Pagi itu, langit tampak suram. Di sebuah gang kecil di pinggiran kota, seorang anak bernama Rafi berjalan tergesa-gesa sambil membawa kantong plastik berisi roti sisa dari toko tempat ia bekerja paruh waktu.
Rafi baru berusia 13 tahun, namun sudah harus membantu ibunya yang sakit sakitan. Ayahnya telah lama meninggalkan mereka. Setiap hari sepulang sekolah, ia bekerja di toko roti agar bisa membawa pulang makanan untuk ibunya.
Di perjalanan, Rafi melihat seorang nenek duduk di pinggir jalan, menggigil, menatap kosong ke arah orang-orang yang berlalu tanpa peduli. Di tangannya, terdapat secarik kertas bertuliskan, “Saya lapar.”
Rafi berhenti. Ia menatap kantong plastik di tangannya — isi terakhir yang seharusnya ia bawa untuk ibunya. Hatinya bergetar. “Kalau aku kasih, Ibu nanti makan apa?” pikirnya.
Namun saat menatap wajah sang nenek, hatinya tak kuasa. Dengan perlahan, ia membuka kantong plastik itu.
“Nek, ini ada sedikit roti. Semoga bisa mengganjal perut,” katanya sambil tersenyum.
Nenek itu menatap Rafi dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu.”
Rafi hanya tersenyum. Ia tahu ibunya pasti juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya.
Sesampainya di rumah, ibunya menyambutnya dengan batuk kecil. “Rafi, kamu sudah makan?” tanya ibunya.
Rafi tersenyum, menggeleng. “Sudah. Aku bawakan roti buat Ibu, tapi tadi ada nenek kelaparan. Jadi Rafi kasih roti itu buat dia.”
Sang ibu memeluk anaknya erat. “Nak, kamu sudah melakukan hal yang benar. Kadang, rezeki tak hanya datang dari makanan, tapi juga dari hati yang tulus.”
Malam itu, meski perutnya lapar, Rafi tidur dengan damai. Di luar, langit yang muram perlahan menjadi terang oleh cahaya bulan yang lembut. Seolah ikut tersenyum untuknya.
Keesokan paginya, mentari muncul malu-malu di balik sisa awan. Rafi kini tampak lebih ceria. Setiap pagi, ia membantu ibunya menyiapkan sarapan sederhana dari bahan-bahan yang diberikan oleh nenek dan cucunya. Ajaibnya, wajah ibunya perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Batuknya tak sesering dulu dan senyumnya kini kembali mekar seperti mentari pagi yang menembus jendela kecil rumah mereka.
Setiap kali Rafi melihat ibunya tersenyum, hatinya terasa penuh. Ia sadar, semua keajaiban yang terjadi berawal dari satu hal kecil: sepotong roti yang ia berikan dengan hati tulus.
Saat hendak berangkat sekolah, Rafi berhenti di depan toko roti tempat ia bekerja. Ia menatap papan nama toko itu yang sudah mulai pudar warnanya. Dalam hati, ia berjanji akan membantu lebih lama hari itu karena Pak Darto sudah seperti ayah sendiri baginya.
Namun, sebelum sempat melangkah masuk, sebuah mobil berhenti di depan toko dan turunlah seorang wanita muda bersama seorang nenek tua. Nenek itu terlihat jauh lebih sehat kini, bahkan membawa tongkat baru dan mengenakan pakaian yang rapih.
“Rafi!” panggil Dinda sambil tersenyum lebar. “Kami jarang sekali bisa ketemu kamu lagi.”
Rafi menjawab keduanya dengan sopan, “Wah, