Aku selalu percaya rindu punya rumahnya sendiri—tempat ia pulang setelah lelah berkelana. Namun malam itu aku sadar, rinduku telah tersesat. Bahkan lebih buruk: ia pulang ke pelukan yang bukan lagi milikku.
Semua berawal dari pesan singkat yang kuterima pada pukul 22.14—waktu ketika biasanya kau menanyakan apakah aku sudah makan malam.
Tapi pesan itu tidak datang darimu. Datang dari seseorang yang tak pernah kukenal.
> “Maaf… kupikir kamu perlu tahu. Dia bersamaku malam ini.”
Foto yang menyertai pesan itu membuat napasku tertahan. Kau—duduk terlalu dekat dengan seseorang. Tatapanmu lembut, tatapan yang dulu hanya untukku. Dan tanganmu… menggenggam tangannya dengan cara yang tak pernah lagi kau lakukan padaku sejak bulan lalu.
Saat itu, aku tidak marah. Hanya diam.
Kadang, diam adalah suara paling bising yang pernah ada.
Keheningan malam menyelimuti kamar seperti kain kafan. Angin dari jendela membawa aroma hujan, aroma yang biasanya mengingatkanku padamu—tapi kali ini, hanya menyisakan getir.
Aku mencoba menebak: sejak kapan rindumu berubah arah?
Sejak kapan aku tak lagi menjadi tempat pulang?
---
Keesokan paginya, kau datang ke rumahku.
Kau mengetuk pintu tanpa rasa bersalah, seolah kemarin tak terjadi apa-apa.
“Maaf… aku sibuk semalam,” katamu.
Aku melihat matamu—dulu tempat senjaku berlabuh. Kini, senja itu sudah padam.
Digantikan bayangan seseorang yang bahkan tak kutahu namanya.
“Aku sudah lihat,” jawabku singkat.
Mulutmu sedikit terbuka, seakan ingin menjelaskan. Tapi tak ada kata yang keluar, karena pada dasarnya kau juga tahu:
pengkhianatan tak punya pembelaan.
“Aku… nggak bermaksud—”
“Kamu cuma tersesat,” potongku. “Tapi bukan ke arahku.”
Hening kembali turun, menggantung di udara seperti lampu yang hendak padam.
Kau menunduk.
Aku menunduk.
Kita berdua sama-sama lelah.
Akhirnya kau berkata, dengan suara serak yang seperti dibuat dari pasir:
“Kita berhenti saja, ya?”
Aku mengangguk pelan. Ternyata patah hati tidak selalu butuh teriakan—kadang hanya butuh satu kalimat sederhana untuk runtuh.
Kau berbalik, melangkah pergi, membawa seluruh janji yang pernah kau ucapkan.
Sementara aku tetap berdiri di ambang pintu, membiarkan angin pagi menyapu wajahku.
Dan di situlah aku sadar:
Rinduku memang masih hidup,
masih bernapas,
masih memanggil namamu—
tapi ia berjalan sendirian
tanpa arah,
tanpa rumah,
tanpa siapa pun menunggu.
Rinduku tersesat.
Di pelukan orang lain.
Di hatimu yang bukan lagi untukku.
Dan aku?
Aku akhirnya mengizinkan diriku berhenti mengejarnya.
EPILOG — Rumah yang Tak Lagi Kutunggu
Sudah tiga minggu sejak langkahmu menjauh dari halaman rumahku.
Entah kenapa, pagi—yang dulu selalu menyakitkan—kini terasa seperti kertas kosong.
Masih hening, tapi hening yang tak lagi menggores.
Aku mulai belajar berjalan tanpa bayanganmu.
Setiap hari, aku melatih diriku untuk tidak menengok ponsel setiap kali bunyi notifikasi muncul. Aku belajar menutup jendela kamar saat senja mulai turun, karena warna itu—jingga pucat yang dulu kau suka—masih sering membawa ingatan yang membuat dadaku sesak.
Dan anehnya, aku tidak membenci senja.
Aku hanya… belum siap menatapnya penuh.
Orang-orang bilang waktu menyembuhkan.
Padahal, waktu tidak menyembuhkan siapa pun.
Waktu hanya menunggu sampai kita siap menerima luka itu ada.
---
Suatu sore, saat hujan turun tipis seperti debu kaca, aku berjalan ke tempat yang pernah kita datangi berdua—warung kecil di pinggir jalan yang menjual es kopi susu terlalu manis.
Bangkunya masih sama.
Mejanya masih sama.
Hanya aku yang berbeda.
Aku duduk, memesan minuman tanpa gula.
Pemilik warung tersenyum, “Sendirian?”
Aku mengangguk.
“Temanmu itu… nggak bareng lagi?” tanyanya sambil membersihkan gelas.
Pertanyaan sederhana, tapi rasanya seperti membuka lembaran yang sudah kututup rapat.
“Nggak,” jawabku. “Dia sudah menemukan pelukan lain.”
Pemilik warung menghela napas pendek—bukan kasihan, bukan simpati murahan—tapi lebih seperti seseorang yang paham dunia memang sering tidak adil pada hati yang baik.
“Kalau begitu,” katanya sambil meletakkan es kopi di depanku, “biarkan hatimu menemukan tempat baru juga.”
Aku tersenyum kecil.
Tak sepenuhnya percaya, tapi tak menolak nasihat itu.
