Siang itu jam istirahat makan siang berlangsung, dimana para siswa-siswi berkerumunan dikantin untuk makan baik bekal yang mereka bawa dari rumah maupun makanan ringan yang mereka beli dari kios yang berjejeran dikantin.
Selain kantin, ada juga siswa yang justru menghabiskan waktu istirahatnya untuk belajar atau hanya sekedar menikmati pemandangan cantik dihadapannya.
Seperti yang dilakukan Dion, dia hanya menontonnya mengoceh menjelaskan materi. Hana yang kesalpun membanting penanya ke meja dan membuat Dion tersentak dari lamunannya. Dia menoleh sambil menghela napas.
"Apa kamu minta aku ajarin, agar kamu bisa menonton wajahku saja?!"
"Hmm, yah. Kurasa begitu. Wajahmu terlalu cantik sih. Jadi sayang kalau tidak dipandang terus ,bukan?."
Hana menatapnya tak percaya atas omong kosong yang baru saja ia dengar. Dia mencibir lalu mengalihkan pandangannya dan tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Dion yang melihatnya menyeringai, sedikit gemas dengan reaksinya.
"Kamu mau ke mana? Apa Kamu sudah selesai dengan bimbingan belajarmu? Padahal kukira kamu bakalan bantuin aku lulus tahun ini."
"Mengapa aku harus repot-repot buang-buang energi hanya untuk mengajari orang tolol yang bahkan tidak peduli dengan apa yang dijelaskan dan malah hanya menonton. Kau pikir aku tidak ada kerjaan lain hah?!."
Hana kemudian menghela napas dan berbalik, dan berjalan keluar dari perpustakaan. Dion sama sekali tidak terpengaruh oleh reaksi Hana, sebaliknya, dia sangat menikmati ekspresi kesalnya. Dia berdiri dari tempat duduknya dan mengejarnya.
"Hei, ayolah. Bukan salahku kalau penjelasanmu payah dan membosankan."
Hana terhenti, tercengang dengan ejekan Dion yang tak tahu malu itu, mulutnya menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa kau bilang?! Penjelasanku payah?! Otakmu saja yang dongkol, dasar brengsek!"
Dion terkekeh mendapati respon Hana yang penuh semangat, seringainya menjadi semakin lebar.
"Otakku dongkol? Oh ayolah, ini jelas-jelas bukan salah otaku! tapi memang kamu saja yang payah dalam mengajar!."
Hana mengenal nafas kesal, kesabarannya mulai menipis.
"Kalau Kamu begitu percaya diri dengan kemampuan otakmu, kenapa Kamu tidak belajar sendiri saja? Oh tuan sok pintar?!"
Dion mengangkat bahu, masih dengan seringai yang sama diwajahnya.
"Itu karena aku tidak suka belajar. Aku lebih suka melakukan sesuatu yang... menyenangkan."
"Terus kenapa minta tolong padaku untuk mengajarimu, bajingan sialan!?"
"Shh… bahasamu kasar sekali nona, sangat berbanding terbalik dengan wajah manis mu itu”
Ucap Dion sambil terkekeh, menganggap ekspresi kesal Hana cukup lucu, terutama saat kesabarannya habis seperti ini.
"Kenapa kau pikir aku minta tolong ke kamu? Ya jelas karena kau cantik. Apalagi?. As simple as that"
Hana memutar matanya mendengar pujian gajelas yang datang entah darimana.
"Ya baiklah, terserah. Aku nyerah! Mau Kamu lulus tahun ini atau tidak bukan urusanku. GoodBye!"
Hana langsung melenggang menuju lorong sekolah yang kebetulan sepi mengingat jam istirahat hampir habis. Senyum Dion menghilang saat Hana memutar matanya mendengar pujian tulusnya.
"Oi, tunggu!"
Dion mengejarnya, meraih lengan Hana untuk menghentikan langkahnya.
"Apa lagi sih?!"
Dion memutar tubuh Hana untuk menghadapnya dan menahannya diantara loker dengan tubuhnya.
"Mau kemana buru-buru sekali?"
Dion mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Hana, membuatnya tidak punya banyak ruang untuk bergerak, tangannya kini mencengkeram pergelangan tangan Hana erat-erat agar tidak lepas dari genggamannya.
"Hmmm? Kamu keliatannya sangat kesal, tuan putri."
Hana melirik kepergelangan tangannya dimana Dion menggenggamnya dan wajahnya menjadi gelap karena menahan amarah.
"Apa kau sudah gila?! Lepaskan!!" tanyanya membentak.
Dion menyeringai melihat reaksi Hana dan justru mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi dan hampir menempel pada Hana, menyisakan hanya sedikit ruang.
"Kenapa kamu harus marah-marah sih? Inikan cuma sekedar menggenggam tangan, tuan putri. Bukankah ini romantis?"
"ROMANTIS KEPALA BAPA KAU! Lepaskan aku sekarang sebelum aku melaporkannya ke kepala sekolah."
