Sean tertegun saat Lily memberikan jawabannya dengan rona merah dipipinya seraya malu-malu. Diapun reflek mengalihkan pandanganya dan berhenti menepuk-nepuk kepala Lily.
'F*ck! Kenapa iblis ini benar-benar... imut?' pikirnya dalam hati.
Dia tidak tahu harus menjawabnya seperti apa sehingga dia hanya dapat berkata,
"Oh... uh...."
Namun beberapa saat kemudian dia mencoba untuk kembali menguatkan dirinya sendiri dan berkata lagi,
"Jangan bilang cuma karena itu. Kasih aku alasan lainnya."
Rona merah di pipi Lily semakin terlihat dipenuhi malu, namun dia mencoba untuk kembali menata dirinya dan memberi jawaban yang lebih baik dari sebelumnya,
"Y-yahh.. aku, ingin merasakan sentuhanmu, memelukmu, menc—" katanya dengan suara lembut.
"OK STOP SAMPAI DISITU!!!" Potong Sean dengan nada panik
Namun saat Lily sadar dengan apa yang baru saja dia katakan, dia menjadi lebih tersipu sampai hampir seluruh wajahnya menjadi semerah tomat.
Sean tak bisa berkata-kata lagi, dan hanya bisa terpaku di tempatnya sambil menghela napas, merasakan kepalanya mulai berdenyut. Keheningan seketika mengisi keduannya.
'Apa katanya? M-me-argh! Bocah gila! Nggak, sepertinya aku yang sudah gila! Kita berdua gila! Aarghh!!' Sean berteriak dalam hati, pikirannya campur aduk dan benar-benar berantakan.
Tapi sebelum Sean sempat untuk membuka mulutnya lagi, Lily kembali meneruskan kalimatnya,
"Ah! Um, maaf..." katanya, sehingga membuat Sean tersentak dari lamunannya.
"Ma-maksudku...aku uh... aku... Aku suka sama kamu..." akunya lirih sambil melirik Sean malu-malu.
"Kh-uhuk!" Sean hampir saja tersedak.
Dia menatap Lily dengan tercengang saat mendengar kalimat itu, membuatnya benar-benar kehilangan kemampuan untuk berpikir.
"S-suka?" tanya Sean dengan nada agak keras sementara hatinya berdebar-debar dengan cepat, antara takut: was-was; dan perasaan aneh yang ia tolak untuk mengakuinya.
Lily hanya mengangguk pelan, malu-malu, sambil kembali mengalihkan pandangannya menghindari tatapan Sean.
'Nggak nggak NGGAK!! Dia itu iblis, Sean! Sadarlah!' teriaknya dalam hati sembari menggelengkan kepalanya dengan kuat agar kembali berfikir rasional.
Lily tidak memberikan waktu untuk Sean berpikir sebelum dia kembali berbicara,
"Aku suka kamu," katanya sekali lagi seraya mendekat ke arahnya dengan puppy eyes nya, membuat jantung Sean kembali berdegup dengan cepat.
"Aku sering menguntit— ah-uhm.. maksudku melihatmu dari jauh, aku melihat bagaimana kamu bersikap dengan semua orang... kamu sangat baik... sangat lembut... dan aku... aku suka itu," lanjut Lily sambil tersipu malu, matanya memandang lurus dengan tatapan menyelam mata Sean.
Sean kembali kehilangan kata-kata saat mendengar perkataan iblis itu. Hatinya terus berdebar dengan cepat sampai rasanya itu saja yang bisa ia dengar di telingaannya.
'F-f*CK!' umpatnya dalam hati
***
Pada akhirnya, Sean pun mengijinkan iblis itu tinggal di apartemennya dengan syarat dia mau bersumpah untuk tidak pernah menyakitinya yang tentunya diiyakan oleh Lily dengan penuh hati.
Saat ini, Sean tengah dalam perjalannya menuju kampus dengan ekspresi lesu seraya mengutuk akan kebodohan dirinya sendiri.
'Haaah.... Aku pasti sudah bosan hidup.' pikirnya dalam hati.
Sementara itu, Lily menunggu diapartemen nya seperti anjing pintar yang mematuhi perintah tuannya.
Terlepas dari kenyataan bahwa Sean tahu dia sendirilah yang mengijinkan iblis itu tinggal dengannya, ia merasa itu masih sulit dipercaya. Ia terus menghela napas sepanjang perjalanan dan tenggelam dalam pikiran negatifnya.
'Aku sudah gila, benar-benar gila' katanya dalam hati
Setibanya di kampus dan kelas dimulai, Sean bahkan lebih sulit untuk fokus dari biasanya karena dia terus-terusan hanya bisa membayangkan tentang Lily yang kini tinggal di apartemennya.
'Arghhh! Rasanya mau mati— eh nggak! aku belum mau mati! Jangan ambil nyawaku Tuhan🙏🏻' pikirannya benar-benar amburadul.
Sementara itu, teman dekatnya yang bernama Dion sudah memperhatikan sikap anehnya sedari tadi yang tiba-tiba melamun lalu sedetik kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya bak kesambet. Keningnya pun berkerut, dan sebelah alisnya terangkat.
'Ni bocah kenapa dah?' dia bertanya-tanya dalam hati
Seusai kelas berakhir, teman sekelas lainnya sudah mulai bergegas keluar dari kelas, sementara Sean hanya diam melamun.
Dion pun menghela napas dan menghampirinya. Meski langkahnya terdengar jelas, Sean belum sadar dan masih tenggelam dalam pikirannya. Setelah mengambil napas dalam-dalam, tanpa peringatan tangannya terangkat dan…
|plakk| Dion memukul kepala Sean cukup keras dan menyadarkannya.
"ARGH!?! WTF!"
Kepala Sean berdenyut akibat pukulan Dion itu, membuatnya langsung menoleh ke arah temannya yang lebih iblis dari iblis diapartemenmya itu. Tangannya otomatis mengusap dan memijat kepalanya.
"Anj— Kenapa mukul kepala, sih?!" tanya Sean kesal sementara matanya terus menyalak ke arah Dion.
"Masa nggak sadar kalau aku sudah disini daritadi?" balaskannya dengan nada malas.
"Ya mana aku tahu, brengsek!" Sean menyahut kembali, semakin kesal.
"Ya kamu daritadi kenapa, anjir?! ngedumel nggak jelas terus geleng-geleng, kesambet apa gimana ha?!"
"Nggak, enak aja!" sahut Sean cepat, terdengar defensif hingga membuat Dion kembali menghela napas.
"Terus kenapa?…. ohhh.... apa jangan-jangan karena C.I.N.T.A?" kata Dion dengan nada menjengkelkan sambil menyeringai dan mengedipkan mata.
"Hah?! nggak usah mengada-ngada!" Sean membantahnya cetus.
"Ukh, jadi beneran karna cinta nih?" Dion menjerembab, semakin membuat perasaan Sean campur aduk.
"Apasi gajelas!"
"Ya... ya... ya udah. Lagian, kamu tuh gampang banget ditebak tahu. Yah, tapi akhirnya temenku yang satu ini pensiun jomblo juga. Selamat ya..." ucap Dion semakin meledeknya.
"KUBILANG BUKAN YA BUKAN!!" sahut Sean kasar yang mana agaknya terlalu keras sehingga membuatnya tertegun sendiri.
Dia kembali menarik napas dalam-dalam agar kembali tenang sementara Dion menyeringai semakin lebar.
"Halah... nggak usah pura-pura deh! Aku tahu kamu tuh sudah terkena virus C.I.N.T.A." katanya sambil merangkul pundak Sean dan membentuk tanda hati menggunakan jari-jarinya tepat didepan wajah Sean.
"Tsk"
Sean yang kekesalannya memuncak pun menepis lengan Dion dan beranjak pergi.
"Waiitt brotherrrrr! Aku belum selesai ngomong… heyy!!" Dion segera memanggilnya dan kembali merangkul pundak Sean sebelum ia sempat melangkah jauh.
"Mau pulang?" tanya Dion dengan nada menyebalkan
Sean hampir saja menghajar wajah tengilnya itu sebelum akhirnya dia hanya menghela napas panjang dan mengangguk lemah sebagai jawaban.
"Cieee... sudah nggak sabar telfon pacar yahh? Mau kencan?" ledek Dion sekali lagi.
"Kubillang bukan, brengsek!! AWAS!" Sean menyentak dan menepis tangan Dion dari pundaknya.
Tubuhnya sudah sangat tegang menahan kekesalan yang memuncak karena ledekannya. Namun Dion hanya tertawa-tawa sementara Sean terus mendengus keras.
"Ah, tapi iya juga sih. Aku hampir lupa kalau... kamu kan kutu buku plus ambisius tiada tanding. Mana mungkin orang kayak kamu ada pacar pfft-hahaha" kata Dion dengan nada mengejek lalu tertawa terbahak-bahak sampai pundaknya gemetar.
Sean tidak tahu sampai kapan dia masih kuat untuk mentolerir ledakan Dion yang terus-menerus mengoloknya tentang "C.I.N.T.A" setiap dia mendapat kesempatan.
Tapi apa boleh buat, dia hanya bisa berusaha untuk tetap tenang dan mengabaikan semua pengolokan tersebut, bahkan ketika akhirnya mereka hendak berpisah di persimpangan jalan.
"Bye-bye my virgin friend!!" ledek Dion dengan keras seraya melambai-lambaikan tangannya dan mengambil jalan yang berlawanan dengannya.
"Bajingan gila." umpat Sean pelan sambil menatap sohibnya itu menghilang diujung jalan.
Sesampainya Sean diapartemen, dia mendorong pintu masuk dengan kasar dan menutupnya keras-keras setelah itu.
Lily yang sudah menunggunya sedari tadi dengan tidak sabar, tidak menyadari emosinya dan seketika sumringah mendapati kepulangannya. Iapun langsung menyambutnya dengan wajah berseri-seri.
"Tuann~ Welcome back!!" sambutnya dengan panggilan tak terduga.
Sean yang sudah sangat frustasi seketika melongo saat mendapati Lily menyambutnya begitu bahagia. Namun seketika itu juga dia hanya menghela napas pasrah menyaksikan tingkah iblis itu yang menurutnya konyol.
Dia menjatuhkan tasnya sehingga membuat bunyi lalu berjalan melewati Lily dan duduk diatas sofa dengan kepala yang tertelungkup dan wajah frustasi.
"Haah...."
"Tuan…?"
Lily memperhatikannya dengan tatapan bingung dan penasaran, diapun memiringkan kepalanya saat dia hendak bertanya pada Sean.
"Tuan kenapa? Apa ada masalah?"
Sean tidak segera menjawab pertanyaannya, dia hanya menghela napas sekali lagi seolah mencoba agar tenang sebelum akhirnya menjawab dengan nada kesal.
"Haah..... nggak ada masalah apa-apa. Aku cuma lagi kesal saja sama teman kuliah" katanya
Lily hanya diam saja memperhatikan kekesalan Sean yang sedikit memajukan bibirnya. Dia terus mengamatinya dengan tatapan penasaran.
Kemudian setelah beberapa saat, dia pun memberanikan diri untuk menghampiri Sean, dan tiba-tiba duduk di atas pangkuannya dengan nyaman. Sean jelas kaget dengan tindakan tiba-tiba tersebut,
"W-woah, HEY-!"
Sean terus menatap Lily dengan tatapan bingung sementara jantungnya mulai menggebu-gebu saat menyadari bahwa dia hanya beberapa sentimeter dengan wajahnya.
Namun dia berusaha untuk tetap tenang dan menyahutnya dengan nada kesal sementara matanya terus menatap Lily tajam yang sudah duduk dengan nyamannya.
"Jangan asal duduk diatasku, sudah gila ya!?!"
