Hari ini adalah hari Rabu, dan hari dimana aku pindah tempat kos untuk yang ke tiga kalinya, karena banyak kejadian kejadian aneh dan menurutku janggal, kejadian yang diluar nayla -eh nalar maksudnya.
Btw namaku Ardani Putra, biasanya dipanggil Ardan.
Hari pertama, aku ngekos di tempat yang lumayan dekat dengan tempat kerja ada kejadian dimana itu benar benar diluar dugaan.
Saat itu hari Kamis, tepatnya Kamis sore hari, aku pulang kerja dan melihat ada dupa di bawah pohon besar yang aku tidak tau itu pohon apa, di bawah sana ada dupa dan sesajen, dihari sebelumnya aku tidak pernah melihat itu dimanapun, sesajen, dupa atau apalah itu, aku baru kali ini melihatnya secara langsung.
Saat aku melihat dupa, tiba tiba salah satunya tertiup angin dan jatuh, aku menancapkannya ke tempat semula dan meminta maaf karena lancang menyentuh dupa milik orang sembarangan.
Tapi malamnya aku tidak bisa tidur karena membayangkan hal hal yang sekiranya ada sangkut pautnya dengan dupa dan sesajen tadi.
Tepat tengah malam, dengan keadaan kos yang gelap karena aku matikan lampunya, pintu kamarku terbuka, aku pikir teman satu kosku yang membuka, mungkin dia sudah pulang, karena setelahnya pintu itu tertutup kembali, jadi aku tetap lanjut tidur.
Paginya, disamping ku tidak ada siapa siapa tapi kasur yang disana berantakan, aku kira temanku sudah bangun dan pergi bekerja lagi. Jam tujuh pagi, aku sudah bersiap untuk berangkat kerja, tapi tiba tiba ada yang mengetuk pintu, karena masih aku kunci, jadi aku memintanya menunggu sebentar, saat aku buka pintunya ternyata yang datang itu Rio.
Ya, Rio itu teman satu kos ku, dia datang bersama dua temannya, teman kerjanya, kita berbeda tempat kerja, jadi teman kerjanya beda dengan teman kerjaku, tapi mereka sering main kekosanku.
'Loh, Rio?', kagetku karena melihat Rio masih memakai baju saat dia berangkat kerja kemarin.
'Yo, ada apa kaget gtu, biasa aja dong bro', guraunya santai sambil menepuk pundakku.
'Lah ga ganti baju ya lu, kemaren kan pake itu juga, lu gak mandi tadi?', tanya ku agak heran.
'Lah, pulang aja belom gua, gimana mau ganti baju dah', jawabnya enteng sambil menatap bingung ke arahku.
'Lah lu kan kemaren udah pulang, tadi pagi aja gua yang rapiin kasur lu', ucapku sambil menunjuk kearah kamar, Rio dan dua temannya juga merasa bingung, lalu yang satunya bilang 'Rio kemaren nginep ditempat gua karena kita lembur', aku kaget bukan kepalang, lalu siapa yang masuk kamar?.
'Jadi yang kemaren siapa Ri', ucapku agak merinding dan melihat ke sekeliling.
'Dan, lu gausa nakut nakutin kita deh, ini emang pagi tapi gua merinding beneran nih', dia bilang bahwa aku menakutinya, disaat itu juga ada gelas dan piring yang jatuh di samping meja, Rio berlari untuk mengeceknya.
'Dan lu kalo makan diberesin kek, jadi jatoh kan', kata Rio sambil berkacak pinggang, aku yang heran pun menatap Rio dengan wajah takut.
'Gua gak sarapan Ri, bangun tadi langsung mandi trus ini mau berangkat gua, siapa yang sarapan Rii', ucap ku agak geregetan dan takut juga.
'Trus siapa dong? ', tanya salah satu temannya Rio, yang membuat kita berempat saling pandang.
'Gimana kalo nanti malem kita stay disini semua buat mastiin itu siapa? ', sahut teman Rio yang satunya lagi, kita berempat setuju, kebetulan kita semua selesai kerja di jam yang sama, kalau nggak lembur lagi sih.
Lalu sore harinya kita sengaja membeli snack dan minuman yang banyak untuk berjaga dikosan ku. Setelahnya, dari sehabis isya' sampai tengah malam tidak terjadi apapun.
'Ini gak ada apa apa Dan, lu ngigo kali tadi pagi', ucap Rio sambil minum soda.
Dua teman Rio namanya Sandi dan Nara, yang Nara udah tepar dari jam tujuh tadi, dan Sandi yang sudah mengantuk menyusul tidur.
Tinggal aku dan Rio sekarang, jam dua pagi kita semua tertidur pulas karena kami biasanya begadang hanya sampai tengah malam.
