Ayah, aku tahu kamu tidak pernah benar–benar tidur nyenyak sejak Ibu sakit dua tahun lalu. Aku tahu dari cara kamu selalu bangun lebih pagi dari siapa pun, dari suara kursi kayu di ruang tengah yang selalu berderit sebelum subuh, seolah ia ikut memahami beratnya bebanmu.
Aku sering pura-pura masih tertidur ketika mendengar langkahmu mondar-mandir, pelan tapi gelisah—langkah seorang pria yang menimbang bagaimana cara agar dapur tetap berasap hari itu.
Ayah, aku tahu kamu tidak suka memperlihatkan wajah lelahmu. Tetapi setiap pagi, sebelum kamu berangkat kerja, aku selalu melihat bekas kantung mata yang tak sempat kamu sembunyikan. Kamu tersenyum, seperti biasa, seolah semua baik-baik saja. Padahal aku tahu, senyumanmu itu rapuh.
---
Kita bukan keluarga berada, Ayah. Rumah kayu kecil kita sering bocor saat hujan deras. Atap sengnya berisik ketika angin malam lewat, dan dindingnya dingin setiap kali musim hujan datang. Tapi kamu selalu bilang, “Selama kita masih bisa makan dan saling menjaga, rumah ini sudah cukup.”
Aku dulu percaya penuh pada kata-katamu.
Sampai suatu hari aku mengikutimu diam-diam.
Aku ingat hari itu: pagi yang mendung, bau tanah basah, dan kamu berangkat dengan jaket lusuh yang warnanya sudah pudar. Kamu menuntun sepeda tuamu, yang rantainya sering lepas kalau dipakai menanjak. Aku mengikutimu dari kejauhan, berjalan pelan dan menyembunyikan diri di balik warung Bu Rasti setiap kali kamu menoleh.
Ternyata benar, Ayah. Kamu bukan hanya bekerja di bengkel kecil Pak Amad seperti yang selalu kamu bilang. Kamu juga memanggul karung goni di pasar, menjadi kuli angkut yang dibayar harian. Kamu mengangkat sayuran dari truk besar ke lapak-lapak pedagang, keringatmu jatuh bercampur debu, dan aku melihat karmu yang dulu kekar telah banyak menurun kekuatannya. Tapi kamu tetap bekerja, tak peduli lututmu yang sering kamu keluhkan saat malam.
Kadang setelah dari pasar, kamu masih bekerja mengantar barang dengan sepeda itu. Padahal ban depannya sudah botak, remnya pun hampir tak berfungsi. Tapi kamu bersikeras—karena katanya, “Selama belum rusak total, masih bisa dipakai.”
Aku melihat semua itu, Ayah. Dan hatiku seperti diremas.
---
Yang paling tak bisa kulupakan adalah malam ketika kamu pulang dengan luka di tanganmu. Luka panjang, merah dan perih. Kamu berdiri di depan pintu sambil tersenyum seolah itu hanya gigitan nyamuk.
“Kenapa, Yah?” tanyaku, berusaha menyembunyikan rasa panik.
Kamu hanya menjawab enteng, “Tadi jatuh dikit, Nak. Nggak apa-apa.”
Padahal aku tahu, kamu terjatuh karena berusaha mengejar waktu, mengantar barang sebelum toko tutup agar kamu bisa dapat tambahan ongkos. Kamu memaksa sepeda tua itu berlari lebih cepat dari umurnya, dan jalan berlubang itu—yang selalu kamu keluhkan—akhirnya membuatmu terpelanting.
Tapi kamu tetap berdiri di depan kami, seolah tak terjadi apa pun.
Ibu yang saat itu sedang duduk bersandar di kursi karena tubuhnya lemah pun menangis diam-diam. Aku melihatnya. Kamu tidak. Kamu sibuk menenangkan kami, bukan dirimu.
---
Ayah, aku tahu kamu selalu marah jika mengingatkan kami soal uang. Kamu bilang kamu tak mau kami memikirkan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu. Tapi bukankah semua itu justru membuatmu memikul beban yang terlalu besar?
Aku ingin membantumu, Ayah. Tapi kamu selalu bilang, “Tugas kamu belajar dulu. Jangan pikirkan kerja sebelum waktunya.”
Kamu selalu mengorbankan dirimu agar kami tidak perlu merasakan susah yang kamu rasakan.
---
Hari ketika kamu pingsan di dapur adalah hari yang mengubah semuanya.
Aku yang menemukannya pertama kali. Kamu tergeletak di lantai, napasmu berat dan dingin keringat mengalir di pelipismu. Piring yang kamu pegang pecah, beras yang tadi ingin kamu cuci berserakan di lantai.
Aku panik. Ibu menjerit. Tetangga berdatangan.
Kamu dilarikan ke puskesmas, dan di sana dokter bilang kamu kelelahan parah, kurang gizi, dan tekanan darahmu sangat rendah. Semua orang kaget. Aku tidak. Aku sudah menduga, sejak lama, bahwa tubuhmu sebenarnya telah berteriak meminta berhenti—tapi kamu tidak pernah mendengarnya.
Saat kamu membuka mata di ranjang puskesmas, kamu melihatku menangis. Tapi kamu tetap tersenyum, seperti biasa, dan bilang, “Ayah nggak apa-apa. Maaf sudah bikin heboh.”
Bahkan saat kamu sakit, kamu masih minta maaf.
---
Ayah, aku tahu kamu tidak sempurna. Kamu keras kepala. Kamu jarang bilang kalau kamu sayang kami, tapi selalu membuktikannya dengan tindakan. Kamu tidak pandai merangkul, tapi kamu pandai menjaga.
Dan aku… aku dulu anak yang hanya melihat hasil dari kerja kerasmu, tanpa benar-benar tahu bagaimana prosesmu bertahan setiap hari.
Sekarang aku tumbuh, Ayah.
Aku sudah cukup besar untuk memahami bahwa kau bukan hanya tulang punggung keluarga—kau adalah fondasi, tembok, dan atap yang melindungi kami dari hujan kehidupan.
---
Ayah, aku ingin bilang ini kepadamu:
Aku melihat semua pengorbananmu.
Aku menyimpan semua keteguhanmu dalam dadaku.
Dan suatu hari nanti, biarkan aku gantian menjaga kamu.
Karena perjuanganmu bukan hanya untuk membiayai hidup kami—tapi untuk mengajarkan bahwa cinta tidak melulu harus diucapkan. Cinta bisa hadir lewat keringat, lewat tangan yang kapalan, lewat senyum lelah, lewat langkah yang tak pernah berhenti.
Ayah, aku tahu kamu tidak meminta imbalan.
Tapi tetap izinkan aku, kelak, membalasnya.
Setidaknya dengan membuatmu bangga.
Setidaknya dengan membuatmu beristirahat.
Setidaknya dengan membuatmu merasa… tidak lagi sendirian.