“Kalau begitu, ceraikan istrimu! Dia tidak bisa, kasih ibu cucu laki-laki. Untuk apa, kamu mempertahankan dia sebagai istrimu!”
Suara Ibu mertuaku, Lastri yang mengema masuk hingga terdengar ke kamarku. Namaku, Asih aku menikah dengan mas Reno delapan tahun lalu, dari saat itu pernikahan kami belum di karuniai anak.
Sampai akhirnya, di usia pernikahan masuk tujuh tahun. Aku hamil, anak pertamaku. Saat itu, aku mengira jika mertuaku tidak akan menghinaku lagi, dia tidak akan mengatakan jika aku mandul.
Saat itu juga. Aku berpikir jika hidupku akan berjalan lancar lagi. Karena, aku berhasil melahirkan keturunan untuk keluarga ini, setelah tujuh tahun lamanya.
Tetapi, kenyataan mengatakan hal lain. Ibu mertua ku tetap benci denganku, karena aku melahirkan anak perempuan. Ibu, mertuaku mau cucu laki-laki, dia menganggap cucu perempuan itu tidak berguna.
Entah mengapa, dirinya begitu merasa terhina mempunyai cucu perempuan. Padahal, anakku tidak membawa beban bagi hidupnya, tetapi, bagaimana pun ibu mertuaku membencinya, aku tidak perduli. Aku akan tetap sayang pada anakku.
“Besok, kamu jemput mbak kamu. Nisa, suruh dia tinggal disini sama kita, biar di rumah ini ada cucu laki-laki. Sakit, kupingku denger tangisan cucu perempuan itu.” Ujar Lastri, pada anaknya.
Suamiku, hanya bisa menurut saja permintaan ibunya. Kami tinggal bertiga di kontrakan ini, sebenarnya setelah pernikahanku, suamiku sudah memboyongku ke rumah kontrakan. Ya, walaupun masih ngontrak tapi cukup nyaman untuk kita berdua.
Tetapi, saat mbak Nisa pindah ke kota, ibu di minta untuk tinggal disini, dan di saat bersamaan itu juga, aku hamil anak pertamaku. Hingga, sekarang anakku telah lahir ibu mertuaku masih tinggal bersama disini.
“Assalamualaikum, mas Reno. Kata Ibu, aku disuruh nitip Niko disini! Aku mau tinggal kerja dulu, kata ibu istri mas Reno mau rawat Niko juga sekalian. Ya.aku titip ya mas!” Ujar Nisa, langsung pergi meninggalkan anaknya yang baru berusia dua tahun.
Niko nakalnya kelewatan, bener-bener sangat nakal. Dia main lompat-lompat di kasurku, saat aku tengah menidurkan bayiku. Aku mencoba melarangnya, tapi ibu mertuaku salah paham denganku.
“Niko, turun ya nak? Adik bayi lagi bobok, kamu main di depan dulu ya!” Pintaku dengan lembut. Niko, keluar dari kamarku. Aku pikir, dia pergi main ternyata dia mengadu dengan ibu entah apa yang dia katakan, dengannya.
“Kenapa kamu bentak cucuku,Asih! Dia cucu laki-laki ku, sembarangan kamu main bentak dia! Jangan kurang ajar ya kamu, saya adukan ke Reno nanti.” Ancam Ibu mertuaku, membela Niko anak mbak Nisa.
Aku masih berusaha sabar. Niko selalu berbuat seenaknya di rumah. Dia menghamburkan baju yang baru aku selesai setrika, terkadang dia membuang-buang bedak bayi anakku, terkadang juga dia Kencing sembarangan hingga membuat lantai, rumahku bau Pesing.
Jika, aku melarangnya. Mertuaku akan marah, dia tidak akan segan membentakku, dia membela cucu dari anak pertamanya. Niko, sama sekali tidak boleh di salahkan, bahkan terkadang suamiku juga diam melihat tingkah anak itu.
