1/30
Busan, Pusat Medis Busan
20 Maret 2013
Dua jam sebelum operasi.
"Kenapa melamun? Aku akan baik setelah ini."
"Tidak," sahut So Yun sembari tersenyum tipis, "iya, semua akan baik."
Manusia adalah perencana baik dalam langkahnya. Namun, Tuhan adalah perencana terbaik dalam hidup makhluk-NYA.
"Aku dan teman-temanku sudah berusaha yang terbaik. Tapi, kau yang lebih bisa dan yakin tentang kondisinya selama ini. Maaf kami pun mungkin tidak kau butuhkan sekarang."
Tidak pernah ada dokter yang lebih kejam daripada sahabat sendiri saat kau tertimpa musibah. Bukan penenang tetapi, dialah pemberi ruang tenang.
🎐🎐🎐
2/30
Pusat Pemakaman Umum Busan
"Kalau aku bertanya, 'apa kau baik saja?'. Kupikir itu terlalu biasa," ucap Jun Su dingin.
Dan di balik kacamata hitamnya, dia terus memayungi So Yun yang sama sekali tak acuh. Membiarkan bahu kanan kemeja hitamnya basah oleh hujan yang cukup deras sore itu.
"Kau sudah berdiri di sini sejak tidak ada hujan sampai hujan turun. Apa sebegitu menderitanya di tinggal Adikku?"
Diam, So Yun sama sekali tidak menanggapi celoteh sahabat kecilnya. Yang baginya, ucapan dingin yang ia lontarkan tidak lebih dari sekedar ungkapan atas kesedihannya.
"Kau tidak menangis. Tapi, langit menangis melihatmu."
Segera, So Yun melirik sinis sebelum kemudian kembali menatap kosong makam di hadapan mereka.
"Apa salahku jika langit menangis sementara, kau sebagai Kakaknya seolah ingin terdengar begitu membenci Adikmu?" celoteh So Yun datar.
Sejenak, Jun Su tersenyum sinis.
"Kurasa langit menangis karena kau. Kau yang lebih sakit karena ditinggal kembaranmu. Separuh jiwamu terkikis perlahan seperti tetesan air hujan yang melubangi batu. Tiap detik semakin dalam dan tiap menit terasa semakin menyakitkan. Hujan ini untukmu, bukan untukku. Kacamata hitam bodohmu itu terlalu mencolok diantara gelapnya langit."
Membisu, Jun Su sama sekali tidak bisa membalas ucapan gadis di depannya.
Iya, bukan tentangmu. Namun, tentangku. Tentangku yang berpikir bagaimana nantinya harus melangkah tanpa ada lagi sosok yang meneriakkan namaku dengan lantang.
🎐🎐🎐
3/30
Pantai Haeundae
"Untuk apa kau kemari?" tanya So Yun dingin.
Sejenak Jun Su hanya tersenyum geli.
"Aku ingin berpamitan."
"Untuk apa? Aku sudah tahu semuanya. Selamat untuk semua usahamu selama ini. Kau hebat," sahut So Yun seraya tersenyum tipis.
"Iya, kau sudah tahu semuanya tapi, ada beberapa hal yang belum kuketahui darimu. Pertama, kenapa kau memilih Yeong Su? Kedua, kenapa kau berubah? Ketiga, kenapa tidak pernah ada ruang untukku sementara, kau tahu hal itu walau aku tidak mengatakannya?"
Diam, tidak tampak keterkejutan dari ekspresinya. Dia hanya mengerjap dengan tatap datar tanpa mengalihkan pandangan dari ombak laut yang begitu tenang.
"Haaa...kalau begitu, pantai ini saksinya. Menikahlah dengan pria yang kau benar cintai dan miliki anak dari orang itu. Namun, setelah itu datanglah padaku saat aku mengulurkan tangan."
Segera So Yun memandang kesal Jun Su yang sudah lebih dulu menatapnya tajam.
"Kau berkata seolah kau Tuhan."
"Entah," sahut Jun Su seraya menaikkan kedua bahunya sesaat, "aku hanya percaya pada feeling-ku. Aku tidak pernah salah saat aku mengikuti kata hatiku."
"Kau begitu yakin kalau aku akan mengemis padamu," ujar So Yun dengan rahang menguat.
"Tidak. Tapi, kali ini akulah yang mengemis padamu. Kita tidak ditakdirkan sekarang. Sebab aku tahu, kau tidak akan sanggup menerima semuanya."
Sekilas So Yun tersenyum sinis dan tampak menahan air mata di pelupuknya.
"Aku akan pergi cukup lama. Sepuluh tahun. Aku rasa kalau kau menikah tahun depan. Tidak akan terlalu sulit merawatmu bersama anak yang sudah cukup besar, kan?"
"Kau pikir aku serendah itu?"
"Aku tidak pernah memandang ataupun merendahkanmu. Bagiku wanita itu Ratu. Tetapi, di dalam mimpiku kau lebih dari Ratu. Karena itu aku tidak pernah melakukannya."
"Pergi sekarang," ujar So Yun kesal.
"Kau marah karena hal yang tidak pernah aku ceritakan. Sepuluh tahun, kita bertemu sepuluh tahun lagi dan bawa anak itu padaku. Namun, selama itu berbahagialah. Aku pergi."
Dari hal itu aku belajar, menutup sesuatu yang seharusnya diceritakan hanya akan membuat kita saling menyakiti. Karena itu, tempat inilah yang kupilih sebagai saksinya, saksi dari janjiku kelak.
🎐🎐🎐
4/30
Beruang
Setiap boneka beruang yang hanya memiliki satu bentuk namun, memiliki warna serta variasi berbeda pasti juga mempunyai cerita beragam di dalamnya.
"Ayah bilang, boneka ini untuk Seong Jun. Anak Ibu suka, kan?"
"Iya," sahut Seong Jun.
Wanita cantik dengan wajah pucat itu, iya, aku tahu dia. Cha So Yun dewasa yang telah memiliki anak dan sekali lagi, dia kehilangan orang yang dia sayangi bersama beruang yang berlumuran darah. Dan anak berumur lima tahun itu, polos serta tegar. Sama seperti orang yang kukenal. Seolah mereka sedang melakukan reinkarnasi.
Dengan jas hitamnya Jun Su melakukan penghormatan di tempat persemayaman sosok dokter senior bernama, Jang Ki Bum.
"Ekspresimu tetap tidak berubah," ujar Jun Su sembari melakukan penghormatan pada So Yun.
"Jangan mengusikku karena kau tidak akan sama sekali mendapatkan apapun yang kau inginkan. Jadi, silahkan tinggalkan tempat ini."
Datar, So Yun untuk kesekian kali tak acuh pada sosok Jun Su yang telah sepuluh tahun meninggalkannya untuk melanjutkan studi di Paris.
"Aku akan tetap di sini sampai pemakaman selesai. Jadi, pulanglah."
Perintah yang ia berikan pada sosok pria di sisinya seakan memberi gertakan kecil pada So Yun yang sama sekali tidak peduli.
Benci, aku membenci boneka beruang yang meninggalkan kenangan menyakitkan namun, aku pun tidak sanggup melenyapkannya sebab, hanya boneka itu penghangatku.
🎐🎐🎐
5/30
Rumah
"Apa kau pikir aku tempat tinggal yang nyaman?"
"Selalu," sahut So Yun riang.
Yeong Su. Setiap Yeong Su menanyakan hal itu kau selalu menjawabnya dengan perasaan riang bersama senyum yang bahkan padaku pun tidak pernah kau perlihatkan.
"Ibu dan anakmu menyambutku dengan baik saat aku memasuki rumah ini. Tapi, aku selalu dapat sambutan yang 'buruk' darimu."
Diam, So Yun yang tengah duduk di balkon sama sekali tidak menggubris ocehan Jun Su yang berdiri di belakangnya dan tetap memandangi langit malam.
"Apa sebegitu menyedihkan di tinggal lagi 'pria lain yang kau cintai'?"
Seketika pandangan So Yun teralih pada Jun Su yang telah berdiri di sampingnya. Sejenak Jun Su hanya tersenyum tatkala wanita itu menatapnya tajam, sebelum kemudian ia membalas tatap itu dengan tenang.
"Setiap aku mengeluarkan ucapan yang menyikitimu. Kau akan langsung memperhatikanku," ucap Jun Su seraya tersenyum manis.
"Itu memang keahlianmu, kan?" sindir So Yun dengan rahang menguat, "kau selalu melakukan hal yang menyakitkan di hadapanku. Seolah aku tidak sama sekali ada dalam pandanganmu."
Lagi, Jun Su tersenyum sembari menggeleng sesaat, menolak seluruh kalimat yang So Yun lontarkan. Dalam ketenangan dia menatap So Yun yang masih melihatnya penuh kebencian, diusapnya air mata yang sempat jatuh membasahi kedua pipi So Yun dan membuatnya kembali tersenyum.
"Apa yang membuatmu menangis? Teringat Yeong Su, mendiang suamimu atau karena membenciku?" tanya Jun Su santai, "jika kau menangis karena teringat Yeong Su, itu bagus. Jika kau menangis karena mendiang suamimu, itu juga bagus. Tapi, jika kau menangis karena kau membenciku, itu tidak bagus. Sebab hal itu hanya akan semakin menyikitimu karena kau melawan kata hatimu. Aku tahu, kau sekarang tengah berpikir. Apa kau seorang malaikat pencabut nyawa? Menyalahkan diri sendiri dan bla bla bla lainnya. Merasa ingin mengakhiri hidup karena berpikir sebagai pembawa sial bagi orang lain."
Diam, air mata So Yun semakin membasahi kedua pipinya usai mendengar semua celoteh Jun Su. Senyap, hanya terdengar isaknya beberapa saat sampai akhirnya Jun Su menarik dan memeluknya.
Dua puluh lima tahun, untuk semua rasa sakitmu yang tidak pernah kugubris. Bahkan kata 'maaf' pun tidak pantas aku ucapkan. Namun, aku ingin selalu tahu jawabanmu jika aku bertanya, "Apa benar aku 'rumah' yang kau inginkan?"
