarela menyerahkan dirinya, murahan. Apakah dia tidak ingin melawan? Ah, gadis itu terlalu sumarah, dia lemah, tidak mampu melawan.
Jari-jari panjang laki-laki itu dengan tidak sopannya menjelajah ke paha Iona. Membuat sang empu merasa merinding tak tahan.
Brakk!
Semua orang terkesiap, tercengang memandang kursi yang diduduki remaja laki-laki itu terjatuh bersamaan dengan orangnya.
Sesuatu yang langka! Akhirnya ada orang yang berani menjatuhkan anak ketua yayasan yang didewakan itu. Semua orang kini memandangi Iona, sang pelaku, yang saat itu sudah berlari ke pojok ruangan belakang, gadis itu meringkuk sambil menutup kedua telinganya.
"YONA!" Tyre—remaja laki-laki yang ditendang Iona kursinya itu tentu sangat marah. Tungkainya lebar melangkah menghampiri Iona dan menarik rambut gadis itu.
"Bitch!" Tyre meludah, laki-laki itu membawa paksa Iona berdiri dan menyeretnya hingga sampai ke toilet.
Hanya ada ketakutan yang menguasai diri Iona. Bahkan, air matanya saja sudah tidak bisa lagi keluar. Hanya ada pandangan kosong dari raga yang hampa.
"Apa yang kau inginkan dariku?" Iona berbicara pelan ketika Tyre akan mengguyur tubuhnya dengan air.
"Seleramu jatuh sekali." Sepersekon setelah mengatakan itu, Tyre langsung memasukkan kepala Iona ke ember dan membenturkan ke ember.
Laki-laki tertawa kecil kemudian berucap, "Bukannya kau juga menikmatinya?" Tyre mengangkat kepala Iona mendekat ke wajahnya sambil mencekam rahang Iona sangat keras. Seringai tipis muncul di bibirnya.
Iona menelan salivanya, gadis itu diam-diam mengumpulkan tenaganya untuk segera lari atau mungkin membuat Tyre jatuh kembali, kalau bisa.
Iona selalu berpikir, andaikan saja negara ini melegalkan senjata dibawa ke sekolah, maka jangan harap para penindas itu akan selamat.
Atau … pilihan cuma dua, tetap diam, maka akan terus tersiksa, atau pilihan kedua, nekat membawa pisau lipat, simpan di kantong, kalau mereka mendekat maka ambil pisau itu dari kantong dan tancapkan pada ulu hati mereka. Tidak peduli hotel prodeo akan menjadi hunian selanjutnya.
Dunia itu adil, tapi jika tidak mendapat keadilan maka buatlah keadilan sendiri.
"Kau jelek sekali. Apa ini." Tyre menunjuk jerawat batu di dahi Iona. "Bagaimana seorang gadis jelek sepertimu bisa hidup?"
"Dan bagaimana laki-laki tampan sepertimu membuat orang 'jelek' itu sebagai pemuas nafsumu?" Seseorang berbicara dari balik pintu yang terbuka separuh.
"Sangat memalukan! Kekuasaan dinilai lebih penting dari keadilan. Bagaimana bisa mereka membiarkan hal menjijikkan ini terjadi?" Orang itu memunculkan dirinya. Menatap rendahan kepada Tyre.
"Pangeran?" Nathalie—tertawa. "Kurasa bandit lebih pantas disematkan kepadamu."
Tentu saja, mendengarkan beberapa hinaan yang tidak menyenangkan dari mulut gadis tomboy itu membuat emosi Tyre semakin membuncah.
Irisnya kian menajam menatap orang di depannya. Perlahan, cekamannya pada Iona dilepas. Fokusnya telah berganti kepada Nathalie yang berdiri gagah di depannya, menantang.
"Turunkan tanganmu! Kau bisa terkena pasal 351 KUHP tentang penganiayaan apabila kau berani memukulku."
Tyre berdecih ke samping, amarah semakin banyak mendatanginya. Gadis ini sangat menyebalkan, berbicara sok iya. Membuat Tyre ingin mencakar wajahnya.
"Sakit," sindirnya. Kemudian, Nathalie menarik tangan Iona untuk menjauh dari situ.
"Murahan! Kenapa kau diam saja diperlakukan seperti itu?" Nathalie melepaskan tangan Iona. Gadis itu menyugar rambut pendeknya, dia mulai frustrasi. Semua orang di sini adalah sampah, korban ataupun pelaku.
Sepanjang lorong kaki melangkah pasti ada saja orang-orang yang terjatuhkan. Sudah banyak suara yang menjerit, tapi kenapa tidak ada orang dewasa yang menghentikan,membuka mata mereka untuk sekadar merasa kasihan. Apalagi mengulurkan tangan memberi pertolongan dan menghentikan hal tragis ini?