“Mas, Niko nakalnya kelewatan mas. Aku, sudah coba beri tau dia baik-baik, tapi ibu kamu membelanya mas. Padahal, anak itu jelas-jelas salah mas. Mas, kembalikan saja dia pada mbak Nisa, tenagaku terkuras mas, harus urus anak kita, di tambah harus ngurus tolder juga. Aku, ngga kuat mas.” Keluhku, pada mas Reno.
Mas Reno terlihat bimbang, “Aku, ngga enak ngomong nya pada ibu. Aku, takut Ibu salah ngartiin ucapanku. Aku, juga enggak enak sama mbak Nisa, dia saudara kandungku, udah. Kamu yang sabar saja, kalau sering di kasih tahu, anak itu akan paham.”
Suamiku, sama sekali tidak bisa mengambil keputusan yang tegas. Jika, aku yang bertindak ibu mertuaku akan salah paham, lama-lama rumah kontrakan ini, bukan seperti rumahku lagi. Ini, seperti rumah mereka.
Satu tahun berlalu, Niko masih di titipankan disini, dan. Sekarang di tambah mbak Nisa, yang tinggal bareng di kontrakan ini, suamiku tetap bayar kontrakan sendiri, di tambah dia juga harus menambah uang belanja, karena yang makan sekarang bukan cuma kita berdua saja.
“Uang, gaji kamu kemarin di mana Reno? Kenapa, kamu nggak kasih ibu? Uangmu, jangan cuma kamu kasih istrimu saja, entar uangnya digunakan buat hal-hal yang enggak berguna. Asal kamu tahu, kerjaan istri kamu cuma beli barang paketan saja, kalau kamu nggak ada di rumah, istri kamu kerjanya cod paket saja.” Bohong Ibu mertuaku.
Aku mendengar, aduan palsu Ibu mertuaku dari dalam kamarku, rasanya aku ingin keluar dan menjelaskan semuanya pada suamiku.
Sekarang gaji, suamiku sudah di pegang oleh Bu Lasri, nafkah yang mas Reno berikan padaku cuma lima ratus ribu saja, padahal gaji mas Reno hampir tujuh juta rupiah. Sekarang, gaji mas Reno harus di bagi banyak.
Dia bagi untuk ibunya, untuk mbak Nisa juga, karena setelah bercerai dengan suaminya, mbak Nisa tidak mau kerja, walapun dia punya hutang lebih dari dua puluh juta. Dan sekarang, suamiku yang harus ikut andil untuk membayar hutang itu.
“Ya Bu, uang ibu pegang saja, istriku aku kasih lima ratus ribu saja Bu. Buat, dia beli keperluan buat anakku juga, buat jajan.” Jawab mas Reno.
Ekspresi ibu berubah jadi tidak kesal, saat suamiku membahas aku dan anak kita. “Anak dan istri kamu, nggak perlu kamu manjain! Nanti, mereka jadi manja dan bergantung dengan uang kamu saja! Mending, itu uang kamu kasih ke Ibu, ingat, surga kamu dibawah kaki ibu.”
Aku semakin geram, aku merasa hal yang Ibu lakukan makin tidak adil. Saat itu, tekad baruku muncul, aku akan membalas perbuatan Ibu dengan halus. Tadi, ibu bilang aku kerjaanya beli paket saja? Oke, akan aku tujukan aku akan membeli apapun yang aku mau, yang akan membuat ibu semakin geram denganku.
Pertama, aku harus punya uang dulu. Aku membuka aplikasi cerita online ku, selama menjaga bayiku dulu, aku selalu bermain ponsel, tapi bukan untuk menonton gosip melainkan untuk membaca cerita dan menulis cerita.
Dari tulisan yang aku buat, aku mendapatkan pundi-pundi rezeki. Rencananya, uang itu akan aku tarik saat sudah terkumpul tiga digit, tetapi, sekarang karena ulah ibu, aku akan menarik uangku yang sudah berjumlah dua digit.
Pencairannya, tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya dalam waktu sehari, uang itu sudah masuk kedalam rekeningku. Ya, sekarang aku akan membeli barang-barang yang aku mau, agar ibu melihat apa yang akan aku beli.
“Paket. Atas nama Asih “ ucap kurir paket, saat mengantarkan pesananku di pagi hari, tidak satu paket ada hampir lima paket. Dan, seperti kemauanku, ibu yang datang untuk mengambil paketku.