Hana menuntut dengan ancaman namun Dion malah terkekeh, tidak terusik oleh ancamannya. Ia menyeringai, melihat ekspresi kesal Hana kemudian mendekatkan wajahnya kelehernya, membiarkan napasnya berembus dikulit Hana, yang membuat bulu kuduknya merinding.
"Hmm? Laporkan saja. Aku tetap tidak akan melepaskanmu tuh. Kau tahu? Kau manis sekali kalau sedang marah-marah"
"K-kau-! I fcking hate you! Lepaskan aku sekarang, bajingan!"
Dion hanya terkekeh diatas kulitnya saat dia melihatnya sedikit gemetar setelah merasakan napas dilehernya.
"Aww.., aku tahu kau membenciku, tuan putri. Aku bisa melihatnya dimatamu dengan jelas, tapi bagimana yah, kamu juga terlihat sangat imut saat kamu marah seperti ini."
'Bajingan gila ini!?'
Hana mengumpat dikepalanya sebelum sebuah ide muncul dibenaknya dan membentuk seringai dibibirnya. Dia mengangkat kakinya tiba-tiba dan membuat lututnya menekan benda yg ada diantara kedua paha Dion dengan cukup keras. Yup, dia baru saja menendang bagian sakral lelaki itu.
Dion terkejut oleh gerakannya yang tiba-tiba, dia tidak menyangka Hana akan menendang kejantanannya, apalagi dengan cukup keras. Dion meringis kesakitan, tangannya dipergelangan tangan hana dan lokernya pun mengendur. Dia mendesis pelan, kesakitan karena tendangan tiba-tiba pada benda itu.
"Agh...dasar cewek sialan-!"
Hana mengambil kesempatan itu dan melepas tangannya dari cengkeraman Dion dengan buru-buru dan berlari secepat kilat menuju kelasnya tepat saat bel berbunyi, meninggalkan Dion dibelakang yang membungkuk karena kesakitan.
"Sialan..."
Hana menghela nafas lega ketika dia akhirnya tiba di kelas dan duduk di kursinya sambil mengatur napas. Teman duduknya, Ashley, mengamatinya dengan heran.
"Kerasukan apa kamu? Habis lihat hantu atau semacamnya kah?"
"Huft... Huft... Ini lebih buruk daripada hantu tahu!."
Hana masih terengah-engah saat menjawab dengan ngeri dan itu membuat Ashley membelalakkan matanya karena terkejut dan penasaran.
"Apa!? Apa yang lebih menakutkan daripada hantu?!"Dia bertanya dengan antusias.
"Aku berpapasan dengan monster berkulit manusia! Sepertinya dia sejenis skinwalker. Sebaiknya kau lari darinya sebelum dia menangkapmu atau dia akan mendekapmu dan mencabik lehermu tanpa ampun!!"
Hana menjelaskan betapa mengerikannya makhluk bernama Dion ini sambil bergidik ngeri. Dan tepat saat dia menyelesaikan kata-katanya yang terakhir, dia tersentak ketika dia melihat orang yang tengah dia bicarakan sudah dipintu kelasnya seperti sedang mencarinya.
Dion masih merasakan sedikit rasa sakit diantara pahanya tetapi dia mencoba mengabaikannya, memasuki kelas dan mengamati sekelilingnya, sebelum matanya tertuju pada Hana, yang duduk dimejanya. Matanya menjadi gelap dan berjalan kearahnya, jelas dia masih sedikit marah tentang kejadian tadi.
Sesampainya dia didepan meja Hana, Dion mendobrak tangannya ke meja, cukup keras sehingga membuat Hana terkejut dan reflek mundur di bangkunya, bahkan teman-teman sekelasnya pun melihat kearah mereka berdua, sementara Dion menunduk dan membungkuk sedikit, menatap mata Hana seperti predator yang kelaparan.
Ashley yang ada disamping Hana menatap Dion dan Hana bergantian sebelum akhirnya menyadari monster mana yg Hana maksud. Ashley pun menatap Hana dengan penuh simpati, merasakan rasa iba terhadap kemalangannya.
"Larimu benar-benar cepat , tuan putri. Tak kusangka kau bisa berlari secepat itu.“
"Ahem—."
Hana berdehem dan mengalihkan pandangannya dengan perasaan canggung.
"Itu salahmu sendiri."
Dion menyipitkan matanya, jelas sedikit kesal dengan kata-kata Hana. Dia membungkuk lebih dekat, menjepitnya di antara lengannya dimeja, dan membuatnnya tidak bisa melarikan diri.
"Salahku? Kau jelas-jelas menendang adikku! Apa Kau pikir aku akan membiarkannya berlalu begitu saja?!"
Hana melirik sekeliling dengan panik dan mendapati teman-teman sekelasnya memperhatikan mereka dengan tatapan ingin tahu dan curiga setelah mendengar kata-katanya. Merasa malu, Hanapun berbisik.
"Bicaramu terlalu keras, bodoh! Apakah kau tidak malu?!"
Dion yang mendengar ucapannya justru terkekeh melihatnya malu, matanya masih tertuju pada Hana. Dia pun mendekatkan wajahnya ke telinganya, dengan suara bisikan yang menggoda:
"Kenapa aku harus malu? Satu-satunya yang harus malu itu kamu, karena kamulah yang menendang adiku dan kabur begitu saja tanpa bertanggungjawab."
