🌞🌞🌞
Lima tahun telah berlalu sejak Lili menamai tokonya Sepotong Waktu.
Kini, toko kecil itu tidak lagi sepi. Setiap pagi, antrean pelanggan sudah mengular di depan pintu kayu berwarna krem yang mulai kusam. Anak-anak sekolah datang membeli roti cokelat favorit mereka, sementara ibu-ibu rumah tangga memesan roti gandum hangat untuk sarapan keluarga.
Lili tak pernah menyangka, tempat sederhana yang dulu hanya berisi harapan dan tepung kini menjadi bagian dari kehidupan banyak orang.
Namun di balik senyum dan keberhasilan itu, Lili tahu: hidup tidak pernah berhenti menguji.
Ibunya semakin renta. Tubuhnya lemah, napasnya pendek, tapi wajahnya masih menampakkan kebanggaan setiap kali melihat Lili pulang membawa roti hangat.
“Roti buatanmu selalu wangi, Li,” katanya suatu sore, “aromanya seperti doa yang naik ke langit.”
Lili hanya tersenyum. Ia tak tahu bagaimana menjawab. Dalam diam, ia memeluk ibunya, takut suatu hari aroma itu tak lagi bisa dinikmati bersama.
---
Suatu malam, saat sedang menutup toko, datanglah seorang lelaki muda membawa jas hujan yang masih meneteskan air. Namanya Arga. Ia seorang jurnalis dari kota besar yang kebetulan singgah di sana untuk meliput kisah usaha kecil yang bertahan di masa sulit.
Ia berkata dengan senyum ramah,
“Saya dengar roti di sini punya cerita, bukan sekadar rasa.”
Lili tersenyum malu. “Mungkin benar. Tapi saya tak pandai bercerita. Saya hanya tahu bagaimana membuat adonan jadi lembut.”
Arga tertawa kecil. Ia menulis tentang Lili, tentang toko itu, dan tentang filosofi “hidup yang mengembang karena panas.”
Artikel itu kemudian dipublikasikan di surat kabar dan dunia maya. Tak disangka, toko kecil di sudut kota itu menjadi viral. Banyak orang datang dari jauh hanya untuk mencicipi “roti yang punya makna.”
---
Namun, seperti roda yang berputar, hidup tidak pernah memberi kebahagiaan tanpa sedikit kehilangan.
Suatu pagi, ibunya berpulang.
Tanpa tangis yang keras, tanpa kata perpisahan panjang. Hanya keheningan dan bau roti yang baru matang di udara.
Lili menatap tubuh ibunya yang tenang di ranjang, sementara dari dapur, suara lonceng oven berbunyi.
Suara itu, yang dulu menandakan roti siap dihidangkan, kini terdengar seperti lonceng kepergian.
Hari-hari setelah itu terasa hampa. Ia tetap membuka toko, tapi setiap adonan terasa berbeda. Rasa manisnya berkurang, seolah sebagian dari jiwanya ikut pergi bersama ibunya.
Arga sering datang, diam-diam membantu di toko tanpa banyak bicara. Ia tahu Lili tidak butuh hiburan, hanya kehadiran yang tulus.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di depan toko menatap senja, Arga berkata,
“Mungkin rasa kehilangan itu takkan hilang, Li. Tapi seperti roti, kita bisa mencampurnya dengan hal lain—hingga jadi sesuatu yang lebih hangat.”
Lili menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tersenyum tulus.
“Iya, mungkin hidup memang tak bisa dibuat tanpa sedikit rasa asin,” katanya pelan.
---
Beberapa bulan kemudian, Sepotong Waktu mulai berkembang. Ia membuka cabang kecil di kota sebelah, tapi tetap mempertahankan toko lama itu—sebagai kenangan.
Setiap pagi, sebelum membuka pintu toko, Lili selalu menyalakan oven dan berdoa pelan,
“Untuk semua yang telah pergi, dan semua yang masih tinggal.”
Ia tahu, hidup akan terus berubah. Akan ada kehilangan lain, kebahagiaan baru, dan rasa yang datang silih berganti. Tapi seperti roti yang selalu dipanggangnya setiap hari, Lili percaya:
Selama ada waktu dan ketulusan, kehidupan akan selalu punya rasa yang tak pernah hilang.