BAB 1 — Pertemuan yang Nggak Sengaja Tapi Bikin Deg-Degan
Pagi itu, Lee Merin cuma berniat beli boba di depan sekolah sebelum bel masuk. Tapi hidup memang suka bercanda—karena dari semua kemungkinan yang ada di dunia, yang berdiri di depan gerobak boba itu malah cowok tinggi berjaket hitam dengan tatapan tajam dan senyum nyebelin.
“Eh, nabrak aja,” suara cowok itu datar, tapi matanya melirik ke bawah, tepat ke arah Merin yang hampir menjatuhkan minumannya.
“A-aku nggak sengaja!” Merin cepat-cepat menunduk, mencoba menyelamatkan boba-nya yang tinggal setengah.
Cowok itu menyeringai tipis. “Nggak sengaja, tapi berhasil bikin aku kena tumpahan. Hebat juga.”
Merin mendongak. “Ya salah kamu berdiri di tengah jalan!”
“Ini depan gerobak, bukan jalan,” balasnya tenang, tapi ada kilatan geli di matanya. “Nama lo siapa?”
“Kenapa emangnya?” Merin balik tanya, agak kesal tapi jantungnya berdetak aneh.
Cowok itu mencondongkan tubuh, suaranya pelan tapi bikin deg-degan.
“Biar nanti kalau minumannya jatuh lagi, aku tau siapa yang harus nagih ganti.”
Merin langsung menatap tajam. “Aku nggak akan jatuhin lagi!”
“Hmm,” senyum cowok itu makin lebar. “Kita liat aja nanti, Merin.”
“Lho?! Dari mana kamu tau namaku?”
Cowok itu cuma mengangkat alis, menepuk-nepuk jaketnya yang basah sedikit.
“Nama kamu ada di ID card yang tergantung di tas. Cuma orang ceroboh yang nggak sadar udah diserang sama cowok ganteng kayak aku.”
Merin terdiam, separuh pengin melempar sedotan ke mukanya, separuh lagi pengin sembunyi karena pipinya mulai panas.
Cowok itu tertawa kecil, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Namaku Sihyun. Inget ya, Lee Merin.”
Dan dari situ, entah kenapa, dunia Merin nggak tenang lagi.
BAB 2 — Cowok dari Sekolah Sebelah yang Nggak Tau Malu (Tapi Bikin Jantung Nggak Tenang)
Sudah tiga hari sejak insiden “boba tumpah” itu, dan Lee Merin pikir hidupnya bakal kembali tenang. Tapi ternyata, semesta belum selesai bercanda.
“Merin, itu… bukan cowok dari sekolah sebelah?” bisik sahabatnya, Hana, sambil nunjuk ke arah gerbang.
Merin menoleh — dan benar saja.
Di seberang pagar sekolahnya, berdiri seorang cowok tinggi pakai seragam sekolah lain. Jaket hitamnya masih sama, rambutnya berantakan tapi entah kenapa tetap keren.
Sihyun.
“Kenapa dia di sini lagi?” gumam Merin panik.
Padahal sekolah cowok itu letaknya dua blok dari sini. Ngapain juga nongkrong di depan gerbang sekolah orang?!
Sihyun melihatnya — dan langsung melambaikan tangan santai.
“Pagi, Lee Merin!” teriaknya cukup keras sampai beberapa murid di sekitar mereka menoleh.
“Ya ampun, malu banget,” desis Merin, menunduk buru-buru.
Tapi cowok itu malah jalan santai mendekat ke pagar.
“Aku kan bilang, kita bakal ketemu lagi.”
Senyumnya santai, tapi matanya… entah kenapa hangat banget.
“Ngapain kamu di sini, Sihyun?!” tanya Merin cepat-cepat.
“Ngambil janji,” jawabnya datar.
“Janji apaan?”
Sihyun menunjuk ke arah boba shop kecil di seberang jalan.
“Kamu belum gantiin minuman aku yang tumpah waktu itu.”