🎐🎐🎐
6/30
SMP Busan
"Tidak. Aku tidak menyukaimu. Aku hanya ingin berteman denganmu. Jangan berharap lebih…"
Itu yang kukatakan ketika kau mengungkapkan rasamu. Namun, entah kenapa aku merasa sakit saat melihatmu bersamanya.
SMP Busan X, 2006
"Apa baik saja kalau kau menjemputku seperti ini?" tanya So Yun.
"Aku senang. Sekalian bisa pulang bersama Jun Su."
Ho Yeong Su. Dia...Adik kembarku yang periang. Dan...gadis cengeng di sisinya adalah teman satu sekolahku yang sekarang berpacaran dengannya, Cha So Yun.
"Tapi, rumah kita tidak searah," ujar So Yun dengan nada kecewa.
"Searah. Nanti setelah mengantarmu aku akan memutar lewat komplek sebelah. Tidak terlalu sulit. Hehe..."
Mereka merayakan semua. Dari ulang tahun So Yun sampai ulang tahun Yeong Su. Dan senyum yang sejak awal tidak pernah aku lihat itu, selama sembilan tahun hanya dia berikan pada Yeong Su.
🎐🎐🎐
7/30
Taman Kanak-kanak Rainbow
"Hai, Seong Jun?" sapa Jun Su seraya melambai.
Dan bocah laki-laki berumur lima tahun itu langsung berlari riang usai berpamitan pada gurunya. Dia melompat ke dalam pelukan Jun Su yang langsung menyambut dan menggendongnya.
"Paman Jun Su, menjemputku?" ujar Seong Jun riang.
"Tentu. Ayo, kita makan pizza. Kau mau?"
"Mauuu..."
Kedai Pizza Redwine
"Makan yang banyak dan jangan sisakan satu pun."
"Eung," sahut Seong Jun dengan mulut penuh.
"Makan pelan-pelan.
"Ada rasa bahagia yang terpancar dari wajah Jun Su yang untuk sesaat fokus pada Seong Jun yang menikmati makanannya.
"Apa Ibu tahu kalau Paman menjemputku?"
"Tidak. Tapi, Nenek tahu."
"Berarti nanti aku boleh memberitahu Ibu?"
"Tentu. Beritahu semuanya."
"Kenapa Paman sangat baik padaku padahal Ibu tidak menyukai Paman?"
Sejenak, Jun Su tersenyum mendengar pernyataan polos itu.
"Kalau kau dewasa nanti dan bertemu orang seperti Ibumu. Kau akan mengerti bagaimana tahapan menyayangi yang sebenarnya. Karena wanita itu makhluk rumit."
Kini, Seong Jun terdiam dan menggeleng sesaat.
"Aku tidak mengerti."
"Hahahahaha...tidak apa-apa. Yang jelas aku menyayangimu."
"Aku juga menyukai Paman. Hahahaha..."
Tawa renyah ini. Hanya tawa polos seorang anak yang bahkan tidak seharusnya tersakiti karena ego orang dewasa. Aku...entah kenapa begitu menyayanginya yang bahkan bukan darah dagingku.
🎐🎐🎐
8/30
Taman Kunang-Kunang
"Jika kita kemari malam hari aku yakin Seong Jun akan lebih senang karena akan lebih banyak kunang-kunang yang datang. Musim semi tahun ini cukup ceria."
Diam, So Yun tidak sama sekali menggubris ocehan Jun Su dan tetap fokus memandangi anaknya yang tengah melukis pemandangan sekitar tak jauh dari tempat mereka duduk. Dan menyaksikan reaksi So Yun yang datar, Jun Su hanya tersenyum sinis.
"Selamat ulang tahun."
Seraya menyerahkan sebuah kotak lilac berukuran sedang, untuk sesaat So Yun melirik kotak dan wajah Jun Su yang tersenyum sinis padanya secara bergantian sebelum kemudian menerimanya.
"Kau suka melukis, sama seperti Seong Jun. Cukup alat lukis sudah senang, kan?" ujarnya usai So Yun membuka tutup kotak tersebut, "Seong Jun, ayo, bermain bola bersama Paman."
Seakan memberi ruang tatkala So Yun mengangkat surat di dalam kotak tersebut. Jun Su pun beranjak dan langsung bermain bola bersama Seong Jun yang menyambutnya riang.
11 Januari 2027
Di tempat ini, kita merayakan ulang tahunmu bersama Yeong Su. Orang yang kutahu benar-benar menyayangimu lebih dari nyawanya sendiri.
Maaf, mungkin segalanya tidak bisa hanya dengan kata 'maaf'. Bukan karena aku ingin merelakanmu agar Yeong Su bahagia. Namun, sesuatu yang mungkin lebih menyakitkan akan benar-benar menyakitimu jika aku mengatakannya waktu itu.
Tetapi, sekarang, aku benar ingin memilikimu. Karena Seong Jun sudah mandapatkan rumahnya. Karena Seong Jun sudah mendapatkan aliran darahmu.
Aku...tidak khawatir untuk melangkah lebih jauh bersamamu.
🎐🎐🎐
9/30
25 Maret
"Hei, untukmu."
Satu kata itu, hanya satu kata yang selalu kau ucapkan setiap kali memberikan hadiah padaku.
"Untuk apa kau memberikan hadiah padaku. Bukankah cukup untuk Yeong..."
"Baiklah. Kembalikan."
Dan setiap kali aku menanyakan hal yang sama. Kau selalu menjawab dengan ancaman yang sama pula. Lalu aku...sama sekali tidak ingin hadiah itu kau ambil kembali.
"Tapi, apa benar tidak apa kalau kau juga memberiku hadiah. Yeong Su akan salah pa..."
"Kembalikan kalau kau tidak mau."
Lagi...aku tidak merelakan hadiah itu kau ambil kembali. Seakan kau tidak benar membenciku saat aku menerima. Tidak tahu apa yang tengah kau sembunyikan.
Sementara, kau memberikan hadiah yang berbeda pada Yeong Su namun, kau selalu memberikan benda yang sama setiap tahunnya padaku.
🎐🎐🎐
10/30
Pusat Pemakaman Umum Busan
"Kau memilih tempat ini agar bisa mengunjungi dua priamu sekaligus?"
Sontak So Yun membuka kedua matanya dan menatap sinis pria di sisinya.
"Kau tidak pernah melihat, melirik ataupun menatapku dengan pandangan yang ramah sejak 25 tahun lalu."
Segera So Yun mengalihkan pandangan pada makam di hadapannya.
"Aku sudah menjemput Seong Jun dan mengantarkannya pulang. Aku menyuruh gurunya menghubungiku kalau mereka pulang cepat."
Mendengar celotehnya, So Yun pun bergegas merogoh tas tangannya. Namun, baru ingin menekan salah satu kontak di layar ponsel, Jun Su tiba-tiba meraih tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya So Yun kesal.
"Jangan jadi bawahan di perusahaan itu. Bekerjalah di perusahaanku. Aku butuh wakil yang bisa kupercaya."
"Berhenti membujukku dengan hal yang tidak perlu. Untuk apa sekarang kau melakukan hal bodoh seperti ini? Bersikaplah seperti dulu. Sikap yang selalu membuatku muak!" omel So Yun dengan suara meninggi di akhir kalimatnya.
Segera, So Yun melangkah pergi meninggalkannya yang hanya bisa menghela napas keras sebelum akhirnya mengejar wanita yang telah berjalan cukup jauh di depan.
Kenapa sekarang aku melakukannya? Karena aku...sudah bertekad untuk menjadikanmu milikku.
🎐🎐🎐
11/30
Jangjeondong Riverside
Jika kau bertanya di mana pertama kali aku melihatmu?
"1, 2, 3, 4. Yap. 1, 2, 3, 4. Yap."
Jangjeondong Riverside. Entah apa yang kau lakukan. Melompati batu satu per satu dan berbalik lagi ke tepi di lompatan ke empat. Namun, yang aku pertanyakan. Kenapa tidak ada ekspresi saat kau berkali-kali mengucapkan kata 'Yap' dengan riang?
"Karena aku benci angka empat. Dan aku...baru bisa menghitung sampai empat."
Iya. Dan tidak, kita bertemu pertama kali bukan di SMP Busan X. Tetapi, di Jangjeondong Riverside saat kau sedang berjalan-jalan bersama orangtuamu dan aku bermain dengan Kakakku bersama Yeong Su. Iya, saat itulah kita pertama kali bertemu.
Seorang anak yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak dan memiliki pemikiran terlalu dewasa sampai rasa itu ada. Rasa ketertarikan yang seharusnya tidak aku miliki sejak awal.
🎐🎐🎐
12/30
Pikiran
"Apa yang kau pikirkan tentangku?"
Bocah berwajah sangat mirip denganku ini adalah Ho Yeong Su. Adik kembarku. Setelah pernyataan cintanya resmi diterima So Yun, dia selalu rajin menjemputnya ke sekolahku. Walaupun dia tahu hal itu akan membuatnya melewati jalan memutar untuk sampai ke rumah. Dan aku...Si Kakak yang selalu khawatir ini dengan hati tak nyaman selalu mengiringi mereka dari belakang. Mendengarkan percakapan romantisme anak SMP.
"Tidak ada. Yang aku tahu kau orang terbaik yang sekarang berdiri di sisiku. Bagaimana tentangku?" tanya So Yun.
"Sama. Yang aku tahu kau orang terbaik yang sekarang berdiri di sisiku. Terkadang aku takut menghadapi orang-orang setelah Ibu meninggal. Tapi, kupikir apa yang perlu aku khawatirkan kalau masih ada Ayah, Kak Jeon Hyung, Kak Jun Su dan sekarang juga ada kau," sahut Yeong Su riang.
"Apa kau akan selalu berdiri bersamaku?"
"Tentu saja," sahut Yeong Su penuh semangat.
"Apa kau akan selalu berbagi ceritamu padaku? Dan akan mendengarkan semua ceritaku juga tempatku berlindung serta bersandar?"
"Tentu."
"Apa kau akan berjanji?"
"Iya. Aku janji. Kenapa begitu khawatir?"
"Tidak. Karena aku pernah bertemu orang yang tidak menepati janjinya."
"Apa hal itu begitu menyakitimu?"
"Tentu. Menepati janji bagiku adalah sebuah perlindungan dan aku selalu perlu tempat berlindung. Dan jujur bagiku berarti berbagi semua cerita."
