Harmoni di Atas Roda
Mentari pagi masih malu-malu menampakkan sinarnya di balik bukit saat dua remaja, Aris dan Rio, sudah sibuk di halaman belakang rumah Aris. Mereka sedang mengerjakan proyek rahasia: memperbaiki sepeda tua peninggalan kakek Aris yang sudah karatan.
Aris, si jangkung yang cekatan dengan kunci inggris, menyeka keringat di dahinya. "Sedikit lagi, Yo. Rantai ini harus benar-benar terpasang sempurna," ujarnya penuh tekad.
Rio, yang lebih pendek dan gempal namun tak kalah semangat, mengangguk sambil memegang bagian roda belakang. "Siap, Bos! Pokoknya sebelum lomba Agustusan nanti, sepeda ini harus bisa ngebut."
Bagi Aris dan Rio, sepeda ini bukan sekadar alat transportasi. Sepeda ini adalah simbol mimpi mereka untuk memenangkan lomba balap sepeda hias tahunan di desa mereka. Hadiahnya memang tidak seberapa, hanya sebuah piala bergilir dan beberapa bingkisan. Namun, gengsi dan kebanggaan bisa mengalahkan tim "Elang Hitam" yang selalu menang tiga tahun berturut-turut, itu yang utama.
"Kita harus menang kali ini, Yo. Biar mereka tahu kalau kerja keras itu bisa ngalahin sepeda impor mereka," kata Aris.
Rio tertawa. "Setuju! Sepeda tua kita ini akan jadi juara sejati."
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan kerja keras. Tak jarang tangan mereka lecet terkena oli, atau baju mereka kotor penuh debu. Mereka belajar memperbaiki rem yang macet, mengganti jeruji yang patah, dan mengecat ulang rangka sepeda dengan warna biru cerah. Mereka juga mulai berlatih setiap sore, menyusuri jalan setapak di pinggiran sawah.
Saat hari perlombaan tiba, desa terlihat meriah. Tim Elang Hitam, dengan sepeda gunung yang mengkilap dan perlengkapan lengkap, menatap remeh sepeda biru milik Aris dan Rio yang terlihat sederhana.
"Yakin sepeda butut itu bisa jalan, Ris?" ledek salah satu anggota Elang Hitam.
Aris hanya tersenyum tenang. "Kita lihat saja nanti."
Bunyi peluit start terdengar nyaring. Semua peserta langsung mengayuh sekuat tenaga. Di tikungan pertama, Aris dan Rio sempat tertinggal. Namun, Aris yang sudah hafal setiap jengkal jalan setapak itu, berhasil mengambil jalur pintas yang lebih cepat.
Di tengah perjalanan, tantangan datang. Roda depan sepeda mereka sempat oleng karena menghantam lubang tersembunyi. Rio hampir terjatuh, tapi Aris berhasil menjaga keseimbangan. Mereka tidak menyerah. Dengan sisa tenaga, mereka mengayuh lebih cepat lagi, menyalip satu per satu peserta di depan mereka.
Garis finis sudah di depan mata. Tim Elang Hitam sudah jauh di depan. Namun, karena terlalu sombong dan mengebut di turunan, salah satu dari mereka malah terjatuh. Kesempatan emas! Aris dan Rio memanfaatkan momen itu. Dengan sorakan semangat dari warga desa, mereka melaju kencang dan...
Priiit!
Mereka berhasil menyentuh garis finis di posisi pertama!
Warga bersorak menyambut kemenangan mereka. Aris dan Rio berpelukan, wajah mereka belepotan oli dan keringat, tapi mata mereka berbinar bahagia. Mereka berhasil membuktikan bahwa dengan kerja keras, semangat pantang menyerah, dan persahabatan yang kuat, mereka bisa meraih impian mereka, meskipun hanya dengan "Harmoni di Atas Roda", sepeda tua yang penuh kenangan dan perjuangan.