Jam setengah tiga pagi, aku mendengar gelas plastik jatuh di dapur, awalnya aku pikir itu kucing jadi tak ku hiraukan, jadi aku kembali tidur.
Setengah jam kemudian aku mendengar suara orang mandi, tapi bukan dari kamar mandi asal suaranya, karena saat aku cek tidak ada apapun di kamar mandi.
Aku cepat cepat membangunkan Sandi, karena dia yang tidur didekat pintu waktu itu.
Lalu Sandi membangunkan Rio.
'Lu denger sesuatu gak, kayak orang mandi gtu kan?', kataku dengan pasti, aku menatap mereka dengan pasti, karena aku yakin mereka mendengarnya juga.
'Hmm, iya deh kayaknya, cek coba, dikamar mandi', kata Sandi yang masih agak ngantuk.
'Udah gw cek gada apa apa, serius dah', kataku sambil memegang pundak Sandi, tapi mataku melihat Rio yang terlihat celingak celinguk seperti mencari sesuatu.
'Si Nara kemana Dan?', ternyata dia nyari si Nara, tapi aku juga baru sadar disitu Nara nggak ada.
'Lah iya kemana dia', bingung ku juga, aku melihat kearah Sandi dan dia juga menggelengkan kepala.
Lalu terdengar suara nyanyian dari depan rumah, Rio berdiri dan membuka jendela, dia lihat Nara duduk di kursi kecil, dihalaman kosanku, sama...
'Siapa itu Rii anjir', tanyaku gemetar ketakutan sambil mencengkeram pundak Sandi.
'Sakit anjir, jangan kuat kuat pegangnya', Sandi marah karena kesakitan ku cengkeram.
'Iya iya maaf, tapi itu siapa, sama Nara njir', ucapku sambil menunjuk ke arah perempuan yang memandikan Nara sambil bernyanyi, Naranya masih turu (tidur).
'Keknya kita harus kesana deh', kata Rio dengan yakin, dia udah mau membuka pintu rumah, tapi ditahan sama Sandi.
'Gua tau lu berani Ri, tapi klo soal ginian, jujur gw gak berani, gw lebih baik baku hantam sama manusia daripada dikejar gituan dah', ucap Sandi sambil menatap Rio, dia juga takut tapi nggak mau jujur aja.
'Gua tau bro lu pemberani, tapi kita nggak, gimana kalo kita bantu lu dengan do'a aja dari sini', ucapku sambil memegang pundak Rio.
'Halah, terserah lah, lagian kalian kira gua gak takut? Takutlah sama, bedanya sekarang adalah nyawa Nara, lu gak liat Nara disana dimandiin sama setan malah dia turu, gua takut dia gak bangun', jelas Rio dan langsung membuka pintu, aku dan Sandi mengekor di belakang Rio, emang nggak salah kalo Rio jadi idaman cewe cewe.
'Woi, lu apain temen gua', bentak Rio yang hanya berjarak 1 meter dari Nara dan perempuan itu.
Perempuan itu menengok dan..
Wajahnya terbalik, dagunya di atas, tapi rambutnya masih sama, seperti wig.
Lehernya berdarah seperti habis dipotong, 'darahnya itu dipake buat mandiin si Nara? ', ucap Sandi sambil menunjuk kearah gentong yang ada disamping tempat Nara duduk, perempuan itu tepat dihadapannya Nara, jadi kita bertiga nggak bisa melihat Nara dengan jelas.
'NARA SADAR BEGO!!!', teriak Rio lagi, kali ini lebih keras, sampai Nara terkejut dan terbangun.
'Hah!?', Nara terkejut dengan apa yang dia lihat, bermandikan darah dengan bunga bunga yang wangi, tapi bau wanginya hilang tertutup bau amis, darahnya sudah mengalir kemana mana, bahkan sampai ke jalan raya yang ada didepan kosanku.
Nara yang melihat itu langsung pingsan dan tergeletak di depan perempuan itu.
Perempuan itu pergi dengan cepat, membawa gayung kayu yang di pakai untuk memandikan Nara, dia pergi tanpa memijakkan kaki.
'Gua yakin yang tadi itu setan, jangan jangan dia juga yang tidur dikamar sama lu kemaren', jelas Sandi sambil merinding.
'Ya gak usah diperjelas juga bego', ucapku sambil memukul pundaknya karena emosi.
Aku berlari ke mengikuti Rio menuju ke tempat Nara pingsan, setelah itu Sandi juga mengikutiku.
'Ini gimana sekarang, rumah ini udah gak aman kayaknya', ucap Sandi sambil memandangi kosanku.
'Ya harus pindah', ucap Rio, dia berusaha membangunkan Nara, dan aku memberinya saran, 'lebih baik kita siram dulu si Nara ini, percuma kalo dia bangun dan ngeliat darah sebanyak ini ditubuhnya, nanti yang ada dia pingsan lagi', dan Rio mengangguk, kita bertiga membawa Nara ke kamar mandi dengan darah ditubuhnya yang berceceran kemana mana.
