Ada tempat yang sebaiknya tidak dikunjungi dua kali.
Villa Ardana adalah salah satunya.
Berdiri di atas bukit yang diselimuti kabut, villa itu dulunya milik keluarga bangsawan lama.
Sejak 1989, villa itu kosong. Dindingnya ditelan lumut, dan suara angin di sela atap sering terdengar seperti bisikan.
Orang-orang kampung bilang villa itu menyimpan kenangan yang tak boleh diganggu.
Malam itu, delapan anak muda datang, tanpa tahu bahwa mereka akan membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap diam.
Siang hari, Raka membuka ponselnya dan mengusulkan liburan.
“Udah lama kita nggak liburan, sekalian reuni kecil-kecilan bro!” tulisnya di grup chat.
ketujuh temannya — Gio, Bimo, Zaki, Aldi, Dafa, Reno, dan Nando — setuju dengan semangat.
Raka paling heboh, bahkan ia sampai meminjam mobil ayahnya untuk liburan kali ini
“Villa Ardana ini punya keluarga gue, tapi udah lama kosong. Lumayan buat healing,” katanya.
Perjalanan santai. Lagu-lagu lama mengisi kabin, tawa bercampur deru mesin.
Semua bercanda, kecuali Zaki yang kadang diam menatap jendela.
“Lo kenapa diem aja, Zak?” tanya Nando.
“Ah nggak kenapa kenapa, cuma ngantuk aja” jawab Zaki.
Yang lainnya tidak terlalu menghiraukan dan tetap bercanda selama perjalanan.
Sore itu mereka akhirnya sampai di villa. Bangunannya besar, tapi muram.
Cat putihnya berubah abu-abu kusam, beberapa jendela retak. Di gerbang, papan tua yang ditutupin oleh daun daun yang sudah mulai panjang namun tetap terlihat yang bertuliskan “Villa Ardana, 1989.”
“Serem juga ya,” kata Reno sambil keluarkan kamera.
“Serem apaan, keren kali,” balas Zaki.
“Nih orang kalau malem pasti minta tidur bareng.” ucap Gio dengan nada tengil.
Semua ketawa.
Malamnya, mereka makan mi instan di ruang tengah.
Raka bawa minuman, Gio cerita masa SMA. Semuanya kembali akrab.
Malam itu rasanya sangat hangat, persahabatan mereka kembali seperti masa sekolah
Sekitar jam sebelas, angin kencang. Raka menyuruh semua tidur.
Bimo turun ambil air, sempat melihat sesuatu di gudang kecil.
“Halo? Apakah ada orang?” tanyanya.
Tidak ada yang menjawab, hanya suara angin dan derit pintu. Bimo segera kembali ke kamarnya.
Pagi datang, mereka sarapan dan foto-foto di depan villa.
Gio pamit sebentar ke belakang villa untuk cari sinyal.
Jam makan malam tiba, Gio belum kembali.
Sepatu Gio ditemukan di dekat sumur tua.
“Ini serius, Rak. Dia nggak mungkin ninggalin gini,” kata Nando.
Raka bingung, semua mulai panik.
Semua teman mencoba tenang dan membantu mencari.
Keesokan harinya, mereka menyebar mencari Gio.
Di gudang, gelang merah ditemukan di lantai.
Semua merasa tegang, tapi tidak ada yang menunjukkan perilaku mencurigakan.
Zaki tetap terlihat berbeda — sering menatap orang lain dan tersenyum tipis — membuat pembaca mulai curiga padanya.
Raka mulai menyadari ketegangan, tapi mencoba menenangkan semua orang.
Aldi tetap santai, membantu teman-temannya seperti biasa.
Hujan deras turun. Bimo sulit tidur, merasa tegang karena hilangnya Gio.
Mereka semua gelisah.
Tidak ada yang tahu siapa pelaku sebenarnya
Keesokan paginya, Bimo ditemukan tak sadarkan diri di tangga belakang villa.
Semua panik. Zaki lagi-lagi terlihat berbeda bagi pembaca, tapi semua teman tetap bingung.
Raka dan teman-temannya mencoba menghubungi polisi, tapi sinyal mati.
Aldi tetap calm, membantu sebisa mungkin, tetap seperti teman normal lainnya.
Tiga hari di villa terasa seperti sebulan.
Satu per satu mereka kehilangan akal sehat.
Reno menulis catatan di kamera, Dafa jatuh dan pingsan saat mencoba kabur.
Raka dan Nando mulai saling menuduh.
Zaki tetap terlihat mencurigakan bagi pembaca, tapi tidak ada karakter lain yang tahu pelaku sebenarnya.
Beberapa minggu kemudian, tragedi Villa Ardana tersebar.
Tiga orang meninggal, dua hilang.
Polisi tidak menemukan pelaku sebenarnya.
Yang tersisa hanya trauma dan rasa bersalah.
Villa tetap diam, sunyi di kejauhan, menyimpan rahasia yang hanya bisa ditebak pembaca.
“Mereka pikir villa itu berhantu… padahal ketakutan itu lahir dari kegelapan dalam diri manusia sendiri,” pikir pembaca, menyadari plot twist subtil.