"Apa aku sudah melakukan semuanya?"
"Untuk saat ini, iya."
Lihat. Aku melihat segala bentuk kekhawatiranmu usai kejadian itu. Aku yang bagimu dingin dan kasar sangat berbanding terbalik dengan Yeong Su yang penuh kasih sayang dan periang.
Banyak pikiran buruk terlintas dibenakmu tentangku. Tentangku yang mungkin sama sekali tidak bisa melindungi dan hanya bisa menyakitimu.
🎐🎐🎐
13/30
Ho Yeong Su
Yang kutahu kebiasaanmu adalah menggangguku. Masuk ke kamar bersama komik yang belum kubaca dan berbaring di ranjangku yang rapi tanpa perasaan bersalah sementara, aku berusaha fokus dengan PR-ku.
"Jun Jun?" tegur Yeong Su tanpa mengalihkan pandangan dari komik yang dibacanya.
"Apa?" sahut Jun Su yang juga tidak mengalihkan pandangan dari tugas rumahnya.
"Apa kau memberi tahu So Yun tentangku?"
"Tidak."
"Bagaimana cara dia tahu tentangku sedangkan kita beda sekolah?"
"Mana aku tahu. Tanyakan saja padanya."
"Sudah," sahut Yeong Su dengan nada bingung.
"Lalu?"
"Dia bilang, pernah melihatku di Jeongjeondong saat sedang menghitung batu. Katanya, tatap kami sempat bertemu. Tapi, aku tidak ingat pernah melihatnya di sana. Apa mungkin dia salah mengira kalau itu kau?"
Seakan ada petir yang menyambar, keringat dingin mengalir di sisi lain kening Jun Su yang tidak terlihat Adiknya.
"Aku tidak pernah melihatnya. Mungkin hanya dia yang melihat dan sangat mengingatmu. Mungkin juga kau sempat melihatnya dan kau lupa. Ingat kondisi kesehatanmu, jangan berpikir terlalu keras. Kau harus selalu sehat supaya bahagia bersamanya. Kau suka dia, kan?"
Segera, wajah riang itu menatap dalam Jun Su yang telah melihatnya dengan senyum tipis.
"Iya. Entah kenapa aku sangat nyaman bersamanya. Aku sangat menyayanginya. So Yun, Cha So Yun. Milikku."
Tidak. Dia milikku. Dan dia tidak tertukar. Dan aku pun, tidak salah saat aku ingin sekolah di tempat yang berbeda. Karena aku tahu dia di sana.
Dan, orang selalu berpikir aku jahat. Tanpa tahu kekurangan apa yang kumiliki. Bukan kematian namun, sesuatu yang benar ingin membuatku mati sampai aku tega merelakan semua rasa sayangku. Bukan demi orang lain tetapi, demi Cha So Yun.
🎐🎐🎐
14/30
Cha So Yun
"Apa yang kau ketahui tentangku?" tanya So Yun tanpa mengalihkan pandangan dari laut senja Pantai Haeundae.
"Anak yang tidak memiliki siapapun. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang orangtua namun, selalu merasa kesepian," sahut Jun Su yang juga memandangi hal yang sama.
"Bohong. Kau pasti tahu sesuatu tentangku."
"Haaa..." sejenak Jun Su menghela napas keras, "apa kau benar ingin mengetahuinya?"
"Tentu. Sejauh apa kehebatanmu mencari tahu tentangku sampai kau bisa menginjakkan kaki ke sekolah yang sama denganku."
"Ayahku pemilik Perusahaan Komputer terbesar kedua di Korea. Ke manapun kami pergi. Semua orang mengenali kami. Setiap anak memiliki orang kepercayaan."
"Lalu?"
"Lalu, yang kutahu. Kau anak adopsi dari seorang Pemilik Perusahaan Elektronik yang cukup tangguh di negara ini. Tapi, seiring berjalannya waktu, statusmu berubah karena ternyata kau anak yang hilang. Seperti cerita Nemo yang sempat terperangkap jaring nelayan dan akhirnya berusaha untuk kembali ke pelukan keluarganya."
Sesaat tampak So Yun juga Jun Su tersenyum sinis bersamaan.
"Aku tidak berusaha karena saat itu umurku baru tiga bulan. Bagaimana mungkin seorang bayi yang tertinggal di bandara bisa mengenali sosok orangtuanya."
"Haha...sebut saja kau beruntung karena langsung mendapat tempat yang layak. Panti Asuhan Hansel. Itu Panti Asuhan Elit."
"Entah itu sindiran atau ejekan. Tapi, aku tidak suka mendengarnya."
"Aku juga tidak suka mengatakannya. Itu hanya ucapan untuk orang yang tidak percaya takdir Tuhan."
Segera, So Yun mengalihkan pandangan pada Jun Su yang telah melihatnya dengan senyum puas.
"Kau Gadis Batu Jangjeondong. Kau mengenali dan bisa membedakan kami dengan baik. Salah satu manusia langka, karena kami kebetulan identik. Tapi, kau bisa langsung tahu kalau itu aku."
"Lalu, apa yang kau lakukan? Kau menolakku karena tahu aku anak adopsi," omel So Yun.
"Tidak. Aku benci anak yang berperangai buruk dan aku tahu, Adikku menyukaimu. Itu alasannya," sahut Jun Su datar.
Senyum sinis pun terukir di wajah So Yun yang hampir-hampir meneteskan air mata.
"Tidak. Ada alasan lain selain semua hal itu. Kalau tidak, kau tidak mungkin berdiri di hadapanku sekarang."
Iya, ada alasan yang belum aku sampaikan. Air mata itu, benar aku ingin selalu membantu menghapusnya sejak kau kehilangan Yeong Su. Namun, aku yang bodoh ini terlalu pengecut untuk melakukannya.
🎐🎐🎐
15/30
Rahasia dalam Waktu
Entah kenapa hujan itu selalu berkaitan dengan kenangan.
"Ibuuu...ayo, kita pergi ke sana," rengek Seong Jun.
Diam, banyak pikiran yang membuat So Yun mendiamkan anaknya yang terus merengek.
"So Yun, bawalah dia ke sana. Sebentar saja. Sudah hampir lima bulan kau larang dia menemui Jun Su," bujuk Hae Ra.
Masih dalam diam, So Yun hanya menghela napas memandangi rintik hujan yang mengetuk jendela rumah mereka. Berusaha mengabaikan bujukan Do Hae Ra, Ibunya.
"Huaaaaa..."
"Sudah. Sudah, Sayang. Bagaimana kalau kita jalan-jalan bersama Kakek," ujar Hae Ra penuh rasa iba.
Bahkan mendengar tangisan anaknya pun So Yun tampak tidak berkutik. Seakan dirinya tidak memiliki hati hingga membuat Hae Ra menghela napas keras dan beranjak mendekatinya.
"Ibu tidak tahu kenapa kau begitu membenci Jun Su padahal kau lebih dekat dengan mendiang Yeong Su. Kalau kau sangat membencinya, biar Ibu yang membawa Seong Jun padanya."
Ada nada kesal dari setiap kalimat Hae Ra yang berusaha menyadarkan So Yun.
"Berhenti," ujar So Yun dingin tanpa mengalihkan pandangan usai Hae Ra berbalik dan ingin menggendong Seong Jun, "jangan bawa Seong Jun ke manapun. Jangan bertingkah seolah Ibu sudah mengasuhku dengan sangat baik. Jangan bersikap seakan Ibu sudah memberikanku perhatian yang begitu besar. Entah apa salahku tapi, sejak aku menikah sampai suamiku meninggal, Ibu tidak pernah lagi mendengarkan ceritaku. Yang Ibu lakukan hanya menyindirku tidak melakukan apa-apa. Sementara, Kak Jang Yun beserta istrinya tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya perlu bangun tidur dan dilayani layaknya Raja dan Ratu. Apa karena aku anak yang tidak berhasil Ibu buang? Apa karena aku memang anak yang tidak Ibu inginkan? Atau Ibu takut aku akan mewarisi takhta Grup Ro Won?"
Sesaat tampak So Yun tersenyum sinis tatkala menyaksikan keterkejutan Hae Ra yang hampir-hampir menangis dibuatnya.
"Ayah hanya membiayai sekolah serta hidupku sampai aku menikah. Dan setelah itu aku berjuang sendiri. Sejak itu, seluruh harta yang kumiliki sekarang dan semua tabungan yang kupunya. Itu hasilku sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Ro Won. Rumah ini pun atas namaku. Tanah, pajak dan segala hal yang berkaitan dengan hidupku tidak pernah ada lagi yang berkaitan dengan Ro Won. Ayah pun sudah tahu jadi, jangan khawatir tentang keberadaan Seong Jun. Aku tidak akan mengambil apapun dari perusahaan yang sangat Ibu inginkan itu. Jadi, berhenti mencampuri urusanku dan keluar dari rumah ini sekarang."
Mendengar semua celoteh So Yun yang dingin. Pijakan Hae Ra seakan melemah dan hampir terjatuh. Hal itu pun membuat Seong Jun sontak berhenti menangis tatkala seorang berjas hitam masuk diantara mereka.
"Paman Kang Hyuk, bantu Nenek."
Mendengar perintah dari Seong Jun yang begitu sedih, sosok berjas hitam bernama Go Kang Hyuk itu sesaat melirik So Yun yang telah menatapnya lebih dulu.
"Tolong jaga rumah ini dengan baik. Aku tidak ingin ada "mata-mata" yang datang kemari lagi. Kau tidak perlu menghormati orang ini karena kau milikku bukan milik Ro Won. Masa kecilku sudah hilang. Ayo, Seong Jun, kita pergi," ujar So Yun lirih usai beranjak dan meraih tangan Seong Jun, sebelum kemudian pergi sembari menepuk pundak Kang Hyuk.
Tenang itu, saat kau bisa keluar dari zona aman. Tenang itu, saat kau bisa menumpahkan semua rasa yang tersimpan dan tidak menyesalinya.
🎐🎐🎐
16/30
Terima Kasih
"Maaf, Pak. Ada Nyonya Cha So Yun datang ber..."
"Suruh mereka masuk!"
