Langit pagi Jakarta masih berwarna kelabu ketika pesawat yang kutumpangi menembus awan terakhir sebelum mendarat. Dari jendela kecil itu kulihat dunia baru -- rumah-rumah berdesakan, sungai yang berkelok seperti ular raksasa, dan jalan raya yang penuh kendaraan bagai aliran semut di bawah matahari tropis.
Aku, Rafael Miller, jurnalis lepas dari London, datang ke negeri ini bukan untuk berlibur. Tugasku sederhana tapi ambisius -- menulis buku berjudul “The Soul of the East ", pencarian akan makna kemanusiaan dan identitas bangsa di Asia Tenggara.
Indonesia, dengan ribuan pulaunya, seperti lautan cerita yang belum terjamah. Seorang editor di New York pernah berkata padaku, “Kalau ingin menulis tentang jiwa Asia, mulailah dari Indonesia. Mereka hidup dalam keberagaman yang bahkan sulit dipahami oleh logika Barat.”
Dan di situlah aku sekarang, di negeri yang membuat peta terasa tidak cukup besar untuk menampung kisahnya.
Jakarta menyambut dengan panas yang menampar, lalu bising yang menembus jantung. Tapi justru di balik itu ada sesuatu yang aneh: senyum.
Senyum di antara macet, debu, dan kesemrawutan seolah mereka telah menemukan rahasia yang belum kupahami.
Setelah dua minggu riset di kota, aku memutuskan untuk pergi lebih jauh — ke pedalaman Sulawesi, tempat di mana budaya kuno dan kehidupan modern bertemu dalam satu garis halus. Seorang teman dari universitas di Makassar memperkenalkanku pada seorang perempuan muda yang bisa menjadi pemandu sekaligus penerjemahku. Namanya Amara.
Amara datang dengan langkah ringan di dermaga kecil tempatku menunggu kapal penyeberangan. Kulitnya sawo matang, rambut hitamnya dikuncir sederhana, dan mata itu — mata yang seperti menyimpan kedalaman laut tempat ia tumbuh.
“Kau Rafael?” suaranya lembut tapi tegas.
“Ya, dan kau pasti Amara.”
Ia tersenyum samar. “Selamat datang di tanah rimba,” katanya, menatap ke arah bukit-bukit hijau di seberang.
Kami menyeberang dengan kapal kayu yang berderit. Di tengah perjalanan, angin membawa aroma garam dan pohon-pohon basah. Amara duduk di sebelahku, memandangi cakrawala.
“Di sana,” katanya menunjuk ke arah pegunungan, “tempat di mana nenek moyang kami dulu bersembunyi dari perang. Di sana kami masih menyebut nama-nama lama — seperti Dharmasraya, Jaya Bhumi, dan Sukma Loka. Kata-kata Sansekerta yang diwariskan dari masa jauh sebelum kita.”
Aku menatapnya heran. “Sansekerta? Di sini?”
“Bahasa itu tidak pernah benar-benar mati,” katanya lirih. “Hanya bersembunyi di antara doa dan nyanyian.”
Aku segera menulis kalimat itu di buku catatanku.
Desa tempat Amara tinggal seolah terpisah dari dunia. Rumah-rumah panggung berdiri di tepi sungai, suara burung bersahutan setiap pagi, dan malam turun tanpa lampu kota — hanya bintang yang bertebaran seperti butiran garam di langit hitam.
Aku mulai bekerja. Setiap hari aku mewawancarai warga tentang tradisi, tentang cara mereka menanam padi, meramu obat dari hutan, dan tentang lagu-lagu yang mereka nyanyikan untuk anak-anak sebelum tidur.
Amara selalu menemaniku. Ia menerjemahkan bahasa lokal dengan sabar, tapi kadang ia menyela tulisanku dengan komentar tajam.
“Kau terlalu banyak menulis tentang kemiskinan.”
Aku menatapnya. “Aku menulis apa yang kulihat.”
“Tidak. Kau menulis apa yang ingin orang lain lihat. Kami bukan hanya kisah tentang kekurangan, Rafael. Kami juga punya kebahagiaan.”
Kata-katanya menamparku dengan lembut. Malam itu aku duduk lama di beranda rumah panggung tempatku menginap, mendengarkan suara jangkrik dan angin yang menyusup di sela bambu.
Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti pendatang di dunia yang sebenarnya lebih tua dari semua peta yang kumiliki.