“Serius kamu dateng cuma buat itu?”
“Enggak.”
Sihyun bersandar di pagar, menatapnya dengan senyum setengah iseng, setengah tulus.
“Aku dateng karena penasaran. Soalnya sejak ketemu kamu, kepalaku ribut terus.”
Merin menatapnya, bingung. “Ribut gimana maksudnya?”
Sihyun menunjuk dadanya.
“Ya, ribut di sini.”
Detak jantung Merin langsung berantakan.
Cowok itu lalu nyengir — seolah baru sadar ucapannya terlalu jujur. “Tapi jangan ge-er dulu, ya. Bisa aja itu cuma efek boba tumpah.”
Merin mendengus. “Dasar cowok aneh.”
“Tapi kamu senyum,” balasnya cepat. “Berarti kamu suka.”
Merin berusaha menutupi wajahnya dengan buku.
“Aku senyum karena pengen lempar sedotan ke kamu!”
Sihyun tertawa pelan. “Lempar aja, asal abis itu kita ngopi bareng.”
Dan tanpa sadar, untuk pertama kalinya, Merin nggak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari.
Cowok red flag dari sekolah sebelah itu… beneran bahaya. Tapi entah kenapa, dia juga bikin hati hangat.
BAB 3 — Dia Selalu Ada (dan Itu Bikin Deg-Degan Banget)
Hari-hari Merin kembali sibuk dengan tugas, kelas, dan latihan ekskul. Tapi sejak pertemuan di gerbang sekolah itu… rasanya ada sesuatu yang aneh.
Bukan karena dia mikirin Sihyun (nggak juga sih—eh, sedikit mungkin), tapi karena… cowok itu selalu muncul.
Misalnya, pagi itu.
Merin baru aja keluar dari minimarket dekat sekolah, masih sibuk buka sedotan boba barunya, dan—
“Merin.”
Suara itu muncul dari balik rak majalah.
Cowok berjaket hitam muncul sambil membawa roti dan botol air, dengan senyum santai khasnya.
“Sihyun?! Kamu ngikutin aku ya?”
Sihyun cuma nyengir. “Enggak. Dunia aja yang kebetulan muter ke arah kamu.”
“Wah, kebetulan banget kamu nongol setiap aku keluar sekolah, lewat halte, dan sekarang di minimarket juga?”
“Loh, aku cuma kebetulan haus,” katanya, tapi matanya nggak lepas dari Merin.
Lama-lama, Merin ngerasa pipinya panas.
“Kalau kamu terus liatin aku kayak gitu, orang bisa salah paham, tahu?”
Sihyun melangkah mendekat setengah langkah. Suaranya pelan, tapi nadanya berubah serius.
“Biar aja.”
Merin menelan ludah. “Maksudnya?”
Sihyun memiringkan kepala, senyum tipis tapi matanya lembut banget.
“Kalau orang salah paham dan mikir kamu pacarku, aku nggak keberatan.”
“SIHYUN!” seru Merin cepat-cepat, tapi suaranya justru terdengar gemetar sendiri.
Cowok itu tertawa kecil, menepuk kepala Merin pelan.
“Tenang aja, aku nggak akan maksa. Tapi jangan salahin aku kalau aku suka nongol di mana pun kamu ada.”
“Kenapa sih kamu kayak… selalu muncul gitu?” tanya Merin, separuh bingung, separuh penasaran.
“Karena aku penasaran sama kamu,” jawabnya jujur. “Kamu lucu, ceroboh, tapi cara kamu marah juga manis. Aku nggak bisa berhenti pengin liat kamu.”
Dan untuk pertama kalinya, Merin nggak punya jawaban.
Karena jujur aja… hatinya juga nggak berhenti berdebar sejak cowok itu datang.
BAB 4 — Cowok Lain Itu Siapa? (Sihyun Mulai Nunjukin Warnanya)
Hari itu, suasana di sekolah lagi rame karena lomba antar-sekolah.