Aku menyangga Nara dari belakang dan Sandi menyangga dari depan, Rio mengguyurkan air dari bak mandi dengan perlahan sambil mengacak acak rambut Nara yang penuh dengan bunga bunga, menggosok lehernya juga karena ada darah yang menempel, setelah semua bersih dan tubuhnya sudah dikeringkan, kita bertiga membawa Nara ke kamar dan menidurkan nya, dengan keadaan pintu kamar dan pintu kos terbuka.
Semua lampu kita nyalakan, dan Sandi menempatkan lilin dan garam di tiap jendela, kita bertiga berjaga sampai pagi.
Dan ketiduran di lantai.
Paginya adzan berkumandang, waktu aku lihat jam ternyata adzan shubuh, aku membangunkan Sandi dan Rio, aku juga coba membangunkan Nara tapi dia tidak bangun bangun juga.
'Ri, Nara kok gak bangun', ucapku sambil mengecek kondisi tubuh Nara yang ternyata panas tinggi.
'Panas Ri, bawa ke RS aja gimana? ', kata Sandi yang juga ikut mengecek tubuh Nara.
'Ayo aja, tapi sebelum itu kita tunggu hari biar makin terang aja, ini emang shubuh tapi karena mendung kayaknya bakal gelap dijalan, gua gak mau keganggu lagi', ucap Rio sambil melihat jendela, yang ternyata memang masih gelap.
Aku dan Sandi mengangguk, dan kita bertiga sholat shubuh disamping Nara yang belum sadar, dan Rio yang jadi imamnya.
'Kita do'ain biar Nara cepet bangun ya', ucap Rio tanpa menengok ke belakang, aku dan Sandi nurut aja.
Selesai berdo'a tiba-tiba Nara terbatuk batuk dan dia bangun.
'Ra.. Nara.. Lu gak papa kan?', tanya Sandi yang saat itu duduk didekat Nara, aku berdiri dan menepuk pundak Nara yang sudah di posisi duduk.
Ntah Rio ngapain komat kamit didepan Nara, tapi setelah itu Nara berlari ke kamar mandi, kita bertiga mengikutinya dan ternyata dia muntah darah, darahnya bukan seperti darah biasa, darah itu berwarna merah kehitaman, dan agak kental ada juga yang menggumpal.
'Pan.. nas..', gumam Nara sambil memegang tenggorokannya, suaranya serak, bahkan hampir tidak keluar suara. Rio langsung sigap mengambilkan air yang dicampur dengan garam, dan meminta Nara meminumnya.
Nara meminumnya sampai habis, dan suaranya kembali normal, dia bilang juga tenggorokannya tidak panas lagi, emang ajaib Rio ini.
'Ra, lu inget nggak kemaren lu ngapain aja?', kata Rio setelah mengajak kita bertiga duduk di kursi dapur, Nara menggeleng, dia hanya cerita apa yang dia lihat kemarin sebelum pingsan.
Rio bertanya, apa salah satu dari kita berempat pernah menyinggung makhluk makhluk seperti itu? Aku langsung terpaku, apa jangan jangan karena dupa kemarin? Aku memberanikan diri untuk bercerita pada mereka, lagi pula jika benar karena itu, kenapa korbannya malah Nara, bukan aku? Setelah itu Rio menyarankan kita bertiga untuk memancing perempuan itu datang lagi, dan dia yang akan mencari tau kenapa malah Nara, bukan aku korbannya.
Ntah kenapa ide gila itu tiba-tiba muncul di otak Rio, tapi memang tidak ada cara lain lagi agar tau alasan dibalik semua ini. Kita berempat setuju, dan kami memiliki tugas kami masing-masing. Nara sebagai umpan, karena perempuan itu pertama kali membawa Nara.
Aku sebagai orang yang akan meminta maaf karena mungkin telah mengusiknya.
Sandi akan bersembunyi dan menyegel perempuan itu agar tidak bisa bergerak dengan tali yang sudah Rio ntah apakan itu, dia bilang hanya lemparkan saja ke perempuan itu, maka dia tidak akan bisa bergerak.
Disisi lain Rio berjaga tanpa persiapan apapun, dia hanya seperti orang yang sedang menunggu ojek sambil merokok dan main ponsel.
'Enjoy bener tuh anak', ucap kami bertiga bersamaan. Rio yang melihat kami mengernyitkan dahi dia malah mengacungkan jempol.
Aku sesekali mengecek HP dan melihat sekarang sudah tengah malam, pukul dua belas malam.
Dimana kejadian kemarin terjadi pada jam dua pagi, kami rasa ini sudah terlalu malam dan cuacanya sudah semakin dingin.