Saat hendak pulang, aku melihat satu hal yang membuat langkahku berhenti:
langit.
Senja turun perlahan, warna oranyenya lembut sekali, hampir seperti permintaan maaf.
Untuk pertama kalinya setelah semua ini, aku menatapnya tanpa ingin menangis.
Ada perih, iya.
Ada sisa rindu, tentu.
Tapi ada juga sesuatu yang tumbuh diam-diam di dadaku:
tenang.
Aku masih memikirkanmu kadang-kadang—itu wajar.
Rindu tidak hilang, ia hanya berubah bentuk.
Dulu ia ingin kembali padamu,
kini ia hanya ingin aku baik-baik saja.
Malam itu, aku duduk di bawah langit jingga dan berkata pada diri sendiri:
“Aku bukan kehilanganmu… aku sedang menemukan diriku kembali.”
Dan mungkin, dalam waktu yang tidak perlu tergesa,
hatiku akan punya rumah baru—
rumah yang tidak membuat rindu tersesat.
rumah yang tidak membuatku menunggu sambil menahan luka.
rumah yang tidak harus kugenggam erat agar tidak pergi.
Rumah yang memilih tinggal.
Untuk kali pertama setelah kau pergi,
aku percaya tempat itu ada.
Dan suatu hari, aku akan tiba di sana.Pertemuan — Senja yang Tidak Kita Rencanakan
Hujan baru saja berhenti ketika aku masuk ke toko buku kecil di ujung gang. Udara masih membawa sisa dingin yang menempel di jaketku, dan langkahku terasa lebih pelan dari biasanya—seolah tubuhku masih menimbang apakah aku benar-benar ingin berada di sana.
Aku hanya ingin mencari sesuatu untuk kubaca malam ini.
Sesuatu yang membuat kepalaku berhenti memutar ulang kenangan yang tak lagi perlu.
Namun hidup kadang suka bergurau pada waktu yang salah.
Aku menemukanmu sebelum sempat menatap judul buku pertama.
Kau berdiri di lorong sebelah, dengan rambut yang sedikit lebih pendek dan tatapan yang tak lagi kugenali. Ada jeda sesaat—jeda yang terasa seperti menghirup udara yang terlalu dingin.
“…kamu?” suaramu pelan, ragu, hampir seperti kau takut aku akan menghilang jika memanggil terlalu keras.
Aku menoleh.
Bukan karena merindukanmu, tapi karena tidak ada alasan untuk menghindari siapa pun lagi.
“Iya,” jawabku sederhana.
Kita berdiri seperti dua orang asing yang kebetulan pernah saling mencintai terlalu dalam. Tidak ada gemuruh. Tidak ada degup jantung yang berlari. Hanya sunyi yang terasa… lebih lunak dari sebelumnya.
“Kamu apa kabar?” tanyamu.
Aku tersenyum kecil. Senyum yang tidak kutujukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri—yang akhirnya kuat menjawab tanpa goyah.
“Aku baik,” kataku.
Kau mengangguk. Ada lega yang melintas sebentar di wajahmu, lalu hilang begitu saja. Kita berjalan ke arah rak yang sama, entah itu kebetulan atau semesta sedang kehabisan adegan lain untuk dimainkan.
Setelah beberapa langkah yang berlebihan panjang, kau bicara lagi.
“Aku minta maaf… untuk yang dulu.”
Kata-katamu turun perlahan, tidak lagi tajam.
Tidak lagi mencoba memperbaiki sesuatu yang sudah selesai.
“Aku tahu,” jawabku. “Dan aku sudah berdamai.”
Itulah kebenarannya.
Lukanya memang pernah dalam, tapi kini hanya tinggal jejak samar—seperti bau hujan yang tertinggal di udara.
“Aku dengar kamu sama dia…” aku berhenti sebentar, memastikan suaraku tetap tenang. “Semoga kamu bahagia.”
Kau menunduk. “Aku mencoba.”
Ada banyak hal yang bisa kuucapkan, tapi semuanya terasa tidak penting.
Kita telah berjalan cukup jauh untuk memahami bahwa beberapa hal memang tidak perlu dijawab.
“Aku senang kalau kamu baik-baik saja,” katamu.
Aku mengangguk.
Tidak berjanji apa pun, tidak berharap apa pun. Hanya mengakui bahwa kita pernah menjadi bagian yang penting satu sama lain—dan itu cukup.
Ketika aku melangkah meninggalkan lorong itu, aku merasakan sesuatu yang dulu sulit kugapai:
ringan.
Bukan karena kau kembali,
bukan karena aku ingin kembali,
tapi karena pertemuan ini membuktikan satu hal:
aku sudah sembuh.
Di luar, senja turun seperti kabut tipis—lembut, tidak memaksa.
Aku menatapnya tanpa takut. Tanpa ingin larut di dalamnya.
Mungkin pertemuan tadi bukan tentang kita.
Mungkin itu tentang aku—
tentang langkah yang akhirnya tidak lagi tersangkut pada bayangmu.
Dan saat aku pergi, aku tahu:
Ada rumah baru yang sedang menungguku di suatu tempat.
Bukan rumah yang tergesa, bukan rumah yang rapuh—
tapi rumah yang memilih tinggal.
Dan kali ini, aku tidak lagi menoleh ke belakang.
Tamat