Lily hanya mengacungkan ibu jarinya didepan wajah Sean, 👍
"Tenang saja, mana mungkin aku gila," katanya polos, yang membuat Sean semakin melongo.
"Aku cuma mau menghiburmu~ Lagipula, aku juga sangat saaaangat merindukanmu! hehe" ucapnya sambil menarik kemejanya sehingga membuat wajah dengan senyum polosnya itu semakin dekat dengan hidung Sean.
Sean hanya bisa ternganga saat mendengar alasan gila wanita diatas pangkuannya tersebut. Kehadirannya yang begitu dekat membuat jantungnya berdegup menjadi sangat cepat.
"Ugh-! Berhentilah main-main," ucap Sean seraya mengalihkan pandangannya. "Turun dariku sekarang."
Lily hanya mengerutkan bibirnya setelah mendengar ucapan Sean tersebut.
"Kalo aku nggak mau~?" Tanyanya dengan nada meledek seraya mengalungkan tangan ke leher Sean.
"Tsk"
Sean hanya berdecak kesal, kemudian meraih tangan Lily untuk membuatnya turun, namun tangan Lily sudah lebih duluan menangkap pergelangan tangan Sean dan menahannya di senderan sofa.
Sean sontak membeku dan mengerutkan dahinya, dia mencoba menggeliat untuk melepaskan cengkraman Lily darinya.
'K-kekuatan macam apa ini?!!' batinnya, ketika usahanya gagal total.
"H-hey Lepas! Apa maksudnya ini?!"
"Nggak mau~" ucap Lily dengan nada manisnya.
Dia lalu menyenderkan kepalanya di dada Sean dan mendongak menatapnya dengan puppy eyes yang membuat pikiran Sean semakin tak karuan.
"U-uh-"
Sean berharap dia bisa menepisnya atau membentaknya agar gadis iblis itu tak seenaknya. Namun ingatan akan iblis itu yang menangis tersedu-sedu malam sebelumnya hanya karena dirinya yang berbicara keras sedikit membuatnya semakin dilema.
"Kau benar-benar— haah..."
Sean pun hanya mampu pasrah, ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan memejamkan mata seraya menunggu Lily bosan lalu melepaskannya.
Lily yang melihat tingkah pasrah Sean pun semakin berkeinginan untuk melakukan hal lebih jauh. Dia kemudian menekan dadanya agar bergesekan dengan Sean.
"Tuan~" panggilnya dengan nada menggoda.
Hal itu membuat seluruh tubuh Sean merinding seketika dan spontan membelalakkan matanya, tubuhnya menegang.
"H-He-hei... apa yang kau lak- ahhh!"
Sean terkesiap saat dia merasakan ekor Lily menyelusup melalui bawah kaos nya seraya merayap turun perlahan, menelusuri otot dada dan perutnya. Tangan Sean mengepal kuat dan mencoba berontak untuk melepaskan genggaman Lily darinya sekali lagi, namun gagal juga.
"Hei—! haah…" Sean hanya mampu merespon dengan helaan napas yang bergetar, namun dengan cepat mengontrol kesadarannya. "Kubilang lep—mmph!?
Sean baru saja akan protes kembali sebelum bibirnya terbungkam oleh bibir Lily yang dengan tiba-tiba melumat miliknya dengan lembut.
Seketika saja, semua protesnya berubah menjadi desahan yang membuat wajahnya sendiri memerah.
Lily tersenyum penuh kemenangan mendapati respon Sean yang seperti itu. Diapun memperdalam ciumannya sementara tangan satunya turun untuk menyentuh dadanya lalu berpindah untuk meraba-raba perutnya dengan sensual. Sean refelks menggigit lidah Lily saat tangan lembutnya perlahan menelusuri pinggangnya, dan membuat Lily tersentak dan membelalakkan matanya.
"Mpmh!?!"
"Gyahh!" teriak Lily karena rasa sakit yang tiba-tiba itu.
Cengkraman tangannya pun mengendur dan Sean dengan sigap mengambil kesempatan itu untuk melepaskan diri dan mendorong Lily turun dari pangkuannya.