Awalnya kami mengkode Rio, kapan rencana ini akan dijalankan, tapi tanpa kami sadari perempuan itu sudah berada dibelakang Nara, Nara dan aku jaraknya sejauh satu kilometer, aku dibawah pohon yang ada dupa dan sesajennya tadi, dan Nara agak jauh dari sana.
Urutannya adalah aku dibawah pohon, Sandi di atas pagar sebelah pohon, dan Nara didepan Sandi, lalu Rio berada satu kilo meter juga dari Nara.
Aku yang melihat Nara dengan perempuan itu dibelakangnya.
Dia membelai lembut rambut Nara, dan Nara sedikit demi sedikit memejamkan matanya, perempuan itu memutar, dia sekarang didepan Nara, dia lebih tinggi dari Nara.
Dia memeluk Nara, wajahnya melihatku.
'Ah... yang benar saja, ke.. ke... kepalanya, benar.. benar ter... balik', ucapku gagap, seluruh tubuhku bergetar, aku ingin lari tapi tidak bisa, kenapa? Mungkin karena rasa bersalahku pada Nara terlalu besar, lebih besar daripada rasa takutku, aku ingin segera menyudahi semua ini.
Dengan yakin aku mendekati Nara dan perempuan itu.
'Tu... tunggu, ini... ulahku, jadi to... long, maafkan aku, le... lepaskan dia, dia tidak tau apa apa, to... long', ucapku sambil berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk berusaha menarik Nara, tapi tenggorokan ku rasanya seperti tercekik, setelah melihat kejadian itu Sandi langsung melemparkan tali yang dia pegang.
Benar saja, perempuan itu langsung melepaskan Nara dan dia tidak bergeming atau bergerak sedikit pun.
'Naraaaa...', teriakku melihat Nara jatuh pingsan dan terbentur aspal.
Sandi melompat dan menuju ke arah Nara, aku juga melakukan hal yang sama, aku menggoyang pundak Nara sambil memanggilnya berkali kali, dan dia tersadar. Tapi dia tidak terlihat takut dengan sosok didepannya, Rio berjalan santai sambil mematikan rokok dan ponselnya.
'Ra lu gak papa kan? ', tanya Rio dengan santai.
'Yah gak papa kok, santai aja, sekarang yang jadi tujuan utama kita adalah nanya ke dia sebenernya apa alasan dia ngelakuin ini ke gua', jawab Nara dengan sorot mata yang tajam, jujur baru pertama kali aku lihat sorot matanya yang seperti itu, padahal biasanya dia yang paling attractive, bucin dan sikapnya kayak bocil kebanyakan micin.
'Dia bisa gitu juga ya', ucap Sandi yang juga heran, ekspresi ku sama dengannya.
Nara berdiri dan maju mendekati perempuan itu, Rio tidak bergerak dari tempatnya, dia membiarkan Nara mendekati perempuan itu.
'Lu siapa? ', ucap Nara.
'...', prempuan itu hanya menatap Nara, meskipun kepalanya terbalik, tapi kita semua bisa lihat bahwa sorot matanya itu sayu, seperti perempuan biasa yang tidak berdaya, tapi tetap saja seram, darahnya meleber kemana mana, bahkan sepertinya perutnya berlubang, itu terlihat karena baju putih yang dipakainya agak transparan.
'Biar gua yang urus', Rio menepuk pundak Nara, ntah kenapa wajah Rio jadi sedikit terlihat sadis, dia tersenyum sinis ke arah perempuan itu.
Tak lama setelah itu, Nara berbalik dan menepuk pundak ku dan Sandi, meminta agar kami ikut membalikkan badan, 'jangan dilihat', katanya.
Tidak ada suara. Setelah sepuluh menit baru terdengar suara orang bergumam, suara teriakan yang sangat keras dan suara perempuan yang menangis tersedu-sedu.
'Ini sebenarnya dia diapain sama Rio, sampe kek gtu', ucapku agak ngeri, merinding juga, Rio ternyata bisa kejam sama perempuan.
'Udah haha, diem aja udah jangan nengok', ucap Nara dengan tertawa kecil.
'Si anjir lu udah sering liat Rio kek gini ya?', tanya Sandi kepada Nara, Nara hanya menggeleng kan kepala tanpa membuka matanya.
'Rio cuma kek gini klo udah merasa keganggu banget, klo engga ya biasa aja, mungkin dia rasa dia udah terlalu mengganggu Rio', jawab Nara dengan tenang.
Setelah beberapa saat, tiba tiba makhluk itu tak bersuara, semua orang menoleh kearah Rio, dan mereka hanya melihat Rio, makhluk itu telah pergi dan tak ada tanda tanda kembali lagi setelah beberapa minggu.