kisah cinta abadi antara Artemis dan Orion, di mana cinta mereka akhirnya menemukan jalannya kembali setelah kematian, di antara bintang dan cahaya abadi.
Angin lembut malam berhembus di puncak Gunung Olympus. Bulan menggantung tinggi, menerangi taman para dewa dengan cahaya perak yang seakan menetes di setiap daun zaitun.
Artemis berdiri diam, menatap langit, seperti biasa—seperti setiap malam sejak kehilangan seseorang yang dulu memenuhi hatinya dengan tawa dan ketenangan.
Orion
Nama itu masih bergetar lembut di ujung lidahnya setiap kali angin malam berbisik.
Berabad-abad sudah berlalu, tapi kenangan itu tetap hidup—tentang seorang manusia yang menatapnya tanpa rasa takut, yang berani berjalan di samping sang Dewi Bulan tanpa tunduk pada ketakutan.
Malam itu, ia teringat saat Orion berkata,
> “Aku tak butuh matahari, Artemis. Karena cahayamu saja sudah cukup buatku melihat dunia.”
Kata-kata itu dulu membuatnya tertawa malu. Tapi kini, setiap kali ia memandang rembulan, hatinya terasa hampa—seolah separuh dari dirinya ikut tenggelam di laut Aegea malam itu.
Apollo telah lama menyesal. Ia menatap kembarannya dari kejauhan, tahu bahwa kesalahannya dulu takkan pernah bisa ditebus dengan kata maaf. Tapi bahkan para dewa pun tidak bisa memutar waktu.
Namun, takdir punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua jiwa yang ditakdirkan bersama.
---
Suatu malam, saat bulan berada di puncak langit dan seluruh bintang seolah bersinar lebih terang dari biasanya, Artemis merasa sesuatu berbeda.
Udara bergetar lembut, seperti ada kehangatan yang turun dari langit. Cahaya bintang Orion tampak lebih hidup, berkilau menembus kabut malam.
Lalu, ia mendengar suara.
Lembut, namun jelas.
> “Artemis…
Dada sang dewi bergetar. Itu… suaranya.
Ia menatap ke atas, dan di antara rasi Orion yang bersinar, sosok itu muncul—tinggi, gagah, dengan mata yang memantulkan kilau langit malam.
Bukan sekadar cahaya, bukan ilusi, tapi benar-benar Orion—dengan senyum yang dulu ia rindukan di setiap malam sepi.
“Orion… apakah ini mimpi?”
Artemis berbisik, suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Orion menggeleng lembut. Ia mengulurkan tangan, yang kini memancar seperti cahaya bintang.
> “Bukan mimpi, Artemis. Dewa waktu memberi kita kesempatan. Bukan untuk hidup di bumi, tapi untuk hidup di antara bintang-bintang—tempat di mana tak ada akhir.”
Air mata mengalir di pipi sang dewi, berubah menjadi butiran cahaya yang jatuh ke bumi, menjadi embun perak di daun-daun zaitun.
Ia menggenggam tangan Orion. Dan untuk pertama kalinya sejak kepergiannya, jantung Artemis berdebar lagi—bukan karena sedih, tapi karena damai.
Di langit, bintang-bintang mulai berputar, membentuk lingkaran cahaya di sekeliling mereka.
Rasi Orion bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan bulan tampak memantulkan cahayanya lebih lembut, seolah ikut tersenyum melihat dua jiwa itu bersatu kembali.
> “Kau tahu, Artemis,” Orion berkata sambil menatap langit yang tak berujung.
“Bahkan kematian pun tidak cukup kuat untuk memisahkan dua jiwa yang saling menemukan.
Artemis tersenyum lembut, menyandarkan kepala di bahunya.
> “Mungkin inilah takdir yang sebenarnya. Bukan di bumi, bukan di laut… tapi di sini. Di antara bintang, tempat kita berdua bisa bersinar selamanya.”
Dan sejak malam itu, manusia yang menatap langit akan melihat bulan bersinar lebih lembut dari biasanya, dengan bintang Orion yang tampak lebih dekat, lebih hangat.
Konon, itu adalah tanda bahwa Artemis dan Orion akhirnya bersama lagi—berdua, di langit abadi, menyinari dunia dengan cinta yang tak pernah padam.
“The Moon Remembers”
> “Bulan tak pernah lupa pada nama yang pernah dipanggilnya dengan lembut.”
🌙;
kadang semesta mengingat, bahkan saat kita ingin melupakan.