"Simpan wajah menyedihkanmu itu. Itu tidak berguna." Sudahlah, Iona sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi saat ini. Kebiasaannya selalu menunduk jika berhadapan dengan manusia, terlalu malu menunjukkan wajah jeleknya. Pun dia malu dengan kelemahannya. Nathalie benar dia adalah perempuan yang murahan. Ah, benar juga kata Tyre, Iona juga menikmati ketika dilecehkan, meski dalam paksaan yang tidak mengenakan. Sungguh memalukan.
"Kau ingin berubah? Maksudku apakah kau ingin terus hidup seperti ini?"
***
Saat itu, pagi-pagi sekali, di depan gerbang SMA Elysian sudah mulai ramai dipenuhi oleh siswa-siswinya yang membawa banner-banner yang berukuran besar dan kecil.
Berbondong-bondong mereka kompak menyuarakan keamanan yang tidak mereka dapat. Mungkin, akan ada beberapa manusia yang akan menyembunyikan diri mereka ketika hari itu berlangsung.
Ketakutan, sebuah ancaman besar menghadang mereka.
Hari itu, Nathalie tersenyum puas manakala usahanya untuk mengumpulkan korban-korban dan membuat mereka berani berbuah manis, mereka mau ikut berkontribusi menjalankan hal yang seharusnya sudah lama dilakukan.
"DIMANA KEAMANAN YANG KALIAN BERIKAN?!"
"KAMI BUTUH KEADILAN."
"BEDEBAH! KAMI DI SINI INGIN BELAJAR, TAPI KENAPA KALIAN MEMPERLAKUKAN KAMI SEPERTI BINATANG?!"
"KAMI TAHU KALIAN MELIHAT DAN MENDENGAR, TAPI KALIAN TUTUP MATA!"
"SEKOLAH ELIT, KEAMANAN SULIT!"
"APAKAH BULLYING DAN DAN PELECEHAN SUDAH DINORMALISASIKAN?"
Itu adalah beberapa kutipan di banner dan suara mereka. Mereka kecewa dan marah. Air mata mereka turut turun mendramatiskan keadaan.
Suara serak karena terus berteriak itu tidak menyulitkan mereka untuk terus bersuara meminta pihak terlibat segera diadili. Apalagi setelah melihat polisi yang juga ikut turun tangan mengulik kasus ini. Setidaknya harapan menang mereka menjadi lebih besar.
Amarah pun kian membara ketika mendengar kepala sekolah dan ketua yayasan berbicara. Dasar alazon! Berwibawa tapi semua yang dikatakan dusta. Mereka menyangkal. Nama baik mereka saat ini dipertaruhkan.
Lima jam berlalu, massa telah berakhir, ketua yayasan dan beberapa guru menanggung kekecewaan, aparat keamanan membawa mereka untuk menindaklanjuti kasus, juga beberapa korban dibawa untuk dimintai saksi.
Sorak kemenangan bahagia dan haru mengumandang di cakrawala. Semua orang bahagia hari ini, keadilan akan segera didapat.
Begitu juga dengan anak manusia yang jauh dari massa itu. Iona dan Nathalie, mereka juga tampak bersorak beberapa kali.
"Hidupmu masih berjalan, Na." Nathalie menatap prihatin Iona sembari menepuk bahunya.
"Kenapa kau mau membantu kami?"
"Kau harus tau, Na, budaya menjijikkan di sini sudah lama berjalan. Jauh sebelum kau, aku sudah menjadi korban."
Pandang mata Nathalie kosong diiringi oleh kurva tipis. "Kita terlalu pengecut. Kita tidak berani bertindak padahal kehancuran di depan mata kita. Kita terlalu takut, Na."
Iona hanya menyimak, sebetulnya gadis itu kurang mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Nathalie.
"Dan karena ketakutanku untuk bersuara meminta tolong … itu membuatku binasa. Aku sama sepertimu, tapi kau lebih beruntung dariku."
"Maksudmu?"
"Benar, aku sudah mati. Mereka membunuhku setelah melecehkanku."
Nyenyat.
Iona merosot sebab itu. Gamang muncul. Dia berjalan mundur, tapi Nathalie malah berjalan maju. Iris abu-abunya menyambar Iona, mencoba meyakinkan Iona bahwa dia tidak sedang bergurau. Maka dia kembali berbicara, "Bahkan, kematian ku pun mereka sembunyikan. Ini benar-benar tidak ada yang tahu, hanya kau."
"Keluarga ka—"
"Sayangnya aku sebatang kara." Lagi, Nathalie tersenyum, kentara sekali hantu gadis itu terluka.
Sejak pengakuannya beberapa menit tadi Nathalie merasa ada yang berbeda dari Iona. Gadis itu terlihat lebih diam, dia tidak lagi berani menatapnya.
Nathalie berpikir apakah semenakutkan itu title hantu? Ah, tanpa persetujuan dari Iona, Nathalie langsung memeluk Iona.
"Kita menang." Lagi, dia berkata. Air mata haru mengalir di ujung matanya. Gemirang tak terbatas menguasai jiwanya. Sayang sekali waktunya sudah habis, gadis itu harus pergi bersamaan dengan angin yang membawanya.