“Kan bener, si Reno nggak mau di bilangin! Ini, uang gaji dia udah, dipakai ngga bener sama istrinya! Ngga mau nurut dia, sama ucapan Ibunya!” Teriak mertuaku sembari membawa paket miliku.
Aku hanya tertawa saja dari dalam. Paket itu dia lempar ke kamarku, aku kembali tertawa dia pikir aku hanya beli paket untuk satu kali ini saja? Tentu tidak, setiap hari kurir paket akan datang, untuk membawa pakian baru untuk anakku.
“Reno, anak kamu ngga usah diganti pakian setiap hari, mubazir! Anak perempuan gitu, minta saja baju lungsuran dari tetangga! Ngga perlu kamu keluh-keluhan anak perempuanmu. Lihat, kelakuan istrimu! Setiap hari, kurir paket datang! Uang kamu, habis di pakai foya-foya, beli barang ngga berguna oleh istrimu!”
Reno mengusap wajahnya, dia menghampiriku setelah di marahi ibunya. Dia menginterogasiku, di mana aku mendapatkan uang, untuk membeli banyak pakian? Sementara, dia hanya memberiku uang lima ratus ribu. Itupun, aku harus membayar cicilan air, dan listrik.
“Ada mas, ibuku di kampung kirim uang buat cucu perempuannya. Katanya, biar cucu perempuannya jadi lebih cantik, jadi di kirimin uang, buat beli baju, sepatu dan susu formula yang mahal.”
Aku sengaja gedein suaraku, agar mbak nisa dan ibu bisa dengar dari luar. Agar, mereka tahu jika ibuku mengirim uang, aku sengaja bohong ajar mereka tidak tahu aku dapat uang dari hasil kerja kerasku.
“Alah, Bu! Ngga mungkin susu mahal, ibunya hanya pemetik cabai di kampung, mana mungkin punya uang banyak buat kasih ke dia. Palingan, susu warung saja. Ah, atau susu kental manis, ngga mungkin susu mahal. Niko, anakku baru pakai susu mahal, makannya dia pinter dan aktif anaknya.”
Nisa paling iri dengan iparnya. Walapun dia sekarang tengah tidak bekerja, tapi dia selalu ingin bergaya agar lebih unggul dari Asih. Dia, selalu pamer barang mahal, dan menyombongkan mantan suaminya yang katanya juragan ikan itu.
Semakin hari, paket yang Asih beli semakin banyak. Mertuanya. Sangat marah dengannya, tapi dai cuek saja. Wajah Nisa juga selalu masam, hal-hal yang dia pengenin sekarang asih bisa beli.
“Di mana dia dapat uang Reno? Kenapa kamu nggak kasih gaji kamu ke Ibu, sama ke mbak! Kenapa kamu kasih dia aja? Dia cuma istri kamu, kami itu keluarga kamu Reno.”
Ibu mertuanya, dan iparnya merasa tidak terima, mereka tidak terima saat Asih memakai barang mahal dan mengunakan anaknya pakian mahal juga. Sementara, anaknya Nisa makin lusuh, dan tidak terawat karena ibunya hobi rawat diri aja, ngga pernah rawat anaknya.
“Berapa sebenarnya gaji kamu Reno? Kenapa dia bisa beli ini, itu? Sementara, ibu dan mbak kamu kering!”
Reno akhirnya mengintrograsiku lagi, dia menuntutku untuk bicara jujur, darimana aku dapatkan uang itu? Dia tidak percaya lagi, kalau uang itu aku dapatkan dari ibuku.
“Uang, yang aku dapatkan adalah rezeki dari anak perempuan, yang selalu ibu kamu dan kakak Kamu remehkan.” Ujarku.
Aku membeberkan bukti, asal muasal uang yang aku dapatkan. Dan sekarang, kontrakan inipun sudah aku beli dengan cash. Mertuaku dan mbak Nisa memilih pergi dari rumah ini, mereka merasa malu tinggal di rumah dari anak perempuan yang selalu dia rendahkan kehadirannya.