"Ow!? T-tuan...." rintih Lily dengan tatapan bingungnya
Sean berdiri dan menatap tajam kearah Lily seraya menutup bibirnya dengan punggung tangan. Amarah Sean nampak begitu jelas saat dia membuang muka dan melenggang pergi ke kamarnya sambil menenteng tas yang ia lempar tadi lalu menutup pintunya kuat hingga mengeluarkan suara gedubrak yang keras.
|Brakk|
Lily terlonjak kaget dan terdiam, mencerna apa yang baru saja terjadi. Tangannya masih menutup bibirnya dengan rasa sakit di lidahnya akibat gigitan Sean sebelumnya.
Dia hanya bisa terpaku menatap pintu kamar Sean yang kini tertutup rapat, senyum nakalnya pun menghilang, digantikan dengan ekspresi resah dan khawatir.
"Tuan keliatan… marah..." gumamnya pelan sementara ekornya berkedut gugup.
Sesampainya di dalam kamar, Sean dengan kasar melemparkan tasnya di atas mejanya. Dia melepas ikat pinggangnya dengan kasar dan melemparkannya sembarang. Dia kemudian menarik kaosnya dan melemparkannya sembarang juga.
Sean melirik kebawah dimana tonjolan nampak di celananya dan hanya bisa membisu sementara pikirannya berkecamuk.
Sengketa Lily sebelumnya membuatnya merinding serasa buih-buih syurga menyentuh kulitnya. Dia mengusap wajahnya dengan kasar sembari menghela napas frustasi lalu melenggang memasuki kamar mandi dan menyalakan kran air, berharap air dingin dapat menenangkannyan namun sia-sia. Diapun berakhir menyalurkan hasratnya yang terlanjur berkobar sendirian.
'F*CK!' umpatnya dalam hati.
Hampir setengah jam kemudian, Sean keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar dengan memakai kaos putih polos berbalut jaket, bersiap untuk pergi ke tempat kerja paruh waktunya.
Sesaat kemudian, ia membuka pintu dengan kasar dan tanpa ekspresi lalu mengenakan sepatunya yang ada di rak sepatu depan pintu masuk rumahnya.
Lily yang diam-diam mengawasinya dari atas sofa, mencoba mencari kesempatan untuk mengajaknya bicara. Namun beberapa saat setelahnya, ia merasa tak akan punya kesempatan karena Sean nampak mulai berjalan menuju ke arah pintu, jadi dia akhirnya memutuskan untuk memanggilnya.
"TU-TUAN!" Panggilnya sedikit keras sehingga membuat Sean menghentikan langkahnya namun tidak menoleh sedikitpun ke arahnya.
"Tuan tunggu sebentar!" katanya, buru-buru berlari ke arahnya.
Sean hanya diam sambil terus membawa langkahnya ke pintu sementara Lily berlari mengejarnya sehingga berhasil menggapai bajunya dari belakang.
"A-apa tuan marah...? Ma-maaf... aku benar-benar nggak bermaksud membuat tuan marah....( •̯́ ᎔ •̯̀)"
Sean hanya melirik dari ujung matanya sementara tangan iblis itu masih mencengkeram bajunya. Dia menghela napas frustasi setelah melihat ekspresi bersalah iblis itu sebelum akhirnya berbicara dengan wajah datar.
"Aku nggak marah. Sekarang lepasin, aku mau kerja." katanya dingin sebelum mencoba untuk melepaskan tangan Lily dari kaosnya.
Lily menggigit bibir bawahnya sementara kemuramannya jelas terlihat, dia hanya meremas bajunya semakin erat.
"Erm... o...oke..." katanya pelan sebelum akhirnya melepasnya dengan kepala tertunduk.
Sean menghela napas lagi sementara pikirannya kembali berkecamuk. Entah mengapa, wajah Lily yang muram membuatnya menjadi merasa bersalah.
'Haaah... apa aku selemah itu soal perempuan?' batinnya
"Aku pergi dulu dan jangan membuntuti ku." katanya tegas lalu beranjak pergi.