Merin ditunjuk buat bantu panitia nyambut peserta dari sekolah lain — dan tebak siapa yang datang?
Bukan, bukan Sihyun.
Tapi teman satu sekolahnya.
Cowok itu tinggi, ramah, dan murah senyum. Namanya Minjae.
Dan sejak pertama kali ketemu, dia kelihatan terlalu akrab sama Merin.
“Lee Merin, boleh minta tolong bagian daftar nama peserta?” tanya Minjae sambil senyum lebar.
“Oh, iya, bentar ya,” jawab Merin sambil balik senyum kecil.
“Eh, kamu kayaknya temannya Sihyun, deh?”
Minjae ketawa kecil. “Iya. Kamu kenal dia juga?”
Merin belum sempat jawab, ketika suara berat nan familiar muncul dari belakang.
“Kenal banget.”
Merin reflek menoleh — dan benar saja.
Sihyun.
Berdiri di sana, tangannya masuk ke saku jaket, pandangannya tajam… tapi bukan ke Minjae, ke Merin.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Merin cepat-cepat. “Ini acara antar-sekolah, bukan—”
“Sekolahku juga ikut, ingat?”
Sihyun berjalan mendekat, langkahnya santai tapi auranya bikin suasana sekitar sedikit hening.
“Dan aku liat kamu dari jauh… lagi senyum ke cowok lain.”
“Dia cuma bantu daftar peserta, Sihyun,” jawab Merin, mencoba menahan malu.
Tapi Sihyun malah menatap Minjae tanpa berkedip. “Minjae, lo nggak sibuk bantu yang lain? Banyak tuh di lapangan.”
Minjae tertawa canggung. “Iya, iya. Santai aja, bro.”
Dan begitu Minjae pergi, Merin menatap Sihyun kesal.
“Kamu kenapa sih? Ngatur-ngatur orang gitu.”
Sihyun menatapnya, nadanya pelan tapi serius.
“Aku nggak ngatur. Aku cuma nggak suka liat kamu senyum ke cowok lain.”
“Ya ampun, Sihyun…”
“Merin,” katanya lagi, kali ini lebih lembut. “Aku tahu aku kelihatan kayak cowok red flag — cuek, ngeselin, suka ganggu kamu. Tapi percayalah…”
Dia menunduk sedikit, matanya lurus ke arah Merin.
“Kalau soal kamu, aku nggak main-main.”
Detik itu juga, jantung Merin seperti berhenti berdetak.
Karena walau kata-katanya simpel, tatapan Sihyun… tulus banget.
“Makanya jangan senyum ke sembarang cowok lagi, ya?”
Nada suaranya berubah lagi jadi santai, tapi ujung bibirnya melengkung nakal.
“Soalnya senyum kamu… aku pengen jadi satu-satunya yang liat.”
BAB 5 — Rahasia di Balik Tatapan Sihyun
Hari itu hujan turun tiba-tiba. Langit abu-abu, angin dingin, dan semua orang di sekolah panik cari tempat berteduh.
Lee Merin berdiri di bawah atap kecil depan gerbang sekolah, sambil menatap rintik air yang makin deras. Payungnya? Tentu saja ketinggalan. Lagi.
“Kayaknya aku dikutuk lupa payung setiap hujan,” gumamnya kesal.
“Tapi untungnya, ada yang inget.”
Suara itu lagi—datar, tapi hangat.
Merin menoleh, dan seperti biasa, cowok berjaket hitam itu sudah berdiri di sampingnya. Payung hitam di tangan, senyum tipis di bibir.
“Sihyun? Kamu ngapain di sini?!”
“Nyari kamu.”
Jawabannya sederhana, tapi sukses bikin jantung Merin loncat dua ketukan.
“Nyari aku?”
“Iya. Kamu bilang mau langsung pulang, tapi aku tahu kamu pasti lupa payung.”
Sihyun membuka payungnya dan menunduk sedikit, matanya menatap Merin.
