Malam di Surabaya selalu milik Ren. Bukan karena gemerlap bintang, melainkan karena deru mesin. Pada usia 18 tahun, ia bukanlah gadis yang asyik dengan lip-gloss atau unggahan media sosial. Ren adalah Ketua Shadow, geng motor yang disegani di selatan kota.
Penampilannya jauh dari kata feminin. Rambutnya dicukur pendek di sisi dan dibiarkan panjang sedikit di atas, selalu ditutupi oleh helm full-face yang dicat hitam-matte. Jaket kulit hitam lusuh, celana jeans robek, dan sepatu boots militer adalah seragam sehari-harinya. Wajahnya yang tegas dan sorot matanya yang dingin adalah bahasa universal di kalangan anggota gengnya—semuanya laki-laki berusia awal dua puluhan ke atas.
Malam ini, Ren baru saja memenangkan balapan liar yang berhadiah cukup besar. Suara sorakan anggotanya memekakkan telinga, namun ia hanya mengangkat tangan kanannya, dan seketika keramaian itu mereda menjadi gumaman patuh. Ren menyukai kontrol itu. Di jalanan, kata-katanya adalah hukum.
"Ren, mau langsung ke markas?" tanya Guntur, wakilnya yang berbadan besar.
Ren menggeleng. "Pulang. Ada urusan sedikit."
"Hati-hati, Re."
Ren mengangguk singkat, menyalakan mesin motor sport-nya, dan melesat pergi. Secepatnya ia menjauhi keramaian, ia tahu ia akan segera memasuki dunia yang sama sekali berbeda, dunia di mana ia tidak punya kendali sama sekali.
Rumah. Kata itu terasa asing baginya.
Ayahnya, seorang pengusaha kelas menengah yang sibuk, lebih sering ada di hotel atau bandara daripada di ruang keluarga. Ibunya, yang merasa ditinggalkan, seringkali melampiaskan frustrasinya melalui suara keras dan sindiran tajam.
Ren memarkir motornya di garasi dan melepas helmnya. Heningnya rumah itu justru lebih menusuk daripada deru motor yang tadi ia tinggalkan. Ia melangkah masuk dan menemukan ibunya, Hana, duduk di sofa ruang tamu, memegang gelas kosong dengan mata sembab.
"Pulang juga," suara ibunya terdengar serak. "Dari mana? Dari pacaran dengan motor bodohmu itu?"
Ren tidak menjawab. Ia hanya ingin naik ke kamar.
"Setidaknya kau punya kehormatan, Ren! Tidak seperti Ayahmu yang tidak pernah pulang!" Hana melempar gelasnya ke lantai, dan pecahan kaca itu memantul di lantai marmer, menciptakan suara tajam yang menyayat hati.
Suara pecahan. Ren terdiam. Di geng, ia bisa memperbaiki patahan, baik itu ban pecah atau semangat yang hilang. Di sini, ia hanya melihat pecah belah yang tidak bisa ia satukan kembali. Ia menyadari satu hal. Di jalanan, ia mencari suara sorakan untuk menutupi keheningan di rumahnya, ia mencari jaket kulit untuk menutupi kerapuhan keluarganya.
"Aku masuk," kata Ren, suaranya pelan namun tegas.
"Kau pikir kau bisa kabur dari masalah hanya dengan menjadi preman? Kau masih anak-anak, Ren!"
Ren menoleh ke belakang, tatapannya lelah. "Aku bukan kabur. Aku mencari tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri. Dan setidaknya, di sana, mereka tahu cara mendengarkan. Bukan hanya berteriak."
Ia tidak menunggu jawaban. Ia naik ke kamarnya, mengunci pintu, dan membiarkan punggungnya merosot di balik pintu. Ia tidak menangis. Pemimpin Shadow tidak menangis.
Ren mengeluarkan selembar uang hasil kemenangannya tadi. Uang itu lusuh, tapi nyata. Sama nyatanya dengan janji yang ia tanamkan pada dirinya sendiri. Jika ia tidak bisa memperbaiki rumahnya, ia akan membangun bentengnya sendiri di luar sana. Benteng yang terbuat dari baja, roda, dan kesetiaan yang tak akan pernah ia temukan dalam darahnya sendiri.
Meskipun ia adalah Ketua Shadow di jalanan, di balik semua kulit dan rantai itu, Ren hanyalah seorang gadis 18 tahun yang sedang mencoba menyambung serpihan dirinya, satu per satu, dengan kecepatan penuh. Dan besok, ia akan kembali ke jalanan. Setidaknya, di sana, ia tahu ke mana ia harus melaju.