Rembulan malam membiaskan cahaya redup yang menenangkan.
Rintik gerimis bagaikan kelopak bunga yang mekar, terasa membasahi kulit.
Dalam kesendirian aku mengangkat wajahku.
Awan abu-abu masih menggantung di langit,
sisa hujan semalam masih terasa.
Hawa dingin yang familiar itu masih sama.
Menusuk tulang hingga membuat tubuhku bergetar dan menggigil.
Masih melekat dalam ingatan,
seulas senyuman dan tatapan teduhmu.
Saat jemarimu mulai menari menyentuh tiap tuts-tuts piano,
nada demi nada mulai bergulir.
Untuk pertama kalinya aku melihat keningmu berkerut,
seolah memiliki seribu wajah.
Entah untuk kesekian kalinya, ekspresi itu selalu berubah.
Mata itu kadang bersinar dengan kebahagiaan.
Namun di detik berikutnya sinar itu meredup, sendu menyelimuti.
Dan entah apa saja yang sudah kamu alami, seolah dirimu adalah perahu kecil yang diterjang badai di tengah ombak yang luas.
Sendirian melawan angin.
Tak tergoyahkan melawan gelombang.
Obor kecil itu masih menyala, meskipun tidak seterang sebelumnya.
Tetapi itu terus berkedip, seolah menantang dunia dan menolak untuk kalah.
Di tengah kegelapan malam yang sunyi,
awan putih mulai berubah warna.
Abu-abu kehitaman menjalar ke setiap sisinya.
Sesekali selarik kilat putih menyambar.
Suaranya menggelegar bagaikan naga yang menguasai langit.
Detik berikutnya hujan mulai turun dengan derasnya.
Bulir-bulirnya terus berjatuhan, seolah menghakimi setiap jiwa dengan caranya.
Ruang waktu terus berkecamuk,
seolah tumpang tindih; setiap awal perjalanan pada akhirnya menemukan garis akhir.
Bagaikan gelap dan terang,
warna hitam di langit mulai menyebar.
Bagaikan jam pasir, alurnya seolah memiliki nadi yang berdetak.
Malam mulai berakhir. Cahaya sang surya yang lembut menyapa manakala ia terbit, membiaskan cahaya tujuh warna yang membentang sejauh mata memandang.
Tahukah kamu? Tempat ini masih sama.
Masih tempat ternyaman dan terindah seperti yang pernah kamu katakan dulu.
Kamu mengatakan hal-hal konyol, seperti saat pelangi datang dan mengucapkan permohonan maka Sang Penguasa Langit akan mendengarnya?
Saat itu aku tidak mengerti.
Saat itu aku tidak menyadari jika itu merupakan sebuah pertanda.
Seandainya aku tahu, mana mungkin aku masih bisa tersenyum dan tertawa lebar bersamamu.
Dengan kejam kamu menyimpan segalanya sendirian,
hingga akhirnya aku tenggelam dalam penyesalan yang tak bertepi.
Seandainya waktu bisa terulang kembali, akan kuhabiskan semua waktuku bersamamu. Menggenggam erat jemarimu dan membawamu ke mana pun kau mau.
Kini segalanya hanya menjadi memori.
Yang tersisa hanyalah napas kasar.
Terkadang aku bertanya, apakah kau masih bisa mendengar keluhanku?
Apakah kau masih bisa mendengar suaraku?
Sepi ini terasa begitu menekan, bagaikan rantai hitam yang menjerat tubuhku dengan erat.
Masih menatap langit di tengah kesunyian suara rintik hujan.
Tak terhitung jumlahnya aku menyebut namamu.
Aku tak tahu kapan sepi ini akan berakhir.
Bayanganmu terus melangkah di dalam pelupuk mata.
Kamu begitu tidak adil!
Membuatku terjebak, sehingga aku sering lupa jika antara aku dan kamu kini telah terpisah antara dua dunia yang berbeda.