Namaku Aisyah Putri, bulan lalu usiaku genap lima belas tahun. Aku anak kedua dari dua bersaudara, Satria Putra empat tahun selisih usia kita. Aku tidak akrab dengan saudara ku meski kami saudara kandung, dia cenderung cuek tapi jika adiknya dalam masalah ia akan bergerak dalam diam.
Kedua orang tua ku lengkap, kakek dan nenek juga masih ada. Dulu kami sangat akrab saat masih duduk di bangku sekolah dasar, tapi entah apa yang terjadi padanya semenjak ia masuk SMA, sifatnya berubah drastis. Kita seolah menjadi orang asing.
"Ai, kok ngelamun?" tegur temanku, kami satu meja.
"Bang Sat kenapa sih!" jawab ku tiba-tiba tanpa menoleh kearahnya, aku pun tak terkejut meskipun ia sering tiba-tiba muncul. Itu karena aku sedang memikirkan Abangku yang sekarang jadi seperti itu, cuek, dingin, dan asing dimataku.
"Eh, Lu ngatain gue!?" ucap Jamila, sambil memukul pahaku.
Akupun menoleh ke arahnya dan berkedip beberapa kali lalu tertawa, Mila jadi semakin bingung. Bukannya menjelaskan apa yang aku ucapkan, malah tertawa gara-gara panggilan sayang untuk Abangku.
"Enggak, sorry. Gue manggil Abang kok, bukan ngatain Lu Mil!" kataku sambil tertawa.
"Gue lagi-lagi kaget tau, panggil yang lengkap dong gak sopan banget kalau Lu manggil setengah gitu jadi kayak ngumpatin orang!" tutur Mila, dan lagi.. Dia suka memukul saat dia tengah berbicara. Padahal dia sendiri mulutnya penuh dengan kata-kata manis seperti umpatan, hanya di depan keluarga ku dia sangat manis.
Ah, pahaku serasa terbakar, sesekali ku balas pukulannya. Tak lupa ku tunjukan bekas dia memukul, dan ku pastikan tidak ada orang selain kami, bisa bahaya kalau aku buka rok ku sembarangan.
"Bang Sat aja gak pernah komen soal panggilan gue, kenapa Lu marah-marah."
"Ya ini nih, yang bikin Lu renggang sama Abang Lu yang tampan rupawan itu, dia ngambek gara-gara Lu manggilnya gak sopan!" Mila kembali menasihati ku, dan lagi-lagi tangannya yang ringan itu memukul ke segala arah kali ini.
"Lu kalo ngomong ya ngomong aja dudul, gak usah aniaya gue begini, begitu. coba, ini tangan diem. Gak usah mukul juga gue bakal denger kok Lu ngomong apa!" kata ku sambil menahan ke dua lengan Mila.
Kami justru tertawa sampai akhirnya waktu istirahat berakhir begitu saja. Hari ini adalah hari terakhir ujian akhir, tadinya deg-degan bagaimana dengan hasil ujian ku nanti, gara-gara Mila aku jadi kurang fokus belajar, bukannya pulang dari sekolah langsung kerumah, eh malah di ajak kencan ganda. Aduh ini umur masih berapa sudah di ajarin pacaran, meskipun aku tak bereaksi sama sekali, setidaknya Mila lah yang paling aktif.
Aku sampai heran dengan anak yang satu itu, dan parahnya lagi aku mau-maunya di ajak. Agak sedikit geli juga, Mila sangat pandai berpacaran dan entah yang keberapa itu aku tak lagi menghitungnya.
Apa semua orang berpacaran seperti itu?
Hampir mirip suami istri, ah bukan hampir tapi memang mereka seperti itu. Aku pernah melihat Mila berciuman di kelas, bahkan pacarnya itu juga meremas buah dada Mila, aku geli dan jijik saat adegan itu terpampang nyata tepat didepan mataku. Tapi rasa penasaran juga ada, aduh ada apa dengan ku, jangan sampai aku berbuat seperti itu sebelum menikah, Mila saja sampai membuat suara-suara aneh. Mau jadi apa dia kelak, aku merasa lelah sendiri dengan tingkahnya.
Dada Mila juga lebih besar dari ukuran anak SMP yang lain termasuk aku. Heran, kenapa aku bisa berteman dengannya, semua mengalir begitu saja. Mila sendiri tak malu menceritakan cerita panasnya kepada ku, dia sering bilang jika bersentuhan dengan pacar-pacarnya terasa ada tegangan aneh yang membuatnya semakin candu.
Sering aku menginap di rumahnya, aku juga sering mandi bareng dia, leher dan dadanya penuh luka kemerahan, dia bilang itu bekas gigitan vampir. Aku hampir percaya dengan omongan sahabat sengklek ku itu, setelah memperlihatkan beberapa detik adegan ia di hisap oleh vampir aku pun baru percaya, bukannya penasaran lagi tapi aku jijik. Tapi entah kenapa aku masih menontonnya dan mulutku tak henti berkomat kamit.
Itu Mila, beda dengan ku yang takut jika seseorang mengajak ku berpacaran, meski sering diajak double date, aku tak pernah menerima mereka yang selalu dijodohkan dengan ku.
"Ai, gue tunggu di kantin ya," ucap Mila berlalu sambil membawa kertas ujiannya ke depan kelas. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Ini jam terakhir, semuanya masih fokus tapi Mila sudah pergi.
'Cepet banget, masih kurang lima belas menit udah selesai aja, pasti ngawur lagi dia jawabnya!' gerutuku dalam hati.
Aku termasuk murid yang enggak pintar-pintar sekali. Nilai ku standart sama seperti orangnya, semuanya serba standart termasuk...