Entah apa yang dia pikirkan tapi, setelah lima bulan dan hampir 25 tahun dia benar-benar mengabaikanku. Sekarang dia datang dan menyerahkan hasil DNA-nya padaku.
"Hasil itu menyebutkan kalau Do Hae Ra Ibu kandungku. Cha Seung Jae Ayah kandungku. Cha Jang Yun juga kakak kandungku. Tapi, setelah menikah mereka semua memperlakukanku seolah aku orang lain di keluarga itu."
Diam, Jun Su berusaha memutar otak atas seluruh pernyataan So Yun yang kini telah duduk di salah satu sofa ruang kerjanya. Dia memperhatikan Seong Jun yang ikut diam memperhatikan sekelilingnya.
Ada rasa canggung yang tiba-tiba memasuki ruangan bersamaan dengan datangnya mereka. Cukup lama Jun Su berdiri di belakang meja kerjanya bersama selembar kertas yang diberikan So Yun. Bingung, adalah kata pertama yang terlintas dalam pikirannya.
TOK! TOK! TOK!
"Pak, siang ini Anda ada janji dengan Kepala Grup Dae..."
"Batalkan!" ujar Jun Su usai melirik So Yun yang telah menatapnya sinis.
Entah apa yang kulakukan? Hanya karena tatapan itu aku bahkan sekarang telah duduk di tepi Sungai Han. Seakan tidak ada dosa yang kulakukan terhadap perusahaan. Menikmati semilir angin musim panas yang semakin panas tatkala So Yun hampir dua jam hanya berdiam diri memperhatikan Seong Jun yang tengah bermain tak jauh dari tempat kami duduk.
"Haaa...jadi, apa kesimpulannya?" tanya Jun Su yang sudah tidak tahan akan keadaan 'sunyi' yang mereka alami.
"Kau tahu semuanya jadi aku tidak perlu menceritakan apapun," sahut So Yun dingin.
"Tapi, kalau ini masalah keluargamu, aku..."
"Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Entah apa maksud Ibu dan Ayah mengabaikanku setelah aku menikah. Aku disediakan rumah tetapi, aku memilih untuk membeli rumah dengan hasilku sendiri. Sejak itu aku marah, karena Kak Jang Yun bisa dilayani dengan baik di rumah mereka. Sementara, setiap aku dan suamiku datang ke sana, kami seolah diperlakukan seperti tamu. Sekarang, saat Seong Jun lahir dan suamiku meninggal, wanita itu hampir setiap hari datang seakan tidak pernah melakukan salah."
"Apa hanya perasaanku? Atau mungkin hanya perasaanmu yang sedang tidak nyaman. Kulihat Ayah dan Ibumu sangat menyayangimu. Ibumu bahkan menyediakan makanan untuk Seong Jun selama kau bekerja, kan? Alih-alih memanggil pengasuh, dia lebih memilih mengetahui jadwal kerjamu dan membantumu menjaga Seong Jun. Dan bukankah pengawal itu dari A..."
"Tidak. Go Kang Hyuk milikku. Dia bukan milik Ro Won. Dia milik keluarga kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan grup itu."
Segera, Jun Su terdiam namun, ekspresi So Yun yang seakan menahan kesedihan membuatnya hanya menghela napas pelan.
"Apa aku terlalu banyak mengeluh?" tanya So Yun datar.
"Tidak. Tapi, kami biasa menyebutnya 'Victim Mentality'. Tidak ada yang salah dalam kasusmu. Hanya kau mungkin merasa sedikit depresi dan frustasi karena harus bersikap seakan semuanya baik. Sementara, tanpa orang lain tahu, kau tengah hancur dibaliknya. Tidak pernah ada yang menanyakan apa kau baik-baik saja? Apa kau perlu sandaran? Karena dasar dari sifatmu adalah bersikap dingin pada semua orang. Kau hanya tertawa dan tersenyum bersama Kak Jang Yun. Tapi, saat tiba masa di mana salah satu dari kalian menikah, kau merasa semuanya berbeda. Kau merasa semua mengabaikanmu tanpa kau bertanya dan tanpa mereka tahu apa yang kau perlukan."
"Apa aku harus memberi pengumuman pada semua orang bagaimana perasaanku? Apa harus selalu seperti itu?" tanya So Yun dengan nada hampir meninggi.
"Tidak," sahut Jun Su seraya menggeleng singkat, "yang aku tahu, Nyonya Do Hae Ra pun merasa hancur saat mengetahui menantu kesayangannya harus meninggalkan putri serta cucu yang dia cintai. Beliau pun hancur. Dan kenapa Tuan Cha Seung Jae memperlakukan kalian layaknya tamu setiap kali kalian datang, bukan apa-apa, itu hanya bentuk kasih sayang. Dia tahu bagaimana putri serta menantunya telah bekerja keras selama ini menjadi anak-anak yang mandiri. Jadi, mereka butuh pelayanan."
"Lalu, bagaimana dengan Kak Jang..."
Ada suara serak yang terselip diantara kalimat So Yun yang kini perlahan tertunduk.
"Kak Jang Yun? Dia baik, dia sayang Adiknya. Pelukan untuk adik saat adik mengalami kesedihan mendalam itu lebih sulit dilakukan bagi seorang pria yang sudah memiliki istri. Di negara ini kita tidak tahu apa yang akan orang pikirkan. Mungkin bagimu rangkulan tidak cukup tetapi, Kak Jang Yun pun sudah berusaha yang terbaik menjaga perasaan istri serta keluarganya juga keluarga pihak mendiang suamimu. Dia pun tidak pernah sama sekali mengisi posisi wakil presiden direktur utama. Dia tetap di posisinya sebagai direktur dan kasarnya pesuruh. Semua baik jika kau ingin melihat semua dari sisi positif."
Maaf, mungkin pikirmu sama saat ini. Buruk tentangku namun, kehadiranmu saat ini yang menceritakan semua sakitmu padaku pun sudah lebih dari cukup. Mungkin sekarang, aku sudah tidak lagi berjuang sendiri.
🎐🎐🎐
17/30
Surat
"Untukmu."
Bagiku saat itu kau makhluk paling tidak tahu malu. Walaupun dalam titik terdalamku, aku senang menerimanya.
"Jadi, kau membawaku kemari karena ingin memberikan surat aneh ini?"
Ekspresi senang dari sosok So Yun seketika berubah. Keningnya berkerut dan dia hampir mengamuk usai mendengar pernyataan Jun Su yang tampak tersenyum sinis.
"Kembalikan suratnya."
"Tidak. Nanti aku buang setelah aku membacanya atau mungkiiin...aku akan sebarkan lewat radio sekolah. Hahaha..."
Tangis pertamamu yang kulihat sejak kita sama-sama menginjakkan kaki di tempat ini. Jahat? Iya, aku melakukan hal bodoh untuk membuat diriku aman tetapi, aku menyesalinya saat sepatu yang kukenal berada di teras rumahku.
"Ibuuu...Yeong Su membawa pa..."
Dan hanya selang tiga bulan aku bisa melihat senyum sinis yang sempat kuukir terlihat jelas di wajahmu. Kau yang duduk berdampingan bersama Yeong Su di ruang tamu rumah kami. Bahkan Ibu serta Kakakku ada diantara kalian.
"Yeong Su, gadis tadi siapa?" tanya Jun Su ragu.
"Oh! Aku bilang pada Ibu kalau dia temanku. Tapi, sebenarnya aku berpacaran dengannya. Dia bilang, dia satu sekolah denganmu. Tolong jaga dia ya. Hehehe," sahut Yeong Su riang.
"Dari mana kau mengenalnya?" tanya Jun Su dengan kening berkerut.
"Aku tidak sengaja menjatuhkan dompetku saat bermain game di Departemen Store tiga bulan lalu. Jadi, aku minta tolong Kak Ba Ram dan Kak Chi San mencarikan tentangnya. Dia baik dan cantik."
"Bahkan Kak Chi San kau gunakan juga?"
"Harus. Karena agak sulit kata Kak Baram mendapatkan informasinya. Dia anak yang cukup tertutup. Kenapa? Apa kau tahu sesuatu tentang dia?"
"Hah! Apa? Tidak."
Mungkin aku berpikir kau hanya ingin membalas semua yang kulakukan. Namun, setiap hari melihatmu tersenyum dan tertawa bersama Yeong Su, aku tahu, tatap itu tidak main-main. Kau benar menyayanginya. Entah karena kau melihat dia sebagai Yeong Su yang sebenarnya ataupun bukan. Tetapi, tidak ada kebohongan yang kulihat dari setiap tatapmu.
Bahkan, saat waktu itu tiba, waktu di mana kau harus terluka begitu dalam setelah mengetahui perjuangan Yeong Su untuk bisa hidup normal. Aku tahu, itu bukan hanya sekedar rasa kasihan. Aku tahu kau mencintainya sama sepertiku yang selalu ingin melihat Yeong Su bahagia walaupun itu harus membuatku bertaruh nyawa.
12 Juni 2005
Tertanggal 12 Juni 2004, dan hari ini tepat satu tahun kita saling mengenal. Walau tidak cukup akrab tapi, aku memberanikan diri untuk membuat dan menyerahkan surat ini padamu.
Kau...anak yang kulihat di Jangjeondong Riverside. Aku...tidak ingin menjadi pacarmu. Cukup jadi teman dekatku. Karena aku tahu, kau pasti memiliki tipe yang lebih baik lagi. Besok temui
aku di halaman belakang sekolah lagi jika kau setuju.
Dari Cha So Yun.
Bodoh? Iya. Pengecut? Iya. Karena yang aku lakukan hanya melihatmu dari jauh. Dan saat kau mendekat, aku selalu berusaha menjauhkanmu. Sementara, aku tahu, kaulah yang kuinginkan. Bahkan sebelum kau memberikan surat ini.
🎐🎐🎐
18/30
Hadiah
"Yeong Su, untukmu..."
"Yeong Su, untukmu..."
"Ho Yeong Su, untukmu..."
"Yeong Su, untukmu..."
Seakan menggema dalam pikiranku setiap tahunnya selama sembilan tahun kau selalu menyebut nama 'Yeong Su' dengan lantang. Bahkan sepertinya teriakan itu hampir memasuki mimpiku. Karena sangat berbeda ketika kau memberikan hadiah padaku.