“Naik bareng.”
Merin terdiam. “Kamu serius dateng cuma buat—”
“Ngambil payung buat kamu,” potongnya. “Dan… ngeliat kamu.”
Mereka mulai jalan berdampingan di bawah payung.
Jalan kecil itu sepi, cuma ada suara hujan dan langkah mereka. Sesekali, bahu mereka bersentuhan, dan Merin merasa jantungnya makin nggak karuan.
“Kamu tuh kenapa sih, Sihyun?” tanya Merin pelan. “Kenapa selalu muncul di mana pun aku ada?”
Sihyun terdiam sejenak.
Hujan jatuh makin deras, dan suaranya hampir tenggelam oleh angin ketika dia akhirnya menjawab:
“Dulu aku mikir semua orang itu sama aja. Aku bisa suka siapa pun, tapi nggak pernah bener-bener peduli.”
Dia menatap lurus ke depan.
“Tapi pas pertama kali liat kamu… aku nggak bisa berhenti nyari alasan buat liat kamu lagi.”
Merin menunduk, pipinya hangat padahal udara dingin. “Itu… bukan alasan buat ngikutin aku terus.”
Sihyun tertawa kecil. “Mungkin bukan alasan yang logis, tapi itu satu-satunya hal yang bikin hari-hariku nggak kosong.”
Dia berhenti sebentar, lalu menatap Merin dalam.
“Aku tahu aku keliatan kayak red flag. Tapi kamu—kamu bikin aku pengin jadi lebih baik.”
Suara hujan jadi latar dari momen itu.
Untuk pertama kalinya, Lee Merin nggak bisa ngelak. Tatapan Sihyun… bukan cuma lucu atau nakal. Itu tatapan seseorang yang benar-benar jatuh cinta.
Sihyun mengangkat payungnya sedikit lebih tinggi, mendekatkan wajahnya ke arah Merin.
“Boleh aku terus di samping kamu kayak gini?”
Merin tersenyum kecil, menatap ke depan tanpa berani menoleh.
“Selama kamu nggak bikin masalah di sekolahku lagi.”
Sihyun tertawa pelan. “Janji. Tapi kalau ada cowok lain deketin kamu—”
“SIHYUN!”
“—aku nggak janji bisa diem,” lanjutnya, sambil nyengir puas.
Dan di bawah hujan sore itu, Lee Merin sadar satu hal:
Red flag atau bukan, cowok ini udah sukses nyuri hatinya.
BAB 6 — Cowok Red Flag yang Ternyata Manja?
Sudah seminggu sejak kejadian di bawah hujan itu.
Dan sejak hari itu juga, hidup Lee Merin… resmi nggak tenang lagi.
Setiap pagi, setiap pulang sekolah, setiap buka ponsel — selalu ada nama yang sama:
Sihyun.
Kadang cuma kirim chat pendek:
“Udah makan?”
“Jangan lupa bawa payung, langitnya mendung.”
“Aku liat kamu lewat halte barusan 😏”
Kadang juga kirim foto random, kayak kopi yang bentuk busanya mirip wajah sedih, dengan caption:
“Kopinya kangen kamu.”
Dan yang paling parah—
dia beneran muncul tiap kali Merin lagi sendirian.
Hari itu misalnya. Merin baru selesai ekskul dan lagi duduk di taman sekolah, capek tapi senang.
Tiba-tiba ada suara familiar di belakangnya:
“Kalau kamu terus senyum sendirian gitu, aku bisa salah paham, loh.”
Merin noleh — dan tentu saja, Sihyun udah berdiri di situ sambil bawa dua cup boba.
“Kamu kok di sini lagi?!”
Sihyun duduk di sebelahnya, menaruh satu cup di depan Merin.
“Katanya cewek butuh gula biar mood-nya bagus. Aku bantu jaga mood kamu.”
Merin ngelirik malas, tapi matanya nggak bisa bohong.
“Terus kamu dateng cuma buat ngasih boba?”
