Kisah ini berpadu antara nuansa mitologi Yunani dan romansa lembut yang penuh tragedi dan keabadian.
Di atas langit Olympus, bulan bersinar lembut menembus kabut tipis yang menari di antara bintang.
Artemis berdiri di tepi tebing marmer putih, jubah peraknya berkilau diterpa angin malam. Ia menatap bumi yang jauh di bawah sana—tempat di mana manusia tertidur dalam mimpi, dan tempat seseorang yang begitu dirindukannya pernah bernapas.
Dialah Orion.
Pemburu yang dulu menemaninya berburu di hutan Delos, tertawa di bawah sinar bulan, dan menatapnya dengan mata yang memantulkan ketenangan langit malam.
Orion bukan dewa, tapi keberanian dan ketulusannya membuat Artemis, sang perawan abadi, merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan tumbuh: cinta.
Namun cinta para dewa jarang berakhir indah.
Apollo, kembarannya, melihat betapa hatinya mulai condong pada Orion. Ia takut—bukan karena cemburu, tapi karena tahu bahwa cinta antara abadi dan fana hanya membawa duka.
Suatu hari, ketika Orion sedang berenang di laut biru Aegea, Apollo mendekati Artemis dan menunjuk ke titik kecil yang tampak di kejauhan.
> “Saudari, kau mengaku pemanah terhebat. Kalau begitu, buktikan.
Bisakah kau menembak benda hitam yang mengapung di laut itu?”
Artemis tersenyum, menyiapkan busurnya. Cahaya bulan membias di anak panah perak yang ia tarik kuat.
Ia tidak tahu—bahwa sasaran yang ia bidik bukan sekadar titik di lautan, tapi orang yang paling ia cintai.
Tembakannya sempurna.
Dan malam itu, angin membawa suara halus ke telinganya:
> “Artemis… aku mencintaimu.”
Ketika ia menyadari kebenarannya, laut sudah menelan tubuh Orion.
Artemis berlari ke pantai, namun yang ia temukan hanyalah keheningan dan sinar bulan yang memantul di air laut, bagai cermin yang menatap balik dirinya.
Sejak saat itu, Artemis bersumpah untuk tidak mencintai siapapun lagi.
Namun, cinta sejati tidak pernah benar-benar mati.
Setiap malam, ia menatap langit dan menyalakan bintang-bintang—menciptakan rasi Orion, agar kekasihnya dapat hidup kembali di antara bintang, menemaninya dalam diam.
> “Aku di sini, Orion.
Meski kau bukan lagi di bumi, cahaya kita tetap berpadu di langit.”
Dan begitulah, sampai kini manusia masih melihat mereka di langit malam:
Sang Pemburu dan Sang Bulan—dua jiwa yang terpisah oleh takdir, tapi disatukan oleh keabadian.