"Hei, untukmu. Kalau tidak mau kembalikan."
Tidak pernah sekalipun kau menyebut namaku. Yang kau lakukan hanya mengucap kata, 'Hei'. Hingga detik ini aku belum pernah sekalipun mendengarmu menyebut namaku. Tetapi, lebih dari hal itu. Begitu banyak pertanyaan dalam benakku tentang hadiah yang kau berikan.
"Sudah menangis berkali-kali di hadapanku. Bagaimana kalau kita sedikit membahas masa lalu," ujar Jun Su.
Dan diantara banyak orang yang juga tengah menikmati Bunga Sakura, So Yun seketika menatap Jun Su yang tersenyum memandang langit. Dia bahkan berhenti menyuapi makan Seong Jun.
"Ibu, lagi," tegur Seong Jun.
"Oh! Iya," sahut So Yun yang lalu bergegas menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya ke mulut Sang Anak.
Lagi, Jun Su tersenyum sinis lalu mengalihkan pandangan pada So Yun yang melihatnya dengan kening berkerut.
"Ada satu hal yang aku sangat ingin tanyakan. Hadiah."
"Hadiah? Apa?"
"Yeong Su. Setiap tahun Yeong Su selalu menerima hadiah yang berbeda. Entah itu syal, topi, sweater, bola baseball, bola basket, raket tenis, gitar bahkan daun semanggi bertangkai empat. Itu benar-benar gila. Tapi, kau selalu memberiku hadiah yang sama."
"Tidak ada alasan apapun. Karena dia pacarku. Aku memberimu hadiah yang sama setiap tahunnya karena kau bukan siapa-siapa," sahut So Yun ketus.
Mendengar jawabannya, Jun Su pun lagi-lagi tersenyum sinis tatkala menyaksikan So Yun yang langsung mengalihkan pandangan dan berfokus lagi pada Seong Jun.
"Baiklah aku terima jawabanmu. Tapi, apa kau yakin kalau daun semanggi bertangkai tiga itu untukku?"
"Memangnya apa yang salah dengan tiga ataupun empat. Tentu saja itu sudah benar."
Gelagapan, hal itu membuat Jun Su seketika tersenyum penuh arti dan mengusap puncak kepala So Yun sebelum kemudian dia beranjak.
"Apa yang kau lakukan?" bentak So Yun.
"Tidak. Ternyata aku memang tidak melangkah sendiri sekarang," sahut Jun Su riang, "Seong Jun, Paman harus kembali bekerja. Jadi, anak baik, ya. Nanti kita bertemu lagi. Pulanglah dengan hati-hati," tambahnya usai mengecup puncak kepala Seong Jun.
"Iya. Sampai jumpa. Aku menyayangi Paman," sahut Seong Jun penuh semangat.
"Iya, Paman juga sangat menyayangimu."
Berat. Saat aku hanya ingin membahagiakan orang lain. Dan ringan langkahku ketika aku telah melepas semua penyesalan dan sakit hatiku. Iya, aku sudah lebih dari cukup membahagiakan Yeong Su dan kuharap kau pun bahagia di sana. Aku menyayangi kalian, Ho Yeong Su, Jang Ki Bum. Terima kasih.
🎐🎐🎐
19/30
Ho Jun Su
Aku...terlahir dari keluarga yang bisa di bilang cukup. Cukup dalam hal mencakup segalanya. Dan terlahir kembar dengan kekurangan masing-masing bukanlah kehendak kami. Namun, kekurangan yang baru aku ketahui setelah Yeong Su meninggal. Itu membuatku semakin ingin melangkah lebih jauh lagi dari sosok bernama Cha So Yun.
"Jun Su?"
Wanita cantik dan anggun itu tak lain adalah Kim Bo Mi, Ibu dari Jun Su. Dia melangkah masuk ke kamar tatkala melihat Jun Su yang telah sedikit tenang usai mengamuk dan melempar barangnya sesaat lalu. Di waktu itu, dia tampak begitu hancur.
"Sayang," ujar Bo Mi seraya memeluk Jun Su yang masih sesenggukan, "sudah. Tidak apa-apa. Maafkan Ayah dan Ibu yang tidak sempurna. Maaf," tambahnya menahan isak sembari mengusap lembut puncak kepala Sang Anak dengan penuh kasih.
Untuk beberapa saat keduanya hanyut dalam kesedihan. Berusaha tegar, Bo Mi pun merenggangkan pelukannya dan mengusap lembut kedua pipi Jun Su yang basah.
"Sudah, Sayang. Sudah. Semua akan baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Ibu yakin semua bisa menerimanya."
"I, Ibu, apa Tuhan harus mengujiku begitu berat. Apa terlahir prematur saja tidak cukup. Selama hidupnya, Yeong Su bahkan tidak boleh bermain olahraga kesukaannya hanya karena jantung yang lemah. Sudah dapat jantung yang cocok tapi, operasinya gagal. Dan sekarang aku..."
Lagi, Jun Su menangis sejadi-jadinya. Seakan sakit yang dia rasakan sekarang sama sekali tidak bisa diobati dengan apapun. Alih-alih menahannya, Bo Mi memilih untuk memberikan Jun Su lebih banyak waktu meluapkan segala kesedihannya.
"Ibu, apa aku boleh mati saja?" tanya Jun Su datar.
Ada rasa sakit yang teramat tatkala Bo Mi harus menyaksikan anak kesayangannya terlihat begitu menderita. Dia hanya mengusap pelan puncak kepala Jun Su yang sekarang tengah melamun karena sudah kehabisan energi untuk meluapkan kesedihan dan amarahnya.
"Sayang, Tuhan menyayangi kalian. Sangat menyayangi keluarga kita. Ibu tahu kau merasa sangat menderita sekarang. Seakan seluruh dunia tidak memihakmu. Tapi, Ibu yakin, inilah hal terbaik yang Tuhan rencanakan untukmu dan Yeong Su," jelas Bo Mi penuh kasih.
"Apa Tuhan benar-benar sayang? Penyakit jantung untuk Yeong Su sampai mati dan sekarang..." sesaat Jun Su tersenyum sinis dengan air mata yang terus mengalir, "...azoospermia. Itu bahkan lebih parah dari penyakit jantung. Setidaknya Yeong Su masih bisa memiliki anak jika dia hidup."
Aku bahkan tidak sanggup merangkul Ibu yang kembali ikut menangis. Hatiku sakit dan aku begitu membenci diriku detik itu. Diriku yang sekilas tampak lebih sempurna dari Yeong Su hanya karena bisa hidup lebih lama, bahkan terlihat sangat tidak berguna jika dibanding Yeong Su yang hanya memiliki penyakit jantung bawaan.
🎐🎐🎐
20/30
Untukmu
"Kenapa kau tiba-tiba ingin mengantar Seong Jun ke sekolah?" tanya So Yun usai menutup pintu mobil dan memasang sabuk pengamannya.
"Aku berjanji hari pertama dia sekolah aku akan mengantarnya. Tapi, aku lupa dan sudah terlanjur mengiyakan rapat dengan Kepala Grup Dae Han yang kemarin sempat tertunda. Hari ini aku akan mengantar dan menjemputnya. Jadi, kau bisa sedikit bersantai. Bagaimana kabarmu? Aku lihat akhir-akhir ini wajahmu sedikit cerah. Apa sudah berbaikan dengan Nyonya Do Hae Ra?" celoteh Jun Su sembari fokus pada kemudinya.
"Kau bersikap seakan tahu segalanya," sindir So Yun.
"Aku tahu. Semuanya tentangmu."
Sejenak So Yun melirik Jun Su yang tampak tersenyum puas hingga membuatnya menghela napas keras.
"Haaa...minggu lalu aku keluar dari perusahaan itu dan menerima tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaannya. Tapi, aku menolak tawaran sebagai wakilnya. Aku bertukar peran dengan Kak Jang Yun karena aku merasa dia lebih pantas dan sudah lama tahu seluk beluk perusahaan dibanding aku."
"Bagus," sahut Jun Su seraya memperhatikan lampu lalu lintas yang masih merah, "jadi, mood-mu sedang baik sekarang?" tanyanya seraya menjalankan lagi mobilnya.
"Memang kenapa? Kau akan mengajakku tidur bersama?" celoteh So Yun asal.
"Ahahahahahahaha...dasar mesum," umpat Jun Su dengan ledakan tawanya, "kau dan aku sama-sama tidak cukup memiliki keberanian untuk melakukan itu. Yang akan kutanyakan berbeda."
"Apa?"
"Jam tangan, jam weker bahkan jam dinding juga daun semanggi bertangkai tiga. Apa arti dari semuanya?"
Diam cukup lama sampai Jun Su menghentikan mobilnya di bawah Sungai Han. Dia bahkan melepaskan sabuk pengaman So Yun yang tetap diam memandangi Sungai Han yang terbentang luas di hadapan mereka. Sementara, Jun Su hanya mengetuk-ngetuk pelan kemudinya dengan jari telunjuk menunggu dengan sabar.
"Waktu," ucap So Yun lirih dan seketika membuat Jun Su menghentikan ketukannya lalu meliriknya sesaat, "mungkin bodoh. Awalnya aku ingin membalas dendam dengan mendekati Yeong Su tetapi, ternyata rasa sayangku kepadanya semakin besar. Dan kenapa aku selalu memberikan jam padamu, karena di sana ada harapan. Walau aku tahu kondisi Yeong Su sudah tidak memungkinkan, aku berharap waktu kita bersama Yeong Su tidak terbuang sia-sia dan...waktuku bersamamu pun tidak hanya sekedar di titik yang sama. Masih ada harapan kecil tentangmu. Masih ada sedikit ruang untukmu."
Lagi, Jun Su terdiam dan hanya bisa meneguk ludahnya.
"Mungkin kau juga penasaran kenapa aku tidak pernah memanggil namamu. Itu karena aku takut, aku takut goyah dan mengkhianati Yeong Su dan mendiang suamiku. Sampai detik ini pun menyebut namamu bagiku adalah suatu kesalahan besar walaupun itu menyiksaku."
Sejenak, Jun Su tampak gelagapan dan hanya menghela napas keras sembari melonggarkan ikatan dasinya. Namun, So Yun yang masih melamun tampak tidak peduli.