“Enggak juga.”
Sihyun bersandar santai ke kursi taman, menatap langit.
“Sebenernya aku pengin liat kamu aja. Hari ini kelihatan capek.”
Ucapan itu pelan banget, tapi langsung bikin dada Merin hangat.
“Tapi kamu juga kelihatan capek, Sihyun.”
Sihyun menoleh, senyum nakal muncul lagi.
“Ya gimana nggak capek, tiap malam mikirin kamu terus.”
“SIHYUN!!”
Merin langsung menutup mukanya dengan tangan, sementara Sihyun tertawa puas.
“Lihat kan? Gini nih enaknya godain kamu. Mukamu lucu banget kalau malu.”
“Terserah kamu aja deh,” gumam Merin, tapi bibirnya tetap tersenyum kecil.
Setelah beberapa saat diam, Sihyun tiba-tiba nyender ke bahu Merin.
Pelan. Hangat.
“Boleh gini aja bentar?” suaranya lirih. “Capek banget, tapi tiap deket kamu rasanya tenang.”
Merin terdiam. Jantungnya deg-degan lagi — tapi kali ini bukan karena malu.
Lebih karena… nyaman.
“Boleh,” bisiknya akhirnya. “Tapi cuma bentar.”
Sihyun nyengir kecil tanpa buka mata. “Bentar versi aku bisa lama, loh.”
Merin menghela napas — tapi diam-diam, senyumnya nggak bisa disembunyikan.
Dan di taman sore itu, untuk pertama kalinya, Lee Merin sadar…
Cowok red flag yang selalu bikin heboh itu ternyata punya sisi manja yang cuma dia yang bisa liat.
BAB 7 — Saat Red Flag Mulai Takut Kehilangan
Beberapa hari terakhir, suasana antara Merin dan Sihyun terasa… agak beda.
Bukan karena mereka bertengkar. Tapi karena gosip.
Di sekolah Merin, seseorang sempat lihat dia bareng Sihyun waktu di taman sore itu. Dan sejak itu, gosip mulai menyebar.
Katanya, Merin “deket sama cowok sekolah sebelah yang bad boy,” katanya “cowok itu sering bikin masalah.”
Dan entah kenapa, gosip itu bikin Merin mulai jaga jarak sedikit.
Bukan karena dia percaya omongan orang… tapi karena dia takut Sihyun jadi kena masalah juga.
Hari itu, saat Merin pulang sekolah lebih cepat, dia sengaja lewat jalan belakang. Tapi baru dua tikungan, seseorang sudah berdiri di sana — dengan tangan di saku, dan wajah yang kelihatan… marah?
“Sihyun?”
Cowok itu menatapnya lama, matanya dalam tapi ada sesuatu di baliknya — kecewa, mungkin juga takut.
“Kenapa kamu ngilang seminggu?” suaranya datar, tapi jelas banget ada nada khawatir di baliknya.
Merin menelan ludah. “Aku nggak ngilang, cuma sibuk aja.”
“Boong.”
Langkah Sihyun maju satu. “Kamu ngehindar.”
“Aku cuma—”
“Takut keliatan bareng aku?” potongnya cepat.
Merin terdiam.
Sihyun tertawa kecil, tapi tawanya hambar. “Ya, wajar sih. Gue kan terkenal jelek di luar sana. Anak berandalan dari sekolah sebelah.”
“Sihyun…”
“Tapi lucu, ya,” katanya lagi, menatap ke arah Merin dengan mata yang sedikit memerah. “Gue yang biasanya nggak peduli sama omongan orang, sekarang malah takut kehilangan kamu cuma karena gosip.”
Detik itu juga, Merin maju satu langkah. “Kamu nggak akan kehilangan aku, bodoh.”
Sihyun terdiam.
“Aku cuma nggak mau kamu disalahin gara-gara aku,” lanjut Merin. “Aku nggak ngehindar karena malu. Aku cuma pengin kamu aman.”
Sihyun menatapnya lama, lalu tiba-tiba tersenyum kecil — senyum yang hangat banget tapi juga sedih.
“Kenapa sih kamu selalu bikin aku kalah argumen?”
“Karena aku bener,” jawab Merin cepat.
Sihyun menghela napas, lalu tanpa peringatan, dia menarik Merin pelan ke dalam pelukannya.
“Jangan ngilang lagi, ya. Aku emang keliatan tenang di luar, tapi kalau kamu nggak ada… aku kayak orang gila.”
Merin bisa ngerasain detak jantungnya — cepat, berat, dan nyata.
Dia nggak jawab apa-apa, cuma balas pelukannya pelan.
“Maaf,” bisik Merin.
Sihyun menggeleng, masih memeluknya erat. “Nggak apa-apa. Tapi abis ini… jangan pernah ngilang lagi tanpa bilang. Aku nggak kuat.”
Dan di situ, Merin sadar — di balik sikap cuek dan red flag-nya, Sihyun cuma seseorang yang terlalu takut kehilangan orang yang dia sayang.
BAB 8 — Saat Semua Rasa Diungkapkan
Malam itu langit cerah setelah hujan sore.
Jalanan basah, lampu-lampu kota memantul di aspal, dan udara malam terasa segar.
Lee Merin duduk di bangku taman yang biasa. Tempat yang diam-diam jadi “tempat mereka”.
Entah kenapa, dia ngerasa kalau malam itu bakal jadi momen penting.
Dan benar saja—
dari jauh, seseorang datang dengan langkah santai, tangan di saku, dan senyum kecil yang langsung bikin jantung Merin berdebar.
“Sihyun…”
“Udah nunggu lama?” suaranya lembut kali ini, nggak seberisik biasanya.
“Nggak juga,” jawab Merin, pura-pura cuek padahal tangannya dingin karena gugup.
Sihyun duduk di sebelahnya, diam beberapa detik, lalu berkata pelan,
“Gue mikir banyak akhir-akhir ini.”
Merin menoleh. “Tentang apa?”
“Lo.”
Hening sejenak.
Cuma ada suara jangkrik dan angin yang nyenggol dedaunan.
Sihyun melanjutkan, nadanya rendah tapi tulus.
“Aku udah pernah deket sama banyak orang, Merin. Tapi entah kenapa, cuma kamu yang bikin aku ngerasa hidup.”
Dia menatap langit sebentar, lalu berbisik,
“Dan itu nyebelin.”
“Kenapa nyebelin?” tanya Merin pelan.
“Karena tiap kamu nggak ada, rasanya kayak dunia berhenti. Aku nggak mau jadi cowok yang overprotective, tapi… aku takut banget kamu jauh.”
Merin menatapnya lama. “Sihyun, kamu tahu nggak?”
“Apa?”
“Selama ini aku juga takut.”
“Takut sama aku?”
Merin menggeleng. “Takut kalau aku mulai suka sama kamu terlalu dalam.”
Sihyun terdiam, lalu tiba-tiba tertawa kecil. “Udah telat, Merin. Aku udah jatuh duluan.”
Dia menatap Merin, dan kali ini — nggak ada senyum nakal, nggak ada tatapan menggoda.
Cuma kejujuran.
“Aku suka kamu. Nggak karena kamu lucu, atau ceroboh, atau bikin aku penasaran. Tapi karena tiap aku liat kamu, aku pengin jadi orang yang pantas buat kamu.”
Dan sebelum Merin bisa jawab, Sihyun menunduk sedikit, mendekat.
Bukan untuk cium — cuma menatap dari jarak yang terlalu dekat untuk bisa bohong.
“Boleh nggak aku jagain kamu mulai sekarang?”
Merin tersenyum kecil, matanya hangat. “Aku kira kamu udah jagain dari dulu.”
Sihyun nyengir, suaranya kembali ke nada usil yang khas.
