** Awal dari Segalanya**
Langit biru membentang luas di atas SMP Negeri Merah Putih. Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma bunga dari taman sekolah. Di antara kerumunan siswa yang baru datang, tampak Nadia, siswi kelas 8B, berjalan sambil menenteng tas dan buku catatan.
Hari itu adalah hari pertama masuk setelah libur panjang. Nadia sebenarnya bersemangat, tapi ada rasa canggung yang sulit dijelaskan — karena sahabatnya, Dinda, kini tidak satu kelas dengannya lagi.
“Kayaknya bakal aneh tanpa Dinda,” gumam Nadia pelan.
Di dalam kelas baru, Nadia duduk di dekat jendela. Ia memperhatikan suasana kelas yang ramai, hingga seorang siswa laki-laki datang terlambat — dengan rambut sedikit acak-acakan dan wajah tenang. Namanya Raka.
“Permisi, Bu. Saya murid baru pindahan dari Bandung,” katanya sopan.
Seisi kelas mulai berbisik. Murid baru memang selalu jadi perhatian. Nadia sendiri tak menyangka, Raka akan duduk di kursi kosong di sebelahnya.
Sejak saat itu, hari-hari di sekolah terasa berbeda.
---
**Persahabatan yang Tumbuh**
Minggu demi minggu berlalu. Raka ternyata anak yang pintar tapi pendiam. Ia sering membantu teman-temannya dalam pelajaran Matematika, termasuk Nadia.
Mereka mulai akrab. Kadang belajar bersama di perpustakaan, kadang berbagi cerita di kantin. Tapi di sisi lain, Dinda — sahabat lama Nadia — mulai merasa tersisih.
“Sekarang kamu lebih sering sama Raka, ya?” tanya Dinda dengan nada dingin.
Nadia terdiam. Ia tidak bermaksud menjauh, tapi ternyata perasaan Dinda terluka. Dari situlah mulai muncul konflik kecil di antara mereka.
---
** Ujian dan Kejujuran**
Ketika lomba cerdas cermat antar kelas diumumkan, Nadia dan Raka terpilih mewakili kelas mereka. Dinda juga ikut, mewakili kelas lain. Di atas panggung lomba, mereka bukan lagi sahabat — tapi lawan.
Pertandingan berlangsung ketat. Di babak akhir, hanya selisih satu poin antara mereka. Namun, sebuah kesalahan kecil dari tim Dinda membuat kelas Nadia menang.
Setelah lomba, Dinda pergi tanpa bicara. Nadia mengejarnya.
“Aku nggak pernah mau saingan sama kamu, Din. Aku cuma pengin kita tetap temenan.”
Dinda menunduk. “Aku juga... cuma iri aja. Maaf, Nad.”
Mereka berpelukan. Langit sore tampak cerah — seolah ikut tersenyum melihat mereka berdamai.
---
** Langit yang Sama**
Hari-hari berlalu dengan tawa dan semangat baru. Nadia, Dinda, dan Raka kini sering belajar bersama. Mereka menyadari satu hal: pertemanan sejati bukan tentang seberapa sering bersama, tapi seberapa tulus saling mendukung.
Di bawah langit sekolah yang sama, mereka berjanji akan tetap bersahabat — meski nanti akan berpisah ke sekolah yang berbeda.
“Selama masih ada langit di atas sekolah ini,” kata Raka sambil tersenyum,
“kita nggak akan pernah benar-benar berpisah.”
---