"Semanggi tiga dan empat. Aku tidak pernah tertukar tentang hal itu. Semanggi bertangkai empat aku berikan pada Yeong Su karena aku berharap ada keberuntungan yang menyertai hidupnya. Dan semanggi bertangkai tiga, itu karena aku percaya padamu. Aku mencintaimu lebih daripada yang kau tahu. Rasa itu...tidak pernah hilang. Bahkan sampai detik kau berdiri melihatku begitu bersedih atas meninggalnya suamiku. Ada tersirat rasa bahagia yang kusembunyikan dibalik kesedihanku, aku...tidak sendiri. Karena kau selalu menemaniku. Kau selalu ada untukku bahkan di saat tersulitku. Di detik aku hampir gila karena kehilangan Yeong Su dan suamiku. Kau...tetap menjadi payung yang paling nyaman di mana aku bisa berteduh dan..."
Terima kasih. Bukan kau yang salah atas rasa ini. Namun, aku yang terlalu egois membenarkan segala yang kulakukan. Hanya karena tidak percaya pada diriku sendiri, aku menyerahkanmu pada orang lain. Berjalan sendiri dengan perasaan bersalah yang bahkan tidak seharusnya ada. Dan...aku berharap ciuman ini bisa sedikit menghapus bebanmu. Aku...benar mencintaimu tidak peduli apa yang akan orang katakan padaku. Tidak peduli seberapa sakit yang kuderita karena tidak bisa memberikanmu keturunan. Tidak peduli bagaimana Tuhan dan dunia menyertaiku. Aku hanya ingin kau di sisiku sejak detik ini sampai akhir hidupku.
🎐🎐🎐
21/30
SMP Busan Y
"Ini sekolah Yeong Su," ujar Jun Su.
Sejenak, mereka duduk dengan nyaman dan hanya fokus menonton pertandingan bola para siswa dari tepi lapangan.
"Kenapa kau mengajakku dan Seong Jun kemari?" tanya So Yun sembari memperhatikan Seong Jun yang tengah bermain bola sendiri tak jauh dari tempat mereka duduk.
"Jang Ki Bum...beliau Kakak kelas Yeong Su."
Sesaat ada keterkejutan dari sorot mata So Yun yang tampak melirik ragu namun, Jun Su hanya tersenyum.
"Apa dia tidak pernah menceritakannya padamu?"
"Ti...dak," sahut So Yun seraya menggeleng ragu.
"Hmm," sahut Jun Su sembari tersenyum tipis, "aku bukan Tuhan. Tapi, aku tahu dia menyukaimu. Aku dan Yeong Su beruntung dia menjadi panutan. Kau pasti tidak tahu kalau aku dan Yeong Su lompat kelas dua kali, kan? Gen otak kami cukup hebat. Haha..."
"Jadi, maksudmu..."
"Iya. Kami berhasil mengejar Ki Bum. Makanya aku bisa berada di rumah sakit. Mendampingi dokter senior mengoperasi Yeong Su. Itu karena saat kau masih duduk di bangku SMA, aku dan Yeong Su sudah kuliah. Yeong Su tidak cerita?"
Lagi, So Yun tidak bisa menyembunyikan keterkejutan tentang fakta yang sama sekali tidak dia ketahui.
"Bagaimana kau tahu kalau Kak Ki Bum menyukaiku?"
"Tidak ada yang istimewa dari aku yang sudah terlalu pengalaman, hahahaha..."
"Hei, aku serius," ujar So Yun kesal.
"Aku juga. Tapi, memang itu sesuatu yang mudah. Ki Bum anak yang polos. Dia bisa jatuh cinta pada orang yang bahkan hanya membantunya mengumpulkan beberapa kertas yang terhambur. Tidak peduli orang itu memiliki kekasih dan buruknya di bagian itu."
"Hei, itu..."
Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran So Yun, ia mengangguk setuju.
"Yap. Kejadian itu. Saat kau tanpa sengaja menabraknya karena mendengar kabar kalau Yeong Su memiliki harapan untuk mendapat jantung baru. Kau yang berkali-kali membungkuk meminta maaf padanya dan membantunya mengumpulkan kertas tugasnya, ya, momen itu. Dia langsung menyukaimu tanpa tanda titik dan koma."
"Tapiii...dia tidak pernah berlaku buruk padaku," sahut So Yun sedih, "dia sangat menyayangiku dan Seong Jun. Seakan tidak ada dunia lain yang dia perlukan selain kami berdua."
"Makanya aku bilang, aku bukan Tuhan tetapi, aku selalu percaya pada kata hatiku."
Untuk kesekian kali, So Yun tampak terkejut dan membuat kedua bola matanya kembali membesar. Sementara, Jun Su lagi-lagi tersenyum geli seraya mengusap puncak kepala So Yun.
"Aku bilang, aku bukan Tuhan karena aku tidak tahu kenapa aku begitu yakin kalau kita akan kembali bertemu dalam keadaan berbeda setelah sepuluh tahun. Dan aku bilang, aku percaya kata hatiku sebab sepeninggal Yeong Su dan rasa benci yang kau gambarkan untukku, membuatku tidak sanggup menatapmu. Makanya aku memutuskan untuk melepasmu selama sepuluh tahun, aku bertaruh dengan hidup sepuluh tahunku. Jika dalam sepuluh tahun kau tetap menjadi milik Ki Bum, itu berarti aku tidak ditakdirkan bersamamu."
Kali ini bahkan aku tidak tahu apa yang kau pikirkan. Sesuatu yang tidak bisa aku baca setelah mendengar semuanya. Seakan berjalan tanpa arah namun, genggaman yang hangat selalu berusaha menuntunku ke tempat paling tenang.
🎐🎐🎐
22/30
Cinta Pertama
"Siapa?" tanya So Yun usai melakukan penghormatan di depan makam Yeong Su.
Sementara, Jun Su masih tetap fokus pada sujudnya usai meletakkan foto seorang gadis berbaju sekolah dasar di atas makam Yeong Su.
"Kau penasaran?" goda Jun Su dengan senyum penuh arti usai melakukan kegiatannya.
"Tidak. Biasa saja," sahut So Yun ketus.
Sesaat Jun Su tersenyum, sebelum kemudian mengisyaratkan pada So Yun untuk duduk di sampingnya.
"Apa?" tanya So Yun tatkala menyaksikan Jun Su tersenyum memandangi makam kecil di sisi makam Yeong Su.
"Di sini terbaring Malaikat Kecil Terakhir Keluarga Ho."
Diam, So Yun berusaha membaca aksara cina yang terukir di nisan makam kecil itu. Sejenak, So Yun berusaha memahami maksud dari Jun Su sampai dia mengusap lembut makam tersebut.
"Ho Jae Ah. Namanya Ho Jae Ah, anak bungsu di keluargaku. Anak yang hidupnya hanya sebentar namun, berarti cinta pertama bagi kami yang menantikannya. Dia di vonis hanya bisa hidup sampai berumur 100 hari. Tetapi, Tuhan sangat baik, Dia mempertahankan hidupnya sampai berumur 10 tahun."
"Kenapa?" tanya So Yun ragu.
"Entah apa dosa orangtuaku tapi, satu-satunya anak yang benar terlahir sempurna hanya Kak Jeon Hyung. Jae Ah lahir dengan satu ginjal tetapi, tidak berfungsi baik. Lalu Yeong Su dan aku yang terlahir prematur pun memiliki penyakit masing-masing. Yeong Su dengan penyakit jantung bawaannya dan aku..." sesaat Jun Su tersenyum sinis, "...azoospermia."
Jika aku membahas ini, aku selalu merasa duniaku runtuh namun, tidak kali ini. Saat air mata itu membasahi pipiku, bukan pelukan Ibu yang aku rasakan. Tapi, seseorang yang aku telah lama kuharapkan selain Ibu.
🎐🎐🎐
23/30
Lamaran
"Apa?" tanya So Yun usai membuka dan melihat isi kotak yang diberikan Jun Su.
"Untukmu," sahut Jun Su santai.
"Cincin?" tanya So Yun dengan kening berkerut.
"Iya."
Bingung adalah kata pertama yang tertulis di otakku. Aku tidak tahu harus berkata apa tetapi, detik itu aku tengah menyembunyikan rasa gugupku.
"Menikah denganku bulan depan," kata Jun Su cepat.
"Orang gila," umpat So Yun yang kemudian mengembalikan kotaknya dan bergegas pergi.
"Hei, aku serius," teriak Jun Su.
"Aku pun sama!" balas So Yun yang telah melangkah semakin jauh.
Iya, dulu aku melepasmu namun, tidak kali ini.
"Tunggu!"
Segera, langkah So Yun tertahan, dia sama sekali tidak ingin memandang Jun Su yang tampak menyembunyikan kelelahan setelah mengejarnya. Tetapi, dia juga tidak menolak tatkala Jun Su tetap menggenggam erat pergelangan tangannya.
"Katakan padaku apa yang membuatmu menolakku? Apa karena penyakitku? Atau karena Seong Jun?"
"Apapun yang kulakukan tidak pernah ada yang berkaitan denganmu. Semua hanya tentang hidupku sendiri," omel So Yun.
"Kalau begitu karena Seong Jun, kan? Aku menyayangi dia seperti anakku sendiri. Kita bisa hidup bersama. Aku sudah lama dekat dengan Seong Jun dan..."
Tanpa menunggu, So Yun langsung menghempaskan genggaman tangan Jun Su. Tapi, diam, Jun Su sama sekali tidak ingin mengejar dan membiarkannya melangkah pergi.
🎐🎐🎐
24/30
Paris
"Kau bahkan tidak tahu dia ke mana? Sudah dilacak dengan baik? Aku sama sekali tidak bisa menghubunginya."
Sepanjang hari di apartemennya, Jun Su hanya mengutak-atik ponsel dan mengomel pada pengawal pribadinya, Yoo Chi San.
"Aku sudah melakukan semuanya. Tidak ada hasil. Kau sendiri apa sudah menghubungi keluarganya?" tanya Chi San santai.
"Sudah. Dan ini sudah enam bulan sejak aku bertemu dengannya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali," lagi, Jun Su mengomel.
