Di tengah gemuruh Jakarta yang tak pernah berhenti, Kanaya berdiri di balkon apartemen kecilnya yang sempit, di lantai empat sebuah bangunan tua di kawasan Tanah Abang. Angin malam yang membawa aroma bensin dan kopi dingin membelai rambut panjangnya yang hitam pekat. Usianya baru 22 tahun, namun di balik sorot mata cokelatnya yang indah, terpancar sebuah kegelisahan dan ambisi yang membara. Ia adalah mahasiswi semester akhir jurusan desain grafis di Universitas Bina Nusantara, salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di ibu kota.
Kehidupan Kanaya jauh dari kata mewah. Orang tuanya di sebuah desa terpencil dekat Semarang, Jawa Tengah, hanya mampu mengirimkan uang bulanan sebesar dua juta rupiah. Jumlah itu nyaris tak cukup untuk menutupi biaya kuliah, sewa kamar kos yang dibagi dengan dua teman lainnya, serta kebutuhan makan dan transportasi di kota metropolitan yang kejam ini. Setiap bulan, tagihan-tagihan selalu mengintai, membuat Kanaya harus memutar otak mencari uang tambahan. Ia bekerja paruh waktu sebagai barista di kafe kampus, sesekali menerima proyek desain freelance yang honornya tak seberapa. Namun, itu semua hanya cukup untuk bertahan hidup, bukan untuk menikmati hidup.
Kanaya bukan tipe gadis yang pasrah pada nasib. Sejak kecil, ia terpaku pada layar televisi dan media sosial, melihat gemerlap kehidupan para sosialita, liburan mewah, tas-tas desainer, dan makan malam di restoran-restoran berkelas yang hanya bisa ia impikan. Teman-teman kampusnya sering memamerkan foto-foto liburan ke Bali, tas branded (meskipun seringkali KW super), atau makan malam di restoran-restoran di Plaza Indonesia. "Kenapa harus terus-terusan berhemat kalau hidup ini cuma sekali?" gumamnya suatu malam, sambil terus menggulirkan feed Instagram yang penuh dengan kemewahan. Ia ingin merasakan "bersenang-senang" yang sebenarnya bukan sekadar cukup makan, tapi menikmati kebebasan finansial yang memungkinkan dirinya melakukan apa pun yang ia mau.
Pada suatu malam yang terasa dingin dan sepi, setelah pulang dari shift barista yang melelahkan dan nyaris tanpa tip, Kanaya membuka laptop tuanya yang sudah berulang kali diservis. Ia mengetikkan kata kunci "cara cepat dapat uang untuk mahasiswa" di kolom pencarian Google. Di antara berbagai hasil yang muncul, sebuah artikel tentang "sugar dating" menarik perhatiannya. Sebuah komunitas online di mana wanita muda seperti dia, sering disebut "sugar baby", bisa bertemu dengan pria kaya dan mapan, yang dikenal sebagai "sugar daddy", untuk hubungan saling menguntungkan seringkali mencakup dukungan finansial, hadiah mewah, dan companionship.
Dengan jantung berdebar kencang, Kanaya memutuskan untuk mencobanya. Ia tahu ada risiko, teman-temannya pernah memperingatkan tentang penipuan atau hubungan yang tidak sehat. Tapi ia mencoba meyakinkan diri sendiri, "Ini hanya sementara. Aku cuma butuh uang untuk bersenang-senang, untuk merasakan hidup yang lebih baik." Kanaya membuat akun di "Sweet Connections", sebuah platform sugar dating yang populer di kalangan mahasiswa di kota-kota besar. Ia mengunggah beberapa foto profil satu selfie dengan senyum polos di taman kampus, satu lagi di kafe dengan gaun murah tapi ia padu padankan agar terlihat stylish. Di kolom bio, ia menulis singkat namun menggoda "Mahasiswi desain yang suka petualangan manis dan hal-hal indah dalam hidup. Mencari teman yang bisa membuat hari-hari lebih cerah dan penuh inspirasi. No drama, just fun and mutual respect."
Tak perlu menunggu lama, hanya dalam dua hari, kotak masuk pesannya sudah penuh. Ada yang terang-terangan vulgar, ada yang mencoba sopan tapi terkesan memaksa. Namun, ada satu pesan yang langsung menarik perhatian Kanaya, dari seorang pria bernama Alexander Winata. Profilnya premium, menunjukkan bahwa dia adalah anggota VIP. Pria berusia 35 tahun, tertera sebagai CEO PT Winata Properties, sebuah perusahaan real estat terkemuka yang bertanggung jawab atas pembangunan beberapa pusat perbelanjaan mewah dan gedung perkantoran pencakar langit di Jakarta Selatan. Foto profilnya sederhana namun berkarisma: hitam-putih, menyoroti wajah tegas dengan rahang yang kuat, mata sipit yang tajam namun meneduhkan, dan senyum tipis yang penuh misteri. Rambutnya dipotong rapi, menunjukkan citra profesionalisme. Deskripsi dirinya singkat namun powerful: "Pengusaha yang mencintai seni, arsitektur, dan kehidupan berkualitas. Mencari muse yang inspiratif untuk berbagi keindahan dunia." Pesan pertamanya pada Kanaya: "Hai Kanaya, portofolio desain grafis di bio-mu sangat menarik. Saya Alex. Mungkin kita bisa minum kopi sambil ngobrol tentang seni dan kemungkinan kolaborasi?"
Kanaya tersenyum lebar, jemarinya menari di keyboard laptopnya yang usang. Mereka mulai saling berbalas pesan malam itu juga, berlanjut hingga dini hari. Mereka membahas berbagai topik mulai dari film indie favorit, tren terbaru dalam desain grafis, hingga mimpi-mimpi besar Kanaya untuk memiliki studio desain sendiri. Alexander terdengar dewasa, percaya diri, dan yang mengejutkan Kanaya, sama sekali tidak sombong. Ia bercerita sekilas tentang perusahaannya yang sedang berekspansi ke Bali, membangun sebuah resor mewah di tepi pantai. Kanaya merasa istimewa; seorang pria sekaliber Alexander Winata jarang sekali "memperhatikan" gadis biasa seperti dirinya. Setelah beberapa kali bertukar pesan dan panggilan suara singkat, akhirnya mereka menyepakati untuk bertemu di akhir pekan.
Pada hari Sabtu sore, Kanaya mempersiapkan diri dengan sangat hati-hati. Ia meminjam gaun hitam sederhana dari teman sekamarnya, Rina, yang panjangnya pas di lutut dan menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping. Untuk melengkapi penampilannya, ia memoles wajahnya dengan makeup tipis eyeliner tipis yang membingkai mata indahnya, lipstik merah muda yang lembut, dan semprotan parfum murah yang ia beli di online shop. Dengan jantung berdebar seperti genderang perang, ia memesan ojek online menuju La Table, sebuah kafe mewah di Senayan City.
Alexander sudah menunggunya di sebuah meja di pojok kafe, mengenakan kemeja linen putih yang lengan bajunya digulung rapi, celana chino berwarna gelap, dan sepatu loafers cokelat yang mengkilap. Jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya berkilau indah di bawah cahaya lampu gantung kafe. Saat Kanaya mendekat, Alexander berdiri, menyunggingkan senyum hangat, dan mencium pipinya dengan sopan ala Eropa. "Kamu jauh lebih cantik dari fotomu. Senang sekali bisa bertemu langsung denganmu, Kanaya," katanya dengan suara dalam yang memiliki aksen khas Jakarta kelas atas.
Mereka memesan latte dan croissant. Obrolan mengalir begitu saja, tanpa canggung. Alexander bertanya banyak tentang kuliah Kanaya, tentang proyek desain terbarunya sebuah poster kampanye lingkungan yang ia buat untuk tugas akhir. "Kamu punya bakat yang luar biasa, Kanaya. Kenapa tidak mencoba freelance lebih serius? Aku yakin banyak perusahaan yang tertarik," tanyanya, matanya menatap intens, penuh minat. Kanaya tertawa pelan, sedikit malu, lalu menceritakan tentang keterbatasan peralatannya, laptopnya yang tua, dan kurangnya koneksi. Alexander mengangguk penuh pengertian. "Aku paham, Kanaya. Hidup di kota ini memang keras dan mahal. Tapi percayalah, aku juga dulu memulai dari nol. Dari seorang sales properti kecil-kecilan, sampai akhirnya bisa membangun perusahaan seperti sekarang." Ia berbagi cerita tentang perjalanan bisnisnya ke Singapura, di mana ia harus bernegosiasi kontrak besar sambil menikmati pemandangan Marina Bay Sands. Kanaya mendengarkan dengan penuh kekaguman, membayangkan dirinya suatu hari nanti bisa berada di posisi itu.
Saat matahari mulai terbenam di ufuk barat, Alexander membayar tagihan makanan mereka. hanya sekitar 300 ribu rupiah, namun ia memberikan tip 200 ribu rupiah lagi kepada pelayan. Di tempat parkir, ia menawarkan untuk mengantar Kanaya pulang dengan Mercedes-Benz hitam mengkilapnya. Perjalanan 30 menit menuju Tanah Abang terasa begitu singkat, diisi dengan obrolan ringan dan tawa renyah. Saat berhenti tepat di depan apartemen Kanaya, Alexander meraih tangannya dengan lembut. "Ini untukmu, Kanaya. Anggap saja sebagai apresiasi atas obrolan kita yang menyenangkan hari ini." Ia menyelipkan sebuah amplop tebal ke telapak tangan Kanaya. Di kamarnya, Kanaya membuka amplop itu—di dalamnya ada lima juta rupiah tunai, disertai sebuah catatan kecil bertuliskan "Sampai jumpa lagi. Alex." Malam itu, Kanaya tidak bisa tidur. Ia belanja online sepuasnya—sepasang sepatu baru, beberapa produk skincare mahal, dan bahkan sebuah buku inspiratif tentang desain. Rasanya seperti mimpi yang jadi kenyataan.
Hubungan mereka berkembang begitu cepat setelah pertemuan pertama itu. Alexander mulai menghubungi Kanaya hampir setiap hari, kadang mengirim pesan singkat "Selamat pagi, muse" di pagi hari, atau "Mau dinner malam ini?" di sore hari. Pertemuan kedua mereka adalah di sebuah spa mewah di Hotel Mulia. Alexander memesan paket couple massage, dan setelahnya, mereka menikmati hidangan sushi lezat di restoran Jepang eksklusif di sana. Tak lama kemudian, Alexander membelikan Kanaya tas Gucci mini pertamanya seharga 20 juta rupiah yang membuat teman-temannya terheran-heran saat Kanaya pamer di grup WhatsApp. "Dari mana duit sebanyak itu, Kan?" tanya Rina dengan nada curiga. Kanaya hanya tersenyum misterius, "Freelance-ku lagi beruntung, kok."
Pada akhir pekan berikutnya, Alexander mengajak Kanaya ke penthouse miliknya di kawasan SCBD, jantung distrik bisnis elit Jakarta. Sebuah lift pribadi membawa mereka langsung ke lantai 45. Pintu otomatis terbuka ke sebuah ruang tamu super luas dengan sofa kulit Italia yang mewah, dinding kaca setinggi langit-langit yang menawarkan pemandangan spektakuler kota Jakarta di malam hari. Ada kolam renang infinity di balkon, sebuah bar mini yang dipenuhi wine impor, dan bahkan sebuah studio mini untuk melukis. "Selamat datang di rumahku, Kanaya," kata Alexander sambil membuka sebotol Dom Perignon, sampanye mahal dari Prancis. Mereka duduk di balkon, angin malam yang hangat menerpa wajah mereka. Kanaya merasa seperti berada di negeri dongeng. Alexander bercerita tentang masa lalunya: perceraian dua tahun lalu karena perbedaan visi dengan mantan istrinya, dan bagaimana ia kini fokus pada bisnis namun merasa kesepian. Kanaya pun berbagi cerita tentang masa kecilnya di desa, bagaimana ia membantu orang tuanya memanen padi, dan mimpinya untuk menjadi desainer terkenal di Jakarta. "Kamu membuatku ingat mengapa aku mencintai hidup ini, Kanaya," kata Alexander, tangannya menggenggam tangan Kanaya dengan lembut. "Kamu membawa warna baru ke dalam hidupku."
Malam itu, setelah makan malam romantis yang ia siapkan sendiri steak wagyu dengan salad organik suasana di penthouse menjadi semakin hangat dan intim. Mereka pindah ke sofa ruang tamu, dengan alunan musik jazz lembut dari Miles Davis mengisi ruangan. Alexander menuangkan wine merah ke dalam gelas, matanya yang gelap menatap Kanaya dengan tatapan penuh hasrat. "Kamu tahu, Kanaya, aku tidak hanya mencari companionship. Aku ingin lebih dari itu bersamamu," bisiknya. Kanaya mengangguk, merasakan pipinya memanas. Ciuman pertama mereka dimulai dengan lembut, bibir Alexander menyentuh bibir Kanaya dengan kehangatan. Namun, ciuman itu cepat berubah menjadi lebih dalam dan penuh gairah. Tangan Alexander menarik pinggang Kanaya, mendekatkannya ke tubuhnya. Kanaya membalas ciumannya, tangannya meraba dada Alexander yang keras di balik kemejanya.
Perlahan, mereka beranjak menuju kamar tidur utama. Sebuah ruangan luas yang gelap, hanya diterangi oleh lampu tidur redup di samping tempat tidur king-size dengan seprai sutra putih dan bantal-bantal empuk. Alexander mengangkat Kanaya dengan mudah tubuhnya yang atletis dari latihan rutin di gym dan membaringkannya dengan lembut di atas ranjang. Gaun hitam Kanaya tergelincir dari tubuhnya, memperlihatkan lingerie lace hitam yang ia beli khusus untuk kesempatan ini. "Kamu benar-benar indah, Kanaya," bisik Alexander, suaranya parau saat ia mulai mencium leher Kanaya, turun ke bahunya. Tangan Kanaya dengan gemetar membuka kancing kemeja Alexander, merasakan otot-otot perutnya yang keras. Kini, mereka telanjang, kulit mereka saling bersentuhan di bawah semilir AC.
Alexander adalah kekasih yang penuh perhatian dan sensual. Ciumannya memanjang di dada Kanaya, tangannya telusuri paha dalamnya, membuat Kanaya menggeliat dan mengerang pelan. "Santai saja, biar aku yang mengurusmu," katanya lembut, mata mereka saling bertemu, penuh hasrat. Kemudian, ia memposisikan dirinya di atas Kanaya, masuk dengan perlahan, memberi waktu Kanaya untuk menyesuaikan diri. Ritme mereka dimulai dengan lambat, napas mereka saling berkejaran, keringat mulai membasahi kulit. Kanaya meremas punggung Alexander yang lebar, merasakan gelombang kenikmatan yang tak tertahankan naik ke seluruh tubuhnya. Alexander mempercepat ritme, erangan mereka mengisi ruangan, puncak kenikmatan datang bersamaan sebuah ledakan sensasi yang membuat Kanaya gemetar dalam pelukannya. Mereka rebah, berpelukan erat, napas tersengal. "Itu... sungguh luar biasa," bisik Alexander, mencium keningnya. Kanaya hanya bisa tersenyum, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar transaksi ia merasakan sebuah ikatan yang nyata.
Pagi harinya, Kanaya terbangun dengan aroma kopi dan pancake. Sarapan sudah tersaji di tempat tidur: omelet, buah-buahan tropis, dan jus segar. Alexander duduk di sampingnya, tersenyum. Setelah sarapan, ia menunjukkan transfer uang di ponselnya 10 juta rupiah ke rekening Kanaya. "Untuk akhir pekan kita," katanya, lalu menambahkan, "Ini bukan bayaran, Kanaya. Ini bentuk dukunganku untuk semua mimpimu." Kanaya mulai melihat Alexander bukan lagi hanya sekadar "sugar daddy", melainkan seorang teman, mentor, dan kekasih yang tulus. Alexander bahkan membantunya mendesain logo untuk salah satu proyek perusahaannya, memberikan Kanaya bayaran freelance yang sesungguhnya.
Hubungan mereka pun semakin mendalam. Mereka sering bepergian ke luar kota. Akhir pekan di Bandung, menginap di villa pegunungan dengan jacuzzi pribadi. Di sana, adegan intim mereka menjadi lebih santai dan penuh kasih sayang. Setelah trekking ringan di hutan pinus, mereka mandi bersama di bathtub air panas. Busanya menutupi tubuh mereka, Alexander menggosok punggung Kanaya dengan lembut, ciuman basah berpindah dari bibir ke leher, lalu ke perut Kanaya. Kanaya duduk di pangkuannya, air memercik ke mana-mana saat mereka bergerak, tangan Alexander memegang pinggulnya dengan kuat. "Lebih cepat," bisik Kanaya, dan Alexander mematuhinya, membuat air di bathtub bergejolak seperti ombak. Puncaknya datang di balkon villa, di bawah taburan bintang, diselimuti selimut tebal angin malam yang dingin justru menambah sensasi. "Aku sangat mencintaimu," bisik Alexander setelahnya, membuat hati Kanaya meleleh.
Perjalanan ke Bali menjadi titik balik penting. Alexander memesan sebuah villa pribadi di Ubud dengan pemandangan sawah hijau yang menakjubkan. Hari-hari mereka dihabiskan dengan yoga pagi, sesi spa yang menenangkan, dan malam-malam romantis yang tak terlupakan. Suatu sore, setelah berenang di kolam infinity, Alexander menarik Kanaya ke kamar tidur terbuka yang dihiasi kelambu putih. Tubuh mereka masih basah oleh air kolam, aroma garam laut masih menempel di kulit. Ia membaringkan Kanaya di tempat tidur kayu jati, dan ciumannya yang mendesak berpindah dari bibir ke leher, lalu turun ke seluruh tubuhnya. Lidahnya yang ahli menjelajahi setiap inci kulit Kanaya, membuat Kanaya melengkungkan punggungnya, mengerang pelan. Lalu, Alexander mengubah posisi, membiarkan Kanaya berada di atas ia bergerak pelan, merasakan kontrol, rambut basahnya menempel di dada Alexander. Ritme mereka semakin cepat, suara ombak di kejauhan seolah mengiringi tarian cinta mereka, hingga akhirnya mereka mencapai klimaks bersamaan, terengah-engah dalam pelukan satu sama lain. "Kamu telah membuat hidupku lengkap, Kanaya," kata Alexander, matanya berkaca-kaca. Kanaya membalas, "Kamu juga, Alex. Ini adalah kebahagiaan yang sesungguhnya."
Tentu saja, tidak semua perjalanan mereka mulus. Ada kerikil-kerikil kecil. Kanaya sempat khawatir karena Alexander terlalu sibuk dengan pekerjaannya, membuat ia seringkali absen kuliah dan nilai-nilainya sedikit menurun. Namun, mereka belajar untuk berkomunikasi secara terbuka. "Aku takut semua ini hanya sementara, Alex," kata Kanaya suatu malam, suaranya bergetar. Alexander memeluknya erat, "Tidak, Kanaya. Aku serius denganmu. Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku." Ia juga dengan jujur menceritakan masa lalunya yang kelam di dunia sugar dating, namun menegaskan bahwa semua itu berubah sejak Kanaya hadir. Kanaya pun menceritakan kekhawatirannya pada Rina, teman sekamarnya. "Dia berbeda, Rin. Dia benar-benar peduli padaku," katanya meyakinkan. Rina hanya bisa mendukung, "Selama kamu bahagia, Kanaya."
Konflik kecil lainnya muncul saat sebuah pesta bisnis Alexander di sebuah hotel bintang lima. Kanaya merasa canggung dengan gaun sequin merahnya, merasa seperti sekadar "aksesori" yang dipamerkan. Alexander tampak dingin dan berjarak saat bernegosiasi dengan para kliennya. Namun, di mobil dalam perjalanan pulang, ia mencium Kanaya dengan penuh gairah. Mereka berhenti di sebuah gang sepi di kawasan Sudirman, dan di kursi belakang mobil mewah itu, gaun Kanaya tersibak, sentuhan lembut Alexander memenuhi setiap inci tubuhnya. Gerakan mereka selaras, erangan-erangan kebahagiaan memenuhi mobil, dan semuanya berakhir dengan tawa renyah. "Kamu sepenuhnya milikku, Kanaya," bisik Alexander, penuh kepemilikan.
Puncak ujian datang ketika suatu hari, Kanaya menemukan sebuah pesan lama di ponsel Alexander yang tertinggal. Pesan dari seorang wanita bernama "Lia": "Daddy, aku kangen. Kapan ke Jakarta lagi? Mau yang lebih panas." Kanaya merasakan dunia runtuh. Ia konfrontasi Alexander. "Ini apa, Alex? Apa aku hanya salah satu dari koleksimu?" Alexander tampak terkejut, namun dengan cepat ia memeluk Kanaya. "Itu adalah masa lalu, Kanaya. Semua itu terjadi sebelum aku bertemu denganmu. Sejak kamu hadir, tidak ada wanita lain." Ia menunjukkan riwayat pesannya, menghapus semua kontak lama, dan berjanji akan selalu setia. Kanaya, melihat ketulusan di mata Alexander, percaya. Sejak saat itu, kepercayaan mereka tumbuh semakin kuat.
Satu tahun kemudian, Kanaya lulus kuliah dengan predikat *cum laude*. Dengan dukungan penuh dari Alexander bukan sekadar uang, melainkan juga mentor dan koneksi ia berhasil membuka studio desainnya sendiri yang bernama "Kanaya Designs". Kini, mereka tinggal bersama di penthouse Alexander, dan telah merencanakan pernikahan sederhana nan intim pada musim semi mendatang. Mereka melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia, bukan lagi sekadar bersenang-senang, melainkan untuk mencari inspirasi dan membangun masa depan bersama. Di Paris, di sebuah hotel butik dengan jendela yang langsung menghadap Menara Eiffel, ciuman panjang mereka terasa penuh cinta, dan ritme intim mereka diselimuti oleh romantisme kota cahaya.
Kanaya berdiri di balkon penthouse mereka, memeluk Alexander dari belakang, menatap gemerlap Jakarta yang kini terasa begitu berbeda. "Kita benar-benar bahagia sekarang, ya Alex?" bisiknya. Alexander membalikkan badan, mencium bibirnya dengan lembut. "Selamanya, Kanaya. Selamanya."
Hubungan mereka telah berkembang dari sebuah transaksi manis menjadi sebuah cinta sejati yang dalam dan abadi. Kanaya tidak hanya mendapatkan uang untuk bersenang-senang, tetapi ia juga menemukan kebahagiaan sejati dalam sebuah hubungan yang penuh kasih, dukungan, dan pengertian.
TAMAT