Hujan turun dengan deras di Kota Pelabuhan malam itu. Lampu jalan yang remang-remang memantul di genangan air, membentuk bayangan panjang yang menari di trotoar. Arga menepikan motornya di depan kafe kecil bernama Lantang Senja, tempat ia biasanya menghabiskan malam dengan buku dan kopi panas.
Saat ia menatap ke luar jendela, matanya menangkap sosok seorang wanita berdiri di depan kafe. Mantel hitamnya basah karena hujan, rambutnya menempel di wajah, dan ia menatap Arga dengan pandangan yang aneh, seolah ia mengenal Arga—padahal Arga tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Wanita itu tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam kafe. Arga merasa jantungnya berdegup lebih cepat.
“Maaf, boleh duduk di sini?” suara wanita itu lembut, hampir seperti bisikan.
Arga mengangguk, masih tercengang. “Silakan.”
Namanya Lira. Mereka mulai berbicara tentang hal-hal ringan—kopi, musik, kota saat hujan—namun di setiap kata Lira, ada sesuatu yang tersembunyi. Ada rahasia di balik senyumnya, sesuatu yang membuat Arga ingin tahu lebih banyak, tapi juga merasa takut.
Hari-hari berikutnya, Lira selalu muncul di saat Arga tak menyangka. Di perpustakaan, di trotoar kota yang basah, bahkan di pasar malam yang ramai. Mereka menghabiskan waktu bersama, tertawa, dan saling mengenal lebih dekat. Arga merasakan dirinya jatuh cinta perlahan-lahan, tapi misteri Lira selalu menggantung di pikirannya.
Suatu malam, Arga menjemput Lira pulang dari kampus. Hujan rintik-rintik menempel di kaca mobil.
“Kenapa kau selalu muncul tiba-tiba, Lira?” Arga bertanya, menatap mata Lira yang penuh rahasia.
Lira tersenyum samar. “Mungkin karena kita ditakdirkan bertemu, Arga. Tapi ada hal-hal yang kau tidak boleh tahu sekarang.”
“Hal-hal apa?” Arga penasaran.
“Terkadang… masa lalu seseorang terlalu berat untuk diceritakan,” jawab Lira, menunduk. Suaranya hampir tak terdengar di tengah deru hujan.
Arga menelan ludah. Hatinya mencelos, tapi ia hanya bisa menggenggam tangan Lira lebih erat. “Aku tidak peduli. Aku ingin tetap bersamamu.”
Lira diam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kau berani, Arga. Tapi ketahuilah… cinta kita mungkin tak selalu mudah.”
Malam itu, mereka duduk di tepi dermaga, hujan baru saja reda. Kabut tipis menyelimuti lampu mercusuar, menciptakan suasana yang magis sekaligus menegangkan. Arga memberanikan diri untuk mengungkap perasaannya.
“Lira… aku… aku suka padamu. Sejak pertama kali aku melihatmu di kafe itu, aku merasa ada sesuatu yang mengikat kita.”
Lira menatap Arga lama. Matanya redup, seperti menyimpan duka yang terlalu berat. Akhirnya ia berbicara, suaranya serak, “Arga… aku bukan seperti orang lain. Ada masa lalu yang tidak bisa kulupakan, dan suatu saat… aku harus pergi.”
“Pergi? Tapi… aku ingin kau tetap di sini,” kata Arga, hatinya hancur.
Lira tersenyum samar. “Aku ingin tetap di sini juga… tapi hidupku penuh bayangan yang harus kulalui sendiri.”
Hari-hari berlalu. Hubungan mereka menjadi intens—penuh tawa, canda, tapi juga ketegangan misterius. Lira sering hilang tanpa kabar, meninggalkan Arga menunggu di kafe atau dermaga. Setiap kali kembali, ia membawa cerita yang samar, atau kadang hanya diam dan menatap Arga dengan mata sendu.
Suatu malam, Arga mendapat pesan aneh dari Lira: “Temui aku di pelabuhan lama, jam 11 malam. Penting.”
Dengan rasa penasaran yang membara, Arga bergegas ke pelabuhan. Hujan turun rintik-rintik, kabut menutupi lampu-lampu dermaga. Arga menatap sekeliling, namun Lira tidak ada. Ia mulai berjalan menyusuri dermaga, memanggil namanya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan muncul di ujung dermaga. Lira berdiri di sana, wajahnya tertutup payung hitam, tatapan matanya tajam.
“Lira… ada apa? Kenapa kau minta aku datang?” Arga bertanya, cemas.
Lira diam sejenak, kemudian berkata dengan suara pelan: “Arga… aku harus memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.”
Arga mendekat, menahan napas. Hujan mulai turun deras, membasahi mereka berdua.
“Aku… bukan dari dunia yang sama denganmu. Aku terikat dengan sesuatu yang tidak bisa kau sentuh. Cinta kita… indah, tapi berbahaya. Aku takut kalau aku dekat denganmu… kau bisa terluka.”
Arga menatapnya dengan mata terbuka lebar. “Tidak peduli seberapa berbahaya, aku tetap ingin bersamamu, Lira. Aku akan menghadapi apapun bersamamu.”
Lira tersenyum sedih, air hujan menetes di wajahnya. “Arga… itu yang membuatku mencintaimu… tapi aku harus pergi. Sekarang.”
Sebelum Arga sempat menahan atau bertanya lebih jauh, Lira berjalan menjauh. Arga berlari mengejarnya, tapi kabut menelan sosok Lira. Ia berteriak memanggil namanya, namun hanya gema yang kembali menjawab.
Malam itu, Arga duduk di dermaga, basah kuyup dan terpukul. Hanya jejak sepatu basah Lira yang tertinggal di papan dermaga—dan secangkir kopi yang tertinggal di sisi pagar, seolah menjadi pesan terakhirnya.
Hari-hari berikutnya, Arga mencari Lira di seluruh kota, bertanya kepada semua orang, tetapi tak seorang pun pernah melihatnya. Pesan atau panggilan telepon? Tidak ada. Seolah Lira menghilang dari dunia ini begitu saja.
Namun, setiap kali hujan turun deras, Arga merasa ada tatapan mata yang mengikuti, ada senyum tipis yang menembus kabut, dan bisikan lembut yang hampir terdengar di telinganya: “Aku selalu di sini… tapi kau harus menunggu.”
Arga tidak tahu kapan Lira akan kembali, atau apakah ia akan kembali sama sekali. Misteri itu tetap hidup, seperti hujan yang tak pernah berhenti, dan cintanya padanya tetap hangat di tengah ketidakpastian.
Suatu malam, ketika Arga duduk sendirian di kafe Lantang Senja, ia melihat bayangan di luar jendela. Mantel hitam, rambut basah, dan senyum yang sama—namun ketika ia menoleh, hanya hujan dan lampu kota yang tersisa.
Arga menatap hujan, hatinya penuh harap dan kegelisahan. Ia tahu satu hal: Lira masih ada, di suatu tempat, menunggu waktu yang tepat. Tapi kapan? Ia tidak tahu.
Dan sementara hujan terus turun, Arga menyadari bahwa cinta mereka bukanlah tentang kepastian, melainkan tentang menunggu, percaya, dan menjalani misteri yang belum terpecahkan.
Di balik kabut malam dan suara hujan yang menimpa kota, satu pertanyaan terus menghantui: Apakah Lira benar-benar akan kembali, atau apakah ia hanyalah bayangan cinta yang datang untuk mengajarkan Arga tentang kesabaran dan kehilangan?
Lampu kota memantul di genangan air. Di sudut dermaga, seseorang berdiri mengamati Arga dari kejauhan. Apakah itu Lira? Atau seseorang yang lain? Arga menahan napas, namun hujan menelan bayangan itu. Dan di sana, cerita mereka berhenti, menggantung, menunggu hujan yang lain untuk mengungkap rahasia yang tersembunyi.