Sesaat terdengar Chi San menghela napas pelan dan membuat Jun Su meliriknya penuh tanya. Dia, yang sedari kecil sudah sangat mengenal Jun Su pun hanya tersenyum sinis dan Jun Su, sama sekali tidak merasa tersinggung. Karena itulah Chi San, sosok yang sudah sangat dianggap sebagai Kakak baginya.
"Apa?" bentak Jun Su, "kau tahu sesuatu?"
"Tidak," sahut Chi San sembari menggeleng singkat, "apa tidak ada gadis lain? Sudah bertahun-tahun kau hanya mengharapkan orang yang sa..."
BRAK!
Iya, aku tidak suka ketika Chi San membahas hal yang sama berulang kali. Walaupun aku tahu dia juga merasa kasihan padaku. Dan aku, tidak pernah ingin bertengkar dengannya. Karena lebih baik aku menghindar daripada harus mendengar nasihat yang tidak kupungkiri hampir semuanya benar.
"Haaa..."
Jun Su hanya menghela napas keras dan menjatuhkan dirinya ke ranjang usai mengunci pintu kamarnya. Kedua matanya terfokus pada sebuah foto berukuran cukup besar di dalam sebuah figura dan tergantung di belakang pintunya. Fotonya bersama Yeong Su dengan latar belakang Menara Eiffel.
Tenang, dia memejam dan seakan melayang, pikirannya tertuju pada sebuah obrolan Yeong Su yang tengah terbaring di rumah sakit bersama seorang gadis yang menggenggam erat tangannya.
"Kau ingin pergi ke suatu tempat kalau nanti kita menikah?" tanya Yeong Su.
"Iya."
"Ke mana?"
"Ke Paris. Aku ingin ke Disneyland Paris."
Ada tawa yang terpancar dari sosok Yeong Su tatkala mendengar gadisnya bercerita dengan begitu riang. Segera Jun Su membuka mata dan beranjak dari kamarnya hingga membuat Chi San menyemburkan minumannya.
"Apa? Kau mengejutkanku!" bentak Chi San.
"Kak, tabunganku cukup tidak kalau untuk ke Paris?" tanya Jun Su tergesa-gesa.
"Tidak. Bulan lalu kau sudah banyak mengeluarkan dana pribadi sendiri untuk investasi."
"Bagaimana pekerjaanku bulan ini?"
"Jadwalmu sudah padat sampai akhir tahun. Tidak ada kompromi. Jangan berpikir untuk pergi ke manapun. Tuan Ho akan mengamuk kalau kau meninggalkan pekerjaan yang belum selesai."
Tidak ada yang bisa dilakukan. Jun Su kembali masuk bersama mantelnya ke dalam kamar. Diam, dia kembali memandangi foto di belakang pintunya seraya menghela napas keras.
🎐🎐🎐
25/30
Pulang
"JUN SU!"
Segera tatap sinis Jun Su tujukan pada Chi San tatkala ia tiba-tiba masuk ke kantornya dengan terburu-buru.
"Apaaa?" tanya Jun Su kesal dan tidak peduli dengan Chi San yang tampak begitu lelah usai menduduki salah satu sofa di ruangannya.
"So Yun, hhh. So Yun dan Seong Jun, hhh. Mereka sudah di ru..."
Tanpa menunggu, Jun Su langsung beranjak pergi dari kantornya. Dia berlari ke parkiran dan langsung melaju bersama mobilnya.
"Kenapa kau pergi dan pulang sesukamu?!"
Tak acuh, So Yun tetap menyiapkan segelas teh hijau untuk Jun Su. Dia tidak sama sekali peduli tentang omelan Jun Su yang sedari awal datang terus mengoceh tanpa henti sampai Seong Jun muak dan meninggalkan mereka berdua di ruang keluarga.
"Hei, sejak tadi aku bicara dan kau tidak menjawabnya."
"Kau bertanya, kenapa aku pulang dan pergi sesukaku?" sejenak So Yun tersenyum sinis usai menyeruput sedikit tehnya dan duduk di sofa yang sama bersama Jun Su, "bukankah itu yang kulakukan selama ini? Dan bukankah kau juga melakukan hal yang sama sejak aku memutuskan untuk memilih Yeong Su. Entah, aku atau kau yang egois. Tapi, kita berdua tidak jauh berbeda, ketika aku merasa tidak membutuhkanmu, kau akan pergi. Tetapi, saat aku benar membutuhkanmu, kau akan pulang. Dan sekarang, aku pun merasa seperti itu. Ada masa di mana aku tidak merasa kau memerlukanku makanya aku pergi sebentar."
Diam, Jun Su sama sekali tidak menjawab. Seakan tidak ada jawaban atau sindiran yang tepat untuk membuat So Yun kesal kali ini.
"Kenapa? Apa yang kukatakan benar?" tanya So Yun seraya tersenyum, "ada kalanya manusia perlu menenangkan diri dari bisingnya dunia. Ada kalanya aku yang sebagai manusia kehabisan tenaga untuk menangis dan memilih untuk sendiri. Aku sama seperti orang lain, aku memiliki rasa jenuh yang bahkan mungkin tidak mungkin bisa tertakar dengan nalar manusia. Mungkin orang akan berpikir aku terlalu berlebihan, aku memiliki semuanya, suami yang menyayangiku sampai akhir hayat, anak yang begitu mencintaiku dan harta berlimpah, juga perlindungan dari pengawal tanpa batas. Tapi, hatiku tetap milikku, mentalku tetap milikku dan mereka yang melihatku selama ini hanya bisa berkomentar."
"Kau...lelah padaku?" tanya Jun Su lirih.
"Tidak. Aku tidak pernah lelah pada orang yang begitu menyayangiku. Namun, aku lelah dengan waktu yang seolah tidak memberiku waktu untuk duduk dengan tenang. Mungkin aku terdengar seperti mengeluh namun, aku tetap manusia. Tuhan menciptakanku agar terkadang aku mengeluh dan mendekat pada-NYA. Agar aku sadar, berharap pada-NYA lebih baik."
"Apa sekarang kau masih merasakannya?"
"Hmm," sahut So Yun sembari tersenyum tipis, "masih ada dan itu tidak akan pernah hilang. Kau mengenalku dengan baik Ho Jun Su."
Seakan ada petir yang menyambar dan 25 tahun, namaku terucap untuk pertama kalinya. Entah apa yang kau pikirkan namun, duniaku seakan berputar cepat detik itu.
🎐🎐🎐
26/30
Lamaran
"Kotak apa lagi?" tanya So Yun ketus.
Segala fokusnya kini teralih pada kotak kecil biru yang diberikan Jun Su. Namun, alih-alih menjawab, Jun Su hanya mengisyaratkan So Yun untuk membukanya, sebelum kemudian kembali menikmati pemandangan Pantai Haeundae dari balik kacamata hitamnya.
"Lagiii...? Tidak. Kau simpan saja."
Segera So Yun meraih tangan kanan Jun Su dan meletakkan kotak itu ditelapaknya usai mengetahui isinya. Tetapi, tidak untuk kali ini, Jun Su menahan So Yun. Dia menggenggam erat tangan So Yun sementara tangan lainnya mengeluarkan sebuah cincin dari kotak itu lalu membuang asal kotaknya. Tidak ada gertakan, penolakan atau perlakuan kasar lainnya usai ia berhasil menyematkan cincin tersebut di jari manis kiri So Yun.
"Jadi?" tanya So Yun kesal.
"Diam saja seperti ini, berpegangan tangan dan..."
"Berpegangan tangan? Kau genggam pergelangan tanganku!" bentak So Yun.
Segera, Jun Su membetulkan letak tangannya. Dan ragu tetapi, ada senyum tipis sesaat dari sudut bibir So Yun yang kemudian ikut memandang laut yang berangsur berubah warna sedikit kemerahan karena matahari senja.
"Aku...bukan pria yang bisa mengekspresikan kegembiraan, sedih dan berbagai macam rasa lainnya seperti Yeong Su. Bukan pria yang setiap hari bisa mengungkapkan perasaannya seperti Ki Bum. Tapi, aku bisa sedikit memberi kejutan kecil, mendengarkan ceritamu tanpa henti, menjadi sandaran, pelindung juga berusaha menjadi rumah paling nyaman setiap kali kau pulang saat lelah. Aku hanya akan mengatakan satu kali. Jadi, dengarkan baik-baik."
"Apa?" tanya So Yun dengan kening berkerut.
"Ayo, kita menikah. Mungkin aku tidak bisa memberimu anak. Tetapi, aku ingin jadi Ayah yang baik untuk Seong Jun. Kau percaya padaku?"
"Orang naif yang jatuh cinta akan langsung percaya pada omonganmu. Terlebih seorang janda yang terkadang ada beberapa dari mereka memang memerlukan tempat berbagi. Tapi, untuk sekarang aku belum sepenuhnya percaya. Aku percaya kau menyayangiku namun, untuk menyayangi seseorang yang bukan darah dagingmu pasti sedikit sulit, terlebih kau mengenal Ayahnya. Jadi, untuk posisi Seong Jun, biarkan aku meragukannya untuk sekarang. Semua keputusan kembali ke tanganmu dan Seong Jun nantinya."
"Kau membuat keputusan yang baik. Iya, aku perlu waktu. Bohong jika mereka langsung menerima anak dari orang lain, walaupun kau tahu anak itu dari orang yang kau cintai. Bohong pula kalau kau tidak mengharapkan anak dari wanitamu. Terkadang manusia dipenuhi nafsu. Mereka ingin meraup segalanya namun, sebenarnya tidak mampu. Tapi, untuk seluruh kekurangan fatal yang kumiliki, apa aku harus menuntut banyak tentang yang sudah Tuhan gariskan. Aku mendapatkanmu, aku mendapatkan kasih sayang Seong Jun serta kasih sayang orangtuamu. Apalagi yang aku inginkan. Benar, tidak?"
"Hmm..." ujar So Yun seraya mengangguk singkat.
"Tapi, semua berat untuk kita semua kecuali, bocah bernama Seong Jun. Terkadang aku masih tidak bisa menerima keadaan. Tetapi, setiap kali melihat wajah Seong Jun, aku selalu berpikir, 'bagaimana kalau kita berdamai sekarang?'. Berdamai dengan seluruh kekurangan dan kelebihan. Sebab dari sanalah bisa terbentuk kesempurnaan."