“Ya, tapi sekarang resminya. Nggak bisa kabur lagi, Lee Merin.”
“Siapa juga yang mau kabur,” gumam Merin pelan.
Sihyun terdiam, lalu menatapnya lama. “Berarti… kita resmi?”
Merin menatapnya balik, wajahnya merah, tapi bibirnya tersenyum.
“Kayaknya iya.”
Dan malam itu, di bawah langit yang masih menyisakan sisa hujan, dua orang yang saling ganggu, saling takut, dan saling suka akhirnya berhenti pura-pura.
Mereka nggak perlu janji besar. Cukup tatapan, cukup senyum, dan cukup keberanian buat bilang:
“Aku milik kamu.”
BAB 9 — Pacaran Versi Sihyun (Alias Bikin Deg-degan Tiap Hari)
Sudah dua minggu sejak Lee Merin resmi jadi pacar Sihyun.
Dan sejak hari itu… dunia Merin berubah total.
Sekarang, tiap pagi sebelum berangkat sekolah, ponselnya selalu bergetar dengan pesan yang sama:
“Udah bangun, Merin? Jangan lupa sarapan, biar semangat liat aku.”
Kalimatnya ngeselin. Tapi kalau sehari aja nggak ada, rasanya ada yang kurang.
Kadang dia juga muncul di depan sekolah—padahal sekolahnya beda—cuma buat nyodorin minuman dan bilang:
“Biar kamu inget minum air, bukan cuma mikirin aku.”
“Dasar narsis,” kata Merin waktu itu, tapi tangannya tetap nerima botolnya sambil senyum kecil.
Yang paling parah adalah ketika Sihyun mulai clingy level dewa.
Suatu sore, mereka duduk di taman yang sama seperti dulu.
Merin lagi baca buku, sementara Sihyun bersandar di pangkuannya, main-mainin tali tas Merin.
“Sihyun, kamu nggak capek tidur di sini?”
“Capek, tapi kalau pindah aku nggak bisa liat kamu dari bawah gini,” katanya santai.
“Ngapain juga liat dari bawah?”
“Biar kalau kamu senyum, aku dapet angle terbaik,” jawabnya tanpa malu.
Merin tepuk dahinya. “Aku heran deh, kamu tuh romantis apa ngelucu sih?”
Sihyun membuka satu matanya, menatapnya manja. “Dua-duanya. Soalnya aku red flag di luar, green flag di hatimu.”
“Ciyeee, percaya diri banget,” Merin menggoda.
Tapi begitu dia mau bangkit, Sihyun cepat-cepat menggenggam tangannya.
“Jangan dulu. Diam di sini bentar.”
Nada suaranya pelan kali ini—nggak manja, nggak nakal, cuma… tulus.
“Aku suka tiap detik bareng kamu, Rin.”
Merin berhenti sejenak, lalu tersenyum lembut. “Aku juga.”
Dan dalam keheningan sore itu, mereka cuma duduk berdua.
Nggak perlu kata-kata besar. Nggak perlu janji berlebihan.
Cukup saling ada.
Cukup saling percaya.
Cukup tahu, bahwa red flag yang katanya berbahaya… ternyata bisa jadi rumah teraman kalau hatinya tulus.
Sihyun mengangkat kepala, menatap Merin dari dekat, lalu berkata dengan nada menggoda seperti biasa,
“Eh, Rin.”
“Apa lagi?”
“Besok aku jemput ya?”
“Kan sekolah kita beda!”
“Makanya aku bilang jemput, bukan bareng masuk.”
Merin tertawa lepas, dan Sihyun ikut tertawa.
Suara mereka bercampur dengan angin sore, sederhana tapi bahagia.
Dan begitulah—kisah dua orang yang awalnya cuma “bikin ribut gara-gara boba tumpah,”
berakhir jadi cerita tentang cinta yang tumbuh di antara tawa, deg-degan, dan kejujuran sederhana.
— Tamat (untuk sekarang 😉)
💞🥹✨