Dialog di Sungai
Suatu sore, kami menyusuri sungai dengan perahu kecil. Airnya jernih, memantulkan cahaya senja yang oranye keemasan. Aku mencoba merekam percakapan kami, tapi Amara menghentikanku.
“Matikan alat itu sebentar.”
Aku menurut. “Kenapa?”
Ia menatap jauh ke permukaan air. “Kau tahu, orang-orang di sini percaya bahwa sungai menyimpan ingatan. Kalau kau berbicara di atasnya, kata-katamu bisa ikut hanyut ke laut dan tak akan pernah kembali.”
Aku tersenyum. “Kau percaya itu?”
“Percaya atau tidak bukan masalah. Kadang yang penting adalah menghormati.”
Kami diam sejenak, lalu aku berkata,
“Amara, aku ingin menulis tentang identitas bangsa ini. Tentang bagaimana mereka menjaga akar di tengah arus globalisasi. Tapi aku juga merasa... aku orang luar yang hanya melihat kulit.”
Ia menatapku dengan mata yang jernih namun tegas.
“Identitas bukan sesuatu yang bisa kau lihat, Rafael. Ia seperti udara — ada di sekelilingmu, tapi baru terasa kalau kau berhenti bernafas.”
Aku terdiam. Kata-katanya menembus seperti doa.
> “Bagi kami,” lanjutnya, “identitas bukan hanya soal bendera atau bahasa. Tapi tentang bagaimana kami hidup. Tentang tangan yang tetap menanam meski tanah kering. Tentang ibu-ibu yang tetap tertawa walau besok belum tahu mau makan apa.”
Aku menunduk, menulis pelan di catatanku:
> Identitas adalah keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri ketika dunia memaksa kita berubah.
Amara menatapku, tersenyum tipis.
“Kau akhirnya mulai mendengarkan,” katanya.
Ketegangan yang Halus
Hari berganti minggu. Hubungan kami semakin dekat, tapi juga semakin rumit.
Aku mulai menyadari bahwa setiap kali aku menatap Amara, ada sesuatu yang tak bisa kucatat — rasa yang tidak ingin dimasukkan ke dalam laporan jurnalistik mana pun.
Suatu malam, di bawah langit yang penuh bintang, aku berkata,
“Amara, apakah aku terlalu banyak bertanya?”
Ia tertawa kecil. “Tidak. Tapi kau terlalu sedikit merasakan.”
Aku mendekat sedikit. “Ajari aku merasakan.”
Ia menatapku lama, lalu berbisik,
“Mulailah dengan mendengarkan suara sunyi. Di sanalah kebenaran biasanya bersembunyi.”
Kami duduk diam. Suara jangkrik menjadi musik latar yang menenangkan, dan di antara keheningan itu aku merasa, mungkin untuk pertama kalinya, aku tidak sedang menulis — aku sedang hidup.
Dialog Panjang: Perdebatan
Beberapa hari kemudian, di balai bambu tempat warga berkumpul, kami terlibat dalam perdebatan serius.
Aku baru saja menulis catatan tentang “keterbelakangan pendidikan di pedesaan.”
Amara membaca catatanku dan wajahnya berubah.
“Kau menulis seolah kami ini korban.”
“Aku menulis fakta.”
“Fakta tanpa empati hanyalah angka, Rafael.”
Aku menghela napas. “Amara, aku jurnalis. Tugasku menunjukkan realitas.”
“Dan tugasku,” katanya tegas, “adalah menunjukkan bahwa realitasmu tidak selalu benar. Kau datang dari dunia yang menilai kemajuan dengan gedung tinggi dan internet cepat. Tapi di sini, kemajuan berarti anak-anak masih hafal nama sungai dan tidak lupa nama leluhur.”
Aku diam. Ia berdiri, berjalan ke luar balai, lalu menatap langit sore yang mulai kemerahan.
“Kau tahu,” katanya lirih, “kami mungkin tidak punya banyak uang, tapi kami punya waktu. Kami mengenal satu sama lain, kami masih percaya pada tanah ini. Dan itu, Rafael… adalah hal yang kalian orang kota sudah lama lupakan.”
Aku ingin menjawab, tapi tidak bisa.
Hanya diam.
Karena entah kenapa, aku tahu kali ini aku yang kalah.
Beberapa hari setelah perdebatan itu, aku dan Amara jarang berbicara.
Ia sibuk membantu warga menyiapkan panen, sementara aku memilih menulis di serambi rumah.
Aku membaca ulang catatan-catatan lama, dan untuk pertama kalinya, tulisan-tulisan itu terasa hampa.
Semua analisis dan deskripsi yang dulu kupikir cerdas, kini terdengar seperti suara asing.
Aku sadar, aku menulis dengan mata — bukan dengan hati.
Dan mungkin, itulah alasan mengapa setiap kata yang kutulis terasa seperti laporan, bukan kehidupan.
Pertanda
Pagi itu, udara terasa ganjil.
Langit mendung tapi panas, burung-burung beterbangan rendah, dan anjing-anjing desa menggonggong tanpa sebab.
Orang-orang menatap langit dengan cemas — tanda-tanda alam yang bagi mereka lebih fasih dari kalender.
Amara mendatangiku di beranda.
“Rafael, hari ini jangan ke sungai. Angin dari timur membawa firasat buruk.”
Aku tertawa kecil, mencoba menenangkan. “Kau terlalu percaya takhayul.”
Ia menatapku tajam. “Kau terlalu percaya dirimu sendiri.”
Aku terdiam. Ada sesuatu di nada suaranya — sesuatu yang membuatku ingin menurut.
Kami duduk berdua tanpa bicara, hanya mendengarkan suara daun dan air.
Lalu, bumi bergetar.
Gempa
Awalnya lembut, seperti seseorang mengguncang kursi dari bawah.
Lalu tiba-tiba keras — sangat keras.
Tanah bergetar, rumah panggung berderak, genteng berjatuhan. Suara jeritan menggema di seluruh desa.
“Rafael! Ke luar!” teriak Amara, menarik tanganku. Kami berlari, tapi tanah di bawah kami berguncang hebat. Pohon kelapa tumbang, dinding rumah pecah seperti kertas.
Asap, debu, dan suara kayu patah memenuhi udara.
Kami bersembunyi di lapangan terbuka bersama puluhan warga.
Aku memeluk kamera dan catatan — satu-satunya hal yang sempat kubawa.
Tapi ketika melihat Amara berlari ke arah reruntuhan rumah untuk menolong seorang anak kecil, aku tahu: benda-benda itu tidak berarti apa-apa.
“Amara! Jangan ke sana!”
Ia tak mendengar.
Aku mengejarnya, menyingkirkan kayu, menarik anak itu keluar bersama-sama. Nafas kami tersengal, dan tanah masih berguncang kecil, seolah bumi belum puas menumpahkan amarahnya.
Setelah gempa mereda, desa itu tak lagi sama.
Rumah-rumah roboh, air sumur keruh, dan wajah-wajah penuh abu menatap langit dengan kosong.
Malam turun tanpa listrik, hanya cahaya api unggun yang membuat bayangan bergerak di tanah.
Malam Setelah Gempa
Kami duduk di antara puing, tubuh penuh debu.
Amara menatap bintang yang samar di langit.
“Lihat,” katanya lirih, “bahkan langit pun masih ada meski tanah hancur.”
Aku mengangguk, menatapnya. “Aku tidak pernah melihat keberanian seperti itu.”
Ia tersenyum lemah. “Kami sudah sering kehilangan, Rafael. Jadi kami belajar untuk tidak takut kehilangan lagi.”
Aku menulis di buku catatanku, tapi tanganku gemetar.
Bukan karena takut, tapi karena sadar — aku sedang menulis dengan perasaan yang benar-benar hidup.
Mereka tidak hanya bertahan, mereka menerima. Mereka tidak hanya hidup, mereka mencintai kehidupan itu sendiri, apa pun bentuknya.
Amara menoleh padaku. “Kau akan menulis tentang ini?”
“Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Bagaimana menulis sesuatu yang bahkan kata-kata tidak bisa menjelaskannya?”
Ia diam sejenak, lalu berkata,
“Mungkin bukan tugasmu untuk menjelaskan, Rafael. Hanya untuk mengingat.”
Hari-hari Setelahnya
Beberapa minggu berlalu. Bantuan datang dari kota, tapi lambat.
Aku memotret warga membangun rumah dari sisa bambu dan papan, anak-anak yang tertawa meski pakaian mereka sobek, dan ibu-ibu yang tetap menanak nasi seadanya untuk semua.
Amara bekerja tanpa henti. Ia menjadi semacam jembatan antara relawan dan penduduk desa.
Aku mengikutinya, merekam setiap langkah, dan menulis.
Tapi kali ini, bukan untuk majalah atau penerbit mana pun.
Tulisan-tulisanku kini lebih seperti doa — atau mungkin, surat cinta yang kusampaikan pada tanah ini.
Tanah yang retak tapi tetap menumbuhkan kehidupan.
Percakapan Terakhir
Suatu malam, ketika desa mulai tenang, kami duduk di bawah langit yang mulai jernih.
Suara jangkrik kembali terdengar — tanda kehidupan pelan-pelan pulih.
“Amara,” kataku, “kalau suatu hari buku ini selesai, aku ingin menulis bab terakhir tentangmu.”
Ia tertawa pelan. “Untuk apa? Aku hanya perempuan desa.”
“Tidak. Kau adalah alasan aku akhirnya mengerti apa arti identitas bangsa. Kau menunjukkan bahwa akar bukan untuk mengikat, tapi untuk menumbuhkan.”
Ia tersenyum, lalu memandang ke arah hutan.
“Kalau begitu, tulislah aku seperti tanah — diam, tapi memberi.”
Kami terdiam lama.
Lalu Amara berkata dengan nada yang hampir seperti bisikan,
“Rafael… kalau suatu hari kau pergi, jangan lupa bawa sedikit tanah dari sini. Biar kau tahu tempatmu pernah berpijak.”
Aku tersenyum. “Dan kau?”
“Aku? Aku akan tetap di sini. Menanam lagi, membangun lagi. Hidup lagi.”
Malam itu, aku tahu — kami tidak perlu mengucap apa pun.
Cinta tidak selalu butuh janji; kadang cukup dengan pemahaman yang diam.
Kepergian
Sebulan kemudian, aku harus kembali ke Jakarta.
Redaksi menunggu laporan, dan penerbit sudah menanyakan draft bukuku.
Desa itu mulai pulih perlahan, dan Amara menolak ikut ke kota.
Pagi keberangkatanku, langit berwarna jingga lembut. Amara mengantarku ke dermaga.
Ia membawa kantung kecil berisi segenggam tanah kering.
“Untukmu,” katanya, menaruhnya di tanganku. “Agar kau selalu ingat di mana cerita ini dimulai.”
Aku menatapnya lama. “Aku tidak tahu apakah aku akan menulisnya seperti seharusnya.”
Ia tersenyum, angin laut mengibarkan rambutnya. “Kata-kata akan menemukan jalannya sendiri, Rafael. Sama seperti sungai yang akhirnya selalu kembali ke laut.”
Kapal mulai berangkat. Aku berdiri di dek, menatap sosoknya yang semakin kecil di dermaga.
Di antara suara mesin kapal dan deburan ombak, aku mendengar suaranya yang terbawa angin:
“Jangan menulis tentang kami, Rafael. Tulislah bersama kami.”
Aku menutup mata. Di kepalaku, kalimat itu berulang, bergema di antara ombak.
Mungkin itu pesan paling jujur yang pernah kudengar seumur hidupku.
Beberapa bulan kemudian, di ruang apartemenku di London, aku menatap naskah buku yang sudah hampir selesai.
Di halaman terakhir tertulis:
“Di negeri yang sering dilihat sebagai eksotis, aku menemukan hal paling manusiawi — keteguhan, tawa, dan cinta yang tak pernah meminta imbalan.
Di antara hutan dan langit, aku belajar bahwa identitas bukan hanya tentang siapa kita, tapi tentang apa yang kita jaga dari hilang.”
Aku menutup naskah itu. Di meja, masih tergeletak kantung kecil berisi tanah kering dari desa Amara.
Entah kenapa, setiap kali kusentuh, aroma hutan itu kembali — bersama suaranya, tawanya, dan gemuruh bumi yang pernah mengguncang kami.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah ia masih di sana?
Apakah desa itu sudah pulih?
Apakah sungai itu masih mengalir dengan tenang?
Aku tak tahu.
Dan mungkin memang tidak perlu tahu.
Karena beberapa kisah tidak diciptakan untuk berakhir.
Mereka hanya perlu hidup — di antara kata, tanah, dan langit.
Tempat aku menemukan diriku, dan kehilangan hatiku.