"Apa kau bisa menerimanya?" tanya So Yun ragu.
"Kalau kau bertanya seperti itu, aku tidak akan menjawab. Biar waktu yang berjalan dan menjawab semuanya. Walaupun terkadang aku tidak suka saat harus berhubungan dengan waktu. Ada banyak sakit dan lelah dari rasa menunggu. Tapi, tidak pernah ada yang salah dari menjalani."
"Tapi, jika nanti ada masa, keadaan tidak bisa dikendalikan dan kau melakukan kesalahan fatal pada Seong Jun. Bolehkah kita berpisah selamanya?"
"Tentu. Semua keputusan ada di tanganmu dan akan aku terima walaupun sulit," sahut Jun Su tegas.
Ketika keputusan sudah dibuat. Di situlah Tuhan akan menyertaimu. Entah bagaimana nantinya, dibalik seluruh rasa sakit yang selama ini aku tahan, aku bahagia dengan seluruh rencana yang Tuhan gariskan.
🎐🎐🎐
27/30
Fotograp
Semua jelas dalam sebuah potret. Bahagiaku, gembiraku dan sukacita semua orang. Walau ada sedih membayangi setiap langkah di altar. Namun, setiap doa yang terlantun menjadi menyelimut hangat tatkala air mata haru itu menyertai seluruh gema takdir Tuhan. Bukan tentangku dalam cerita ini. Namun, tentangmu, tentang Seong Jun, dan tentang kita. Kita yang duduk bersama di sini. Kita yang berjanji pada Tuhan bersama Seong Jun. Dan kini, tidak ada lagi Cha Seong Jun. Tetapi, Ho Seong Jun. Anakku yang akan selalu dalam berkat Tuhan.
🎐🎐🎐
28/30
Tentang Kita
Jika kau bertanya, 'kenapa aku memperlakukanmu begitu dingin?'. Aku...hanya sedang menghindar. Dan jika kau bertanya, 'kenapa aku memperlakukanmu dengan sangat baik?'. Sebab...hanya kau yang kuinginkan sejak hari itu.
"Apa? Kau ingin mengolokku?"
"Tidak. Hanya tadi aku kelebihan membelinya."
Segera, So Yun melirik minuman buah stroberi yang diletakkan Jun Su di sisinya. Sementara, Jun Su sudah menyedot minumannya sendiri sembari memandangi lapangan sekolah mereka yang kosong.
"Kau tidak masuk kelas karena aku tidak ingin menerima suratmu?"
"Tidak usah membahas yang tidak perlu. Aku pergi," celoteh So Yun yang kemudian beranjak.
"Kau tidak bawa minumannya?" tegur Jun Su setelah So Yun berjalan beberapa langkah.
Suka. Aku menyukai caramu marah dengan rasa sayang. Hari itu, kau menjadi satu-satunya orang yang membuatku tersenyum.
Kau kembali mengambil minumanmu dan marah lagi. Aku tahu keputusanku bodoh. Namun, detik itu, aku memang belum yakin tentang perasaanku.
🎐🎐🎐
29/30
Buku Harian Yeong Su
"Seong Jun sudah tidur?" tanya So Yun tatkala melihat Jun Su datang menghampirinya.
"Sudah. Ada yang ingin aku bicarakan," kata Jun Su usai duduk dengan malas-malasan di sisi So Yun.
Segera, So Yun mengecilkan volume TV dan fokus pada suaminya.
"Kenapa? Kau kelihatan serius?"
"Ini. Di dalam buku ini semua hal yang Yeong Su simpan tertulis baik dan salah satu tulisannya membuatku berpikir ulang. Kupikir Adikku tidak sebodoh itu walaupun sedang jatuh cinta."
"Apa maksudmu?"
"Bacalah."
Bergegas So Yun membuka buku bersampul hitam yang diberikan suaminya. Ia membaca seksama setiap halaman yang di tandai Jun Su. Lama, sampai semuanya selesai. Dia menutup buku tersebut dan menatap dalam Jun Su yang tengah sibuk dengan tontonannya.
"Jadi, apa kesimpulannya?" tanya So Yun.
"Kalian berdua sudah tahu semuanya?" tanya Jun Su tanpa mengalihkan pandangan.
"Haaa...kau marah? Percaya atau tidak. Aku bahkan tidak paham kenapa dia bisa tahu? Aku tidak pernah menceritakan apapun."
Kening Jun Su pun berkerut tatkala mendengar celoteh Sang Istri. Dan langsung membetulkan posisi duduknya lalu memandang So Yun yang sudah menatapnya kesal.
"Terserah kau. Aku tidak paham. Kalau kau mau marah dengan orang yang sudah mati. Pergilah ke makamnya. Tapi, kalau kau marah padaku yang sama sekali tidak tahu apapun, kau salah. Aku bisa lebih murka. Malam ini jangan masuk ke kamar!"
Terkejut, Jun Su langsung mengejar istrinya yang sudah lebih dulu naik ke lantai dua.
"Hei, Cha So Yun! Aku hanya bercanda."
Iya, terkadang hal lucu dalam rumah tangga itu, pertengkaran akan hal kecil. Hal inilah yang mengajariku arti sabar dan dewasa. Bukan tentang membentak pasangan, bukan tentang menjawabnya dengan teriakan amarah namun, tentang bagaimana aku begitu berterima kasih dan meminta maaf akan setiap perbuatanku. Karena aku tahu, dibalik amarah perempuan, masih ada sedikit rasa kasihnya walaupun orang tersebut telah menyakiti.
🎐🎐🎐
30/30
Epilog
"Jadi, sudah dapat pendonornya?" tanya So Yun dengan air mata berlinang.
Sosok Yeong Su yang terbaring lemah di ranjang hanya tersenyum dan membalas genggaman erat tangan wanitanya.
"Hei, kenapa menangis? Aku akan hidup dengan baik kali ini. Harusnya kau bahagia karena aku mendapat pendonor."
"A, aku senang makanya menangis."
Tawa itu, ternyata adalah tawa terakhir yang kulihat.
"Jun Jun?" tegur Yeong Su.
"Apa?" sahut Jun Su usai mengganti botol infus Yeong Su.
"Kenapa kau tidak menerima cinta So Yun?"
"Apa maksudmu?" tanya Jun Su sembari mengatur cairan infus dan mengalihkan pandangan dari tatap Sang Adik.
"Jangan bohong. Aku tahu semuanya."
"Haaa..." Jun Su menghela napas keras dan memilih duduk lalu menatap dalam Yeong Su, " sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?"
"Terima cinta So Yun. Aku tahu dia tidak bohong tentang rasa sayangnya yang tumbuh untukku. Tapi, aku juga tahu kalau dia lebih menyayangimu."
"Berhenti bicara omong kosong dan fokus pada operasimu besok."
"Kau akan mengoperasiku?"
"Tidak. Aku hanya pendamping seniorku."
"Tapi, kalau terjadi sesuatu padaku. Tolong kau saja yang kabarkan pada So Yun. Jangan menolaknya. Karena aku sudah katakan pada Kepala Shin, apapun yang terjadi padaku, kau yang harus memberitahu So Yun."
"Hmm, sesukamu."
"Aku tahu kau menyetujuinya. Program bayi tabung bisa sedikit membantumu kalau kau memang ingin menerima cinta So Yun."
"Haaa...berhenti bicara omong kosong. Istirahatlah. Aku akan keluar."
Dan detik itu, untuk terakhir kalinya aku menyelimutimu.
"Jun Su?!"
Sosok berkacamata itu menegur Jun Su yang tampak gusar usai keluar dari ruang operasi. Dia menepuk pundak Jun Su sampai akhirnya air mata yang ia tahan cukup lama pun tumpah.
"Tidak apa-apa. Kita sudah melakukan yang terbaik namun, Tuhan yang lebih menyayanginya."
Pria ini, Jang Ki Bum. Dokter muda berhati lembut dan tidak pernah sedikitpun ia pernah kulihat berpikir negatif pada orang lain.
"Sudah lebih nyaman? Kau harus mengabari keluargamu dan So Yun, kan?"
"Kak, sebelum aku memberitahu So Yun, boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa?" tanya Ki Bum dengan kening berkerut.
"Aku tahu kau menyukainya, aku minta tolong padamu setelah aku memberitahukan padanya, rangkul dia, sayangi dia, peluk dia, temani dia. Aku mohon. Yeong Su sangat menyayanginya dan aku yakin dunianya akan hancur setelah aku memberitahukan hal ini."
Dan aku tahu, dia terkejut dengan seluruh permintaan yang kuutarakan. Bukan karena dia mengetahui jika aku menyimpan rasa pada wanita yang sama tetapi, karena aku tahu dia menyayangi wanita itu lebih dari diriku. Runtuh, iya, duniaku runtuh sebab sikap pengecutku membiarkanmu bersandar pada pria lain. Tetapi, hidup yang belum bisa kuterima membuatku melangkah mundur lebih jauh.
"Bagaimana caranya mempertahankan rasa sayang selama 25 tahun?"
Mendengar pertanyaan istrinya, Jun Su pun tersenyum sinis.
"Tidak selamanya itu bertahan. Ada titik di mana aku jenuh dan hampir melupakanmu. Bohong jika aku tetap memiliki rasa selama 25 tahun sepenuhnya apalagi saat itu kau sudah hidup bahagia bersama Kak Ki Bum dan Seong Jun. Sampai aku mendengar kabar kalau Kak Ki Bum mengalami kecelakaan fatal, rasa itu, perlahan kembali dan di mulai dari rasa khawatir yang membuatku bergegas pulang dari Paris."
"Apa sekarang sudah bosan?" tanya So Yun dengan senyum mengejek.
"Tidak. Rasaku sekarang semakin tidak ingin kehilangan. Apalagi kau sekarang lebih banyak tersenyum padaku dan Seong Jun lebih bahagia dari tahun sebelumnya. Bagiku, itu sudah cukup."
Iya, mungkin rasa jenuh menunggu sempat menghantuiku. Namun, jika memang kau takdirku, Tuhan tidak akan pernah membiarkan rasa sayang itu hilang sepenuhnya. Karena sejak tatap kita bertemu hari itu, aku sudah bersumpah, kaulah satu-satunya untukku.