Bab I – Cermin yang Tidak Memantulkan
Pagi itu datang seperti biasa: tanpa suara, tanpa arti.
Samsa duduk di tepi ranjang dan memandangi dirinya di cermin kecil yang menempel di dinding kamar. Ia tahu yang ia lihat di sana hanyalah bayangan, tapi bayangan itu tidak lagi terasa miliknya. Wajah itu seperti topeng yang meniru dirinya dengan sangat baik—terlalu baik, sampai ia tak tahu siapa yang lebih nyata.
“Apakah aku masih manusia?” bisiknya pelan.
Pertanyaan itu tidak dijawab siapa pun. Bahkan cermin pun menolak mengembalikan tatapannya. Permukaannya kusam, seolah lelah melihatnya setiap hari.
Di luar, dunia berjalan seperti mekanisme jam yang tua: orang-orang melangkah, berbicara, tertawa. Semuanya terasa otomatis. Samsa memperhatikan dari jendela kecil, seperti seorang penonton yang lupa cara ikut berperan.
Ia tak tahu kapan perasaan itu mulai tumbuh—perasaan terpisah dari segalanya.
Sore hari, ia berjalan keluar. Langit seperti lembaran abu yang membentang tanpa ujung. Di tikungan jalan, ia bertemu Sophie Amundsen, gadis berambut pirang yang menatapnya dengan mata bening penuh rasa ingin tahu.
“Kau tampak seperti seseorang yang kehilangan sesuatu,” kata Sophie.
Samsa hanya mengangguk. “Mungkin aku kehilangan diriku sendiri.”
Sophie tersenyum samar. “Jangan khawatir. Banyak orang hidup tanpa tahu siapa mereka, tapi mereka masih bisa tertawa.”
Samsa ingin menjawab, tapi kata-kata itu terasa sia-sia. Ia melangkah pergi, meninggalkan senyum Sophie menggantung di udara.
Malam turun dengan sunyi yang aneh. Di kamar, Samsa kembali duduk di depan cermin. Tapi kali ini, sesuatu berubah. Dari balik pantulan, ada suara lembut, hampir seperti bisikan.
“Aku tidak jahat, Samsa. Aku hanya jujur.”
Samsa terdiam. Bibirnya bergerak, tapi bukan ia yang mengendalikan.
“Siapa kau?”
Suara itu tertawa pelan.
“Aku adalah bayanganmu yang tidak pernah kau lihat.”
Cermin bergetar seolah hidup. Bayangan di dalamnya menatapnya dengan mata yang sama, tapi kosong—benar-benar kosong. Samsa memundurkan langkah, namun tidak bisa berpaling.
“Aku sudah lama di sini,” kata suara itu lagi.
“Kau hanya sibuk menjadi manusia yang mereka inginkan. Sekarang saatnya aku mengambil alih.”
Lampu kamar berkelip. Bayangan di cermin mulai memudar, berganti gelap pekat seperti lubang yang menelan cahaya.
Samsa menutup matanya, tapi suara itu tetap terdengar, menembus kesadarannya yang rapuh:
“Mulai sekarang, kita tidak akan punya nama.”
Dan untuk pertama kalinya, Samsa merasa damai dalam kehampaan.
Bab II – Suara yang Menyebut Namamu
Pagi datang lagi, tapi cahaya tidak terasa hangat.
Samsa terbangun dengan kepala berat, seolah malam tadi ia hidup di dua dunia yang saling bertabrakan. Di sisi tempat tidurnya, ada secarik kertas yang tidak ia kenali. Tulisan tangan halus di atasnya berbunyi:
“Jika kau mendengar suaranya lagi, jangan takut. Itu bukan setan. Itu bagian dari dirimu yang lapar.”
—H.M.
Ia menggenggam kertas itu erat. Siapa H.M.? Greta? Hilde Møller? Ia tak mengenal mereka, namun nama-nama itu seperti pernah melewati pikirannya — seperti gema masa lalu yang bukan miliknya.
Langkah kakinya membawanya keluar kamar. Lorong rumahnya kini terasa asing; dinding-dindingnya tampak lebih tinggi, lebih sempit. Ketika ia melangkah ke ruang tamu, televisi menyala sendiri, menampilkan wajah seorang pria berkacamata bulat.
“Selamat pagi, Samsa.”
“Siapa kau?”
“Nama tidak penting. Tapi banyak orang memanggilku Knox.”
Wajah di layar tersenyum, namun senyum itu tidak tulus. “Aku di sini untuk membimbingmu. Dunia sudah lama tidak nyata, Samsa. Kau hanya belum sadar.”
Sebelum Samsa sempat menjawab, televisi padam.
Dalam pantulan layarnya yang hitam, ia melihat sekilas bayangan lain — seseorang berdiri di belakangnya. Saat menoleh, tak ada siapa pun.
Hari-hari berikutnya terasa kabur. Sophie sering muncul di jalanan, tapi setiap kali Samsa mencoba berbicara, suaranya tenggelam dalam dengungan. Greta Lawrence, perempuan dengan mantel panjang abu-abu, sesekali mengikutinya dari jauh. Ia selalu membawa buku catatan kecil, mencatat setiap gerakan Samsa tanpa alasan jelas.
Suatu sore, Samsa memberanikan diri bertanya.
“Kenapa kau mengikutiku?”
Greta menatapnya, datar.
“Karena aku ingin tahu kapan kau berhenti jadi manusia.”
Samsa terdiam.
Greta tersenyum kecil. “Jangan khawatir. Semua orang akan sampai di titik itu. Hanya saja… sebagian orang menolak mendengarkan suaranya.”
Di malam keempat, suara itu kembali. Tapi kali ini tidak dari cermin — melainkan dari dalam dirinya.
“Samsa…”
“Kau tahu siapa aku.”
“Aku lapar, tapi bukan pada makanan. Aku lapar pada arti.”
Samsa berlutut, memegangi kepala. Bayangan yang dulu hanya muncul di cermin kini berdiri di tengah kamar, nyata.
Wajahnya sama persis, tapi matanya tenang — terlalu tenang.
“Aku sudah menunggu saat ini,” kata bayangan itu.
“Kau hidup dengan nama, pekerjaan, harapan, cinta, tapi semua itu topeng. Aku tidak butuh nama. Aku ingin jadi kebenaran.”
Samsa mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat.
“Kalau kau kebenaran… kenapa aku takut?”
Bayangan itu tersenyum.
“Karena kau masih ingin jadi manusia.”
Saat itu juga, dunia di sekelilingnya retak. Cermin-cermin di kamar pecah tanpa disentuh. Dari setiap pecahan muncul sosok-sosok lain: Sophie, Greta, Knox, bahkan sosok asing berjas putih dengan tatapan tajam — Heisenberg.
Mereka tidak berbicara, tapi suara mereka menggema di kepala Samsa seperti doa yang salah sebut nama Tuhan.
“Semuanya hanya probabilitas,” ucap Heisenberg.
“Kau tidak pernah satu. Kau selalu banyak.”
Samsa menutup matanya. Ketika ia membukanya kembali, ia sudah tidak tahu lagi siapa yang berdiri di tengah ruangan itu — dirinya, atau monster tanpa nama yang akhirnya lepas dari cermin.