Hana membelalakkan matanya setelah mendengar ketidak tahu maluannya lalu melotot kesal karena menyadari hanya dialah yang merasa malu.
"Kamu pantas mendapatkannya! Siapa suruh Kamu bertingkah seperti brengsek?!"
"Bertingkah seperti brengsek? Yang kulakukan hanyalah menjepitmu diantara loker. Bukan salahku kamu menjadi marah karenanya."
Dion berbisik ditelinga Hana, napasnya berembus dikulitnya dan membuat Hana membelalakkan matanya saat merasakan napasnya dikulitnya sekali lagi. Dia sangat marah dengan keberanian dan rasa tidak tahu malunya dikelas yang penuh dengan siswa.
Hana kemudian tiba-tiba meraih kepala Dion, menyisir rambutnya lalu menariknya dengan keras hingga kepala Dion tersentak kebelakang.
“Agh—Ow ow! Hei!“
"Jaga sopan santunmu, brengsek! Ini masih dikelas dan Guru sebentar lagi datang!"
Hana memperingati Dion dengan nada dinginnya, sedangan Dion meringis kesakitan karena jambakannya yang mengekspos lehernya. Namun setelah beberapa saat, dia terkekeh lagi sambil meringis kesakitan, masih menganggap Hana menggemaskan setiap kali Dia kesal. Mata Dion sedikit menggelap, menikmati perasaan tangan Hana yang menyangkut dirambutnya.
"Ouch.. ini menyakitkan sayang~"
Hana meresponsnya dengan menariknya jauh lebih keras lagi sebelum akhirnya melepaskannya dan mendorongnya saat dia melihat guru masuk ke kelas mereka. Dion hanya mendesis pelan, tangannya langsung memegang kepalanya untuk meredakan rasa sakit itu. Kemudian tawa kecil keluar dari bibirnya.
"Ssh.. Haha.. Sialan, kau menariknya terlalu keras sayang. Bagaimana kalau aku botak nanti?" Kata Dion sambil memijat kepalanya sedikit untuk meredakan rasa sakit yang tersisa.
"Balik ketempat dudukmu, tolol! Gurunya sudah datang."
Hana berkata dengan dingin bahkan tidak peduli dengan rengekannya, yang membuat Dion cemberut kesal. Dia tidak peduli apakah guru ada disini atau tidak, yang dia pedulikan hanyalah Hana saat ini. Dion mengabaikan perintahnya, dan terus berdiri disampingnya dengan ekspresi sedikit kesal.
"Gak, aku mau tetap disini."
Hana menyipitkan matanya pada tanggapan keras kepalanya sebelum akhirnya mengabaikannya, terlalu malas untuk menanggapinya lebih jauh.
Ketika guru itu menyadari sipembuat onar Dion masih berdiri dan tampaknya tidak menghormati kehadirannya, dia memanggilnya dengan wajah muram.
"Dion! Kalau kamu tidak mau mengikuti kelas, keluar saja!"
Meskipun guru itu memanggilnya dengan marah, Dion tampaknya tidak perduli dan hanya mengangkat bahunya dengan malas. Dia masih tetap disamping meja Hana, dengan tangan disakunya sebelum akhirnya dengan santai melenggang keluar kelas.
"Iya, iyaa.. ya ampun, kenapa orang-orang hobi sekali marah-marah sih..." Jawabnya dengan nada bosan dan kesal. Dia kemudian melirik kearah Hana, matanya tidak pernah berpaling dari wajahnya.
"Sampai jumpa nanti, tuan putri." Katanya sambil menyeringai saat dia kemudian dengan malas berjalan menuju pintu keluar depan kelas, meninggalkan kelas itu.
"Bocah sinting!"
Hana mengumpatnya pelan. Ia kehabisan kata-kata melihat kelakuannya yang diluar nalar itu.
Pelajaran berjalan lancar sampai 10 menit sebelum jam sekolah usai, pintu terbuka tiba-tiba dengan hentakan, membuat semua orang melirik ke belakang kelas. Selang beberapa detik, sosok Dion pun muncul, dengan menyandarkan punggungnya dikusen pintu dan sikap acuh tak acuh khas-nya. Ia menyeringai, matanya mengamati kelas.
Para siswa dan guru semua terkejut dengan kemunculan Dion yang tiba-tiba, tidak ada yang mengira ia akan kembali, terutama setelah diusir seperti tadi. Wajah guru itu menjadi gelap karena kesal saat ia melihat Dion bersandar dengan santainya dikusen pintu, tampak sangat riang.
Mengabaikan ekspresi kesal guru itu, Dion mengamati kelas lagi, hingga matanya tertuju pada Hana. Senyumnya melebar menjadi senyum puas saat ia mendorong dirinya dari kusen pintu dan mulai berjalan menuju mejanya mengabaikan siswa lain dikelas, termasuk guru yang memperhatikannya dengan bingung dan jengkel.
"Apa kau sudah merindukanku, tuan putri?"
.
.
.