Bagian I: Rumah Kaca Keluarga Paramesti
Rumah Keluarga Paramesti berdiri di atas tebing, arsitekturnya didominasi oleh panel-panel kaca tebal yang menawarkan pemandangan Laut Jawa yang membentang. Ironisnya, rumah yang dibangun dari transparansi itu adalah tempat bersemayam rahasia paling gelap.
Malam itu, dinginnya udara laut tidak sebanding dengan kedinginan di ruang makan. Bagas Paramesti, sang Patriark, ditemukan tewas. Kursi makannya terbalik, pisau perak tergeletak tak jauh dari tangannya, dan setetes darah mengering di lantai marmer putih, seperti tanda tanya yang mematikan.
Empat anggota keluarga duduk di ruang tamu, terbungkus selimut keheningan dan kecurigaan, sementara Inspektur Surya memimpin timnya di sekitar jenazah.
Arini Paramesti, janda mendiang. Rambutnya disanggul rapi, tatapannya kosong, tetapi jari-jari tangannya mencengkeram lengan sofa berludru dengan kekuatan yang tidak wajar. Ia adalah ahli waris utama, namun juga wanita yang telah menderita di bawah kontrol Bagas selama tiga puluh tahun.
Dion, putra sulung. Seorang pengusaha yang gagal, ia berutang besar pada ayahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Matanya yang gelisah terus melirik ke arah pisau di lantai.
Lia, putri tunggal. Ia tampak paling rapuh, matanya bengkak karena tangisan. Lia adalah satu-satunya yang pernah berani menentang Ayahnya, dan ia baru saja pulang dari luar negeri setelah pertengkaran hebat mengenai warisan neneknya.
Pak Jaya, supir keluarga yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun. Ia hanya berdiri di sudut, tubuhnya membungkuk, wajahnya menyembunyikan ekspresi yang tak terbaca. Ia adalah mata dan telinga rahasia keluarga Paramesti.
Inspektur Surya, seorang pria paruh baya yang telah melihat cukup banyak kejahatan keluarga, tahu pasti: di rumah seperti ini, pelakunya tidak akan pernah datang dari luar.
"Nyonya Arini," suara Surya berat, memecah keheningan. "Apa yang terjadi setelah makan malam?"
Arini menarik napas panjang. "Bagas... suamiku... dia pergi ke ruang kerja. Aku pergi ke kamar untuk minum obat tidur. Anak-anak ada di kamar masing-masing. Hanya itu."
"Apakah ada pertengkaran sebelum kejadian?"
Dion dengan cepat menyela, "Tidak, Inspektur. Ayah tampak sangat tenang malam ini."
Lia mendengus samar, yang hanya disadari oleh Surya.
"Nona Lia?"
Lia mengangkat wajahnya, air mata kembali menggenang. "Ayah... Ayah tidak pernah tenang. Dia baru saja mengumumkan bahwa dia akan mengubah surat wasiatnya besok pagi. Dia bilang, dia akan mendonasikan sebagian besar saham perusahaan ke badan amal yang tidak jelas, hanya untuk memastikan kami tidak mendapatkan apa-apa."
Pengakuan itu seperti petir. Wajah Dion seketika menegang, kemarahannya yang tertahan kini terlihat. Arini hanya memejamkan mata, menghela napas pasrah. Motivasi telah terungkap.
"Siapa yang paling marah mendengar hal itu?" tanya Surya.
Keheningan kembali pekat. Semua tahu jawabannya, tapi tak ada yang mau menunjuk.
Bagian II: Jejak di Balik Transparansi
Surya memerintahkan agar setiap ruangan digeledah. Ia sendiri menuju dapur, tempat kejadian yang sesungguhnya harus dianalisis. Pisau perak yang ditemukan di lantai bukan pisau dapur. Itu adalah pisau ukir kecil milik Bagas, benda yang sering ia gunakan untuk mengukir pipa rokoknya.
Di bawah meja makan, tim forensik menemukan goresan samar, seolah ada benda berat yang diseret. Lebih menarik lagi, di dekat goresan itu, mereka menemukan sepotong kecil kertas yang terlipat rapi di bawah karpet. Kertas itu adalah sobekan dari resep obat, tertulis nama: Dr. Haris, Psikiater.
Surya membawa kertas itu kembali ke ruang tamu. "Siapa yang pernah berobat ke Dr. Haris?"
Kali ini, Dion yang memimpin. "Lia. Lia punya masalah kecemasan setelah pertengkarannya dengan Ayah dua bulan lalu. Dia baru saja kembali."
Lia menggeleng keras. "Itu sudah lama! Dan kertas itu bukan milikku! Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku ke sana."
"Kau tahu, Lia," Dion menyeringai sinis, "kau adalah satu-satunya yang berada di bawah tekanan terbesar. Kau butuh uang warisan untuk melunasi utang suamimu, 'kan?"
"Jangan bicara omong kosong, Dion! Kau sendiri yang berutang pada Ayah!" balas Lia, air mata kini berganti amarah.
Arini tiba-tiba berdiri. "Cukup! Bagas... dia pernah mengancam akan mengirim Dion ke penjara jika dia tidak melunasi utangnya bulan ini. Dan dia mengancam akan mencabut semua fasilitas Lia. Ayah kalian adalah orang yang kejam, Inspektur. Siapa pun di antara kami bisa melakukannya."
Kejujuran Arini yang tiba-tiba membuat suasana semakin suram. Surya merasakan ada lapisan yang semakin mengelupas.
"Pak Jaya," Surya beralih ke supir tua itu. "Anda berada di mana saat Tuan Bagas meninggal?"
"Saya di pos penjagaan, Tuan. Tapi saya sempat melihat Tuan Bagas di taman sekitar pukul sembilan. Beliau sedang bicara di telepon."
"Dengan siapa?"
"Saya tidak tahu. Tapi beliau terdengar... marah. Lalu, tidak lama kemudian, saya melihat Nona Lia keluar dari gerbang dengan mobilnya."
Mata semua orang tertuju pada Lia.
Lia panik. "Aku... aku keluar sebentar untuk mencari udara segar. Aku hanya berkendara di sepanjang pantai, lalu kembali. Aku tidak membunuh Ayah!"
Bagian III: Bayangan di Sudut
Surya kembali ke tempat kejadian perkara. Ia tidak tertarik pada pisau ukir kecil itu. Pisau ukir itu adalah barang yang terlalu jelas, terlalu mudah menjadi kesimpulan. Ia kembali fokus pada goresan di lantai dan goresan yang lebih dalam di meja kayu mahoni yang tak tersentuh oleh darah.
"Peralatan apa yang terakhir digunakan Tuan Bagas di meja ini, selain untuk makan?" tanya Surya pada Arini, yang kini menemaninya, tampak lebih tenang.
"Pipa rokoknya, dan cangkir teh. Lalu... itu," Arini menunjuk ke pojok meja. Sebuah kotak kecil dari kayu cendana. "Itu kunci brankas kecilnya. Dia selalu meletakkan di sana. Dia sedang menyusun dokumen penting malam ini."
Surya memperhatikan kotak kunci itu. Ada sedikit sidik jari samar di atasnya, tapi itu tidak penting. Ia kemudian melihat ke sudut ruangan, ke arah lemari pajangan yang penuh dengan piring porselen antik. Lemari itu tampak miring, sedikit tidak sejajar.
"Tolong, pindahkan lemari ini," perintah Surya pada dua petugas.
Ketika lemari dipindahkan, dinding kaca di belakangnya menampakkan sebuah retakan vertikal yang panjang dan tersembunyi. Retakan itu tidak disebabkan oleh benturan, melainkan tekanan dari dalam.
"Tuan Bagas tidak dibunuh di meja makan," ujar Surya dingin, menatap Arini. "Ia terluka di sini, di dekat lemari ini, kemudian ia berusaha kembali ke meja makannya, merangkak, dan meninggal di sana."
Arini memandang retakan di dinding kaca. Matanya membesar.
"Lalu, apa yang membuat tembok kaca ini retak?" Surya menatap Arini, menembus kebohongannya. "Bukan pisau ukir. Itu terlalu kecil."
Arini tersentak, air matanya jatuh. "Itu... itu sebuah patung. Patung perunggu kecil yang sangat Ayah sayangi. Dia memukulkannya ke kepala Ayah saat bertengkar."
"Siapa?"
Arini menggeleng kuat. "Aku tidak tahu! Mereka bertengkar hebat. Aku hanya mendengar teriakan, lalu suara benturan keras. Aku takut, aku langsung lari ke kamar dan berpura-pura tidur."
"Mengapa Anda tidak mengatakan ini sebelumnya, Nyonya?"
"Aku... aku takut anakku yang melakukannya!" isaknya. "Aku ingin melindungi mereka. Aku tidak melihat siapa pun!"
Bagian IV: Membuka Brankas, Menemukan Kebenaran
Surya kembali ke ruang tamu, membawa kunci kotak cendana. Ia memanggil Dion, Lia, dan Pak Jaya.
"Tuan Bagas dibunuh dengan benda berat, bukan pisau ukir. Benda itu mungkin Patung Perunggu, kini hilang," kata Surya. "Sekarang, kita buka brankasnya. Dokumen yang ia susun sebelum meninggal adalah petunjuk terakhir."
Brankas kecil itu tersembunyi di balik lukisan potret Bagas. Di dalamnya, terdapat setumpuk dokumen dan satu amplop cokelat tebal.
Dokumen pertama adalah surat wasiat baru. Bagas benar-benar mengubahnya, tetapi isinya jauh lebih mengejutkan daripada sekadar mendonasikan saham: Ia mencabut semua warisan dari Dion dan Lia, dan menyerahkan kendali perusahaan kepada Pak Jaya, sang supir. Alasannya, Pak Jaya adalah satu-satunya yang terbukti jujur dan setia padanya.
Dion ambruk di sofa, wajahnya hancur. Lia menangis tersedu-sedu. Pak Jaya, yang kini menjadi pewaris jutaan dolar, tampak kaget, namun tatapannya tetap tenang.
Surya mengambil amplop cokelat. Di dalamnya, ada berkas medis tebal dan sebuah foto lama. Berkas medis itu adalah hasil tes DNA yang dilakukan Bagas secara diam-diam.
Surya membaca kesimpulannya keras-keras: "Hasil tes menunjukkan bahwa Tuan Dion Paramesti dan Nona Lia Paramesti... bukanlah anak kandung Tuan Bagas Paramesti."
Ruangan itu terdiam. Arini menjerit, menutup wajahnya.
"Suamiku tahu," bisik Arini. "Dia tahu aku berselingkuh bertahun-tahun yang lalu. Dia baru saja menerima hasilnya minggu lalu, dan berniat mempermalukan kami semua di muka umum besok pagi."
Semua orang kini memiliki motif pembunuhan yang jauh lebih kuat: rasa malu, penghinaan publik, dan hilangnya segalanya.
Bagian V: Sang Bayangan
Surya menatap Pak Jaya. Supir yang kini kaya raya itu masih memegang wasiat.
"Pak Jaya," Surya berkata, nadanya sangat tenang. "Anda mengatakan Tuan Bagas sedang menelepon dengan marah sebelum meninggal. Dan Patung Perunggu itu hilang."
Pak Jaya mengangkat wajahnya. "Saya memang melihat Tuan Bagas marah. Tapi saya tidak melihat patungnya, Tuan."
Surya kemudian beralih ke Lia. "Nona Lia, Anda bilang Anda mencari udara segar, tapi mobil Anda tidak ada noda debu, padahal jalan pantai baru saja disiram hujan. Anda tidak pergi ke pantai."
Lia gemetar. "Aku... aku kembali ke rumah, Inspektur. Aku mendengar suara benturan keras. Aku melihat Ayah tergeletak di dekat lemari pajangan. Di tangannya, dia memegang Patung Perunggu. Dia mencoba memukul... Pak Jaya."
Semua mata tertuju pada Pak Jaya.
"Tuan Bagas mengamuk," lanjut Lia, terbata-bata. "Dia menuduh Pak Jaya yang membantu Ibu menutupi perselingkuhannya dulu. Dia memukul Pak Jaya dengan patung itu, tapi Pak Jaya mengelak."
Surya menatap Pak Jaya. "Patung itu dipukulkan ke Bagas oleh Bagas sendiri, karena ia marah pada Anda, bukan? Dan Anda, Pak Jaya, hanya membela diri, merebut patung itu, dan mengembalikannya ke tempat seharusnya."
Pak Jaya perlahan menggeleng. "Saya tidak membunuhnya, Tuan."
Surya berjalan ke arah Pak Jaya. Ia meraih kerah kemeja supir itu. "Di mana Patung Perunggu itu? Anda menyembunyikannya untuk membuat pembunuhan terlihat seperti perampokan atau pertengkaran keluarga biasa. Tapi Anda tidak tahu bahwa wasiat itu sudah ada."
Pak Jaya tetap diam. Surya menunduk, melihat ke bawah sepatu Pak Jaya.
"Di mana lagi tempat terbaik untuk menyembunyikan sesuatu di Rumah Kaca, Pak Jaya? Tentu saja di bawah lantai, tempat yang sudah Anda kenal selama dua puluh tahun."
Surya menyuruh tim forensik mengangkat karpet di dekat pos penjagaan, tempat Pak Jaya berdiri. Di sana, tertutup lapisan tipis debu, ada goresan baru yang lebih halus di lantai marmer.
Mereka mengangkat satu panel marmer. Di bawahnya, terbungkus kain beludru hitam, tersembunyi Patung Perunggu.
Pak Jaya Paramesti, sang supir yang kini mendadak menjadi pewaris, akhirnya ambruk ke lututnya.
"Bukan Patung itu yang membunuhnya, Tuan," bisik Pak Jaya, air matanya membasahi lantai marmer. "Dia ingin mempermalukan Nyonya Arini. Dia selalu mempermalukan keluarga ini. Tapi dia juga Ayah saya yang sebenarnya. Lima tahun lalu, dia bilang dialah Ayahku. Malam itu, dia mengatakan dia akan bunuh diri dengan meminum racun di ruang kerjanya. Tapi sebelum itu, dia ingin memberiku warisan agar aku bisa hidup layak, dan untuk menghukum mereka semua. Aku... aku hanya mencegahnya. Kami bergumul. Aku tidak sengaja mendorongnya ke dinding kaca saat dia mencoba meminum racun itu. Kepalanya terbentur. Aku ketakutan, lalu aku menyembunyikan patung itu untuk membuatnya terlihat seperti perkelahian."
"Lalu, pisau ukir itu?" tanya Surya.
"Aku... aku meletakkannya di sana, untuk membuat orang berpikir dia sedang mengukir, lalu dibunuh," lirih Pak Jaya.
Surya memejamkan mata. Bukan sekadar pembunuhan, tapi tragedi dari rahasia keluarga yang tersembunyi. Patung Perunggu itu tidak membunuh Bagas, justru tekanan dari kebenaran yang terungkaplah yang membunuhnya—seorang ayah biologis yang mencoba memperbaiki kesalahannya di menit-menit terakhir, dan seorang anak kandung yang mencoba menyelamatkan ayahnya dari aksi bunuh diri yang memalukan.
Di Rumah Kaca yang tembus pandang, semuanya akhirnya terlihat jelas. Tembok kaca telah runtuh, meninggalkan kepingan kebenaran yang tajam dan menyakitkan.