Wulan berdiri di tepi jembatan tua, menatap bulan purnama yang tenggelam di balik awan. Angin malam membisikkan rahasia di telinganya, tapi Wulan tidak mendengarnya. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, membiarkan kenangan tentang dia memenuhi benaknya.
Dia mengingat saat-saat mereka berjalan berdua di taman yang rindang, saat-saat mereka berbagi cerita dan tawa. Wulan merasakan getaran di hatinya, seperti ada benang yang menariknya ke arah dia. Tapi benang itu kini telah putus, meninggalkan Wulan dengan luka yang tak kunjung sembuh.
Wulan menulis puisi di atas air sungai, membiarkan kata-kata mengalir seperti air yang mengalir. "Kau adalah senja yang tak pernah berakhir, malam yang tak pernah berakhir. Aku terjebak di dalamnya, tak bisa melarikan diri."
Tapi senja itu telah berakhir, dan malam telah tiba. Wulan sendirian di jembatan tua, menatap ke dalam kegelapan. Dia tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa memiliki dia, bahwa dia telah memilih jalan lain.
Wulan menutup matanya, membiarkan air matanya mengalir. Dia merasakan sakit yang tak terperi, seperti hatinya sedang diiris-iris. "Aku akan mencintaimu selamanya," dia berbisik ke dalam angin. "Tapi kau tidak akan pernah tahu."
****