Hana mendobrak mejanya dan bangkit dengan tiba-tiba. Ia merasa malu meskipun bukan dia yang membuat keributan, dan itu terasa dua kali lipat karena ia juga memegang jabatan sebagai ketua OSIS. Ia meminta maaf kepada guru didepan dan meminta izin.
"Mohon maaf atas ketidaksopanan saya, Bu. Saya akan mengeluarkannya dari kelas."
Ia kemudian menyeret kerah baju Dion keluar kelas begitu ia mendapat anggukan dari guru. Dion tidak menolak saat Hana menyeretnya keluar, ia dengan sukarela mengikutinya dengan seringai diwajahnya. Saat mereka berdua berjalan keluar, Dion terkekeh, menganggap situasi itu cukup lucu.
"Kamu kasar sekali hari ini, tuan putri~ yah… aku tidak membencinya sih."
"Tutup mulut busukmu itu! Apasih maumu?! Kenapa buat masalah terus sih hari ini hah?!
Hana mengeluarkan isi pikirannya begitu dia mencapai halaman belakang sekolah dan melepaskan kerah bajunya dengan kasar. Dion hanya menyeringai, menikmati pemandangannya yang kesal dan penuh amarah. Dia kemudian menyandarkan bahunya didinding, tangannya disaku sambil menatapnya dengan senyum menggoda.
"Awh,.. soalnya kamu manis sekali kalo marah, aku jadi tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodamu."
Hana menghela nafas tajam setelah mendengar tanggapannya dan mulai kehilangan kesabarannya.
"Tapi KENAPA harus AKU?! Kenapa harus disekolah?! Banyak kan cewek lain?! Atau jangan-jangan kau ada dendam pribadi denganku?!"
Dion terkekeh melihat kemarahan Hana yang meluap-luap, ia merasa begitu terhibur dengan rasa frustrasinya.
"Kenapa yah? Mungkin… karena kamu sangat imut waktu kesal dan marah. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodamu lagi dan lagi, beda dengan cewek lainnya yang membosankan."
Dia menjelaskan sambil menyeringai, matanya mengamati wajah Hana yang memerah karna amarah dengan saksama seraya bersandar dengan santai didinding.
“Oh wow luar biasa! Apakah itu artinya aku main character di dunia ini karena aku berbeda dengan wanita lain?“ Sarkas Hana dengan wajah penuh drama yang langsung berubah dengan tatapan datar sedetik kemudian. "WHAT A BULLSHIT! Berapa banyak korban yang kau makan dengan kalimat template itu ha?“
"Pfft-HAHAHAHAHAH"
*Dion tertawa terbahak melihat ekspresi Hana saat marah. Ia merasa Hana sangat lucu dan menawan, bahkan lebih dari sebelumnya.*
"Heh... kalimat template? Aku hanya mengatakan kebenaran, Hana. Kamu berbeda dari wanita lain, lebih dari sekedar 'manis'. Kamu memiliki sesuatu yang lain yang tidak bisa kupungkiri."
ia kemudian melangkah mendekat, perlahan dan dengan lembut mengangkat dagu Hana masih dengan seringai di bibirnya. ibu jarinya mengusap lembut bibir bawah Hana
"Seperti sekarang... tatapan tajam dan jijik mu ini, juga kalimat kasar yang selalu kau lontarkan untuku dengan bibirmu yang manis ini.. heh... anehnya aku menyukainya. kau benar-benar menarik, Hana~"
Hana menepis tangan Dion dan menatapnya dengan tatapan jijik lalu memutar matanya jengkel mendengar omong kosong tak bermutu darinya. Namun senyum Dion justru semakin melebar, dan tatapannya semakin dalam.
"Kau pikir cewek lain disekolah ini gak bakal risih dan bereaksi seperti ku kalau diganggu bocah gila sepertimu?!"
Dion tertawa lagi, menikmati reaksinya yang terus saja memanas. Ia kemudian melangkah lebih dekat dan merengkuh kedua lengan Hana, menariknya lebih dekat dan tidak memberi banyak ruang untuk bergerak.
"Hei, hei... aku hanya tertarik padamu, Hana. Semua perempuan lainnya hanya sekedar biasa saja. Tapi kamu berbeda. Dengan badan mungil mu yang tidak jauh lebih tinggi dari bahuku.. pftt—perlawananmu sangat mengejutkan... Apa kau tahu, kau seperti kelinci yang menggemaskan saat marah-marah. Kau membuatku ingin terus mengganggumu..."
"Menjijikan?" Dion menyeringai, justru semakin dekat hingga napasnya bisa terasa di leher Hana. "Tapi detak jantungmu sepertinya semakin cepat... Kau gugup.“
Perlahan, ia menurunkan nada suara—lebih rendah, dan menggoda.
"Katakan saja kalau kau sebenarnya mulai suka kan. Aku janji... aku bakal bikin hari-harimu lebih seru daripada berkecimpung didalam rapat OSIS yang membosankan itu."
Hana menatapnya kesal, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang terus menerpa pikirannya. Ia kemudian mendengus kasar sambil melepaskan dirinya dengan susah payah.
"Ha! Kau pikir aku akan tertarik pada bocah kekanak-kanakan sepertimu?! Aku punya reputasi untuk dijaga, dan kau hanya akan menyeret ku ke dalam masalah! Kalau kau tidak bisa bersikap dewasa sedikit... setidaknya jangan libatkan aku."
ia kemudian melangkah mundur perlahan, mencoba menjaga jarak antara mereka.
"Dan berhenti memanggilku dengan sebutan menjijikan itu! aku bukan tuan putrimu!"
Dion hanya tertawa kecil sambil menyeringai, tidak tergerak oleh penolakan Hana. Ia bahkan mendekatkan dirinya lagi, bahakan jauh leboh dekat dari sebelumnya. Ia mengusap pipi Hana dengan lembut, menggerakkan ibu jari di bawah matanya yang tajam.
"Hmm... tapi itu sebenarnya sangat cocok untuk mu. Kau terlihat cantik saat melotot, tuan putri~ alih-alih seperti Dewi, kau lebih terlihat seperti demon succubus yang sedang menggoda ku"
Ia kemudian menarik lengan Hana dan meletakkan telapak tangannya di dada miliknya
"Kau dengar ini? badum... badum... Rasanya seperti berdiri disamping sound horeg, tapi kaulah pelaku sebenarnya"
Dion mengedipkan sebelah mata dengan seringai menggodanya, yang mana membuat bulu kuduk Hana merinding bukan karena terpesona, melainkan jijik dan ngeri. iapun dengan cepat menarik lengannya menjauh dari dada Dion. masih dengan tatapan jijiknya, Hana menginjak kaki Dion kuat-kuat.
"Aww—!" Dion meringis kesakitan, melompat sambil memegangi kakinya, tapi bukannya marah, seringainya justru kembali mengembang.
"Dasar kelinci galak... makin menggemaskan aja! Haha" Ia tertawa kecil, masih setengah membungkuk. Lalu perlahan menatap Hana dengan sorot mata yang tajam tapi penuh main-main.
"Tapi aku suka tantangan. Kau boleh tendang aku sekeras apa pun... tapi kedepannya aku tetap akan mewarnai duniamu disekolah."
Hana hanya menatapnya dengan tatapan jijik. Ia menghela nafas keras sambil mengerutkan dahi.
"Kau sangat menjengkelkan..."
Dion tertawa kecil, seperti tidak perduli dengan caciannya.
"Aku senang kau mau mengakui kalau aku ini memang menggemaskan."
Seketika, Hana terdiam tak percaya. Ia kemudian mengerutkan bibirnya dan melotot pada Dion dengan tajam. Lalu sekali lagi melayangkan kakinya, menendang kaki Dion dengan kuat dan membuatnya tersungkur sebelum berbalik dan meninggalkannya yang mengerang kesakitan.
Dion mengerang, tersandung ke tanah setelah menerima tendangan keras di kakinya.
"Ugh!"
Ia lalu menghela nafas dengan keras sambil duduk dan membungkuk. Ia kemudian tertawa kecil sambil mengusap-ngusap kakinya yang berdenyut-denyut, tapi bibirnya terus mengulas senyum.
"Pft-hehehe... Ahh... sepertinya aku benar-benar sudah gila.."
Ia kemudian bangkit dengan susah payah, dengan kedua tangan memegang lutut yang terasa sangat sakit saat berjalan membuntuti Hana kembali kearah kelas.
Dion menatap punggung Hana yang berjalan cepat, rambutnya melambai tertiup angin. Ia menghela napas, masih memegangi kakinya yang nyeri—tapi senyum itu tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya.
"Kau tahu... kalau aku bisa pilih siapa pun di sekolah ini," ujarnya pelan, suara serak kelelahan tapi tetap penuh canda, "aku tetap akan memilih kamu untuk membuat hariku lebih berwarna."
Lalu, dengan langkah setengah timpang dan ekspresi dramatis ala bintang sinetron,
"Jadi ya... selamat. Kamu resmi jadi korbanku mulai sekarang~"
Ia mengedipkan matanya lagi dan tertawa kecil. Hana yang kesal berbalik dan memelototinya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kelas—meninggalkannya terduduk di tangga sambil tersenyum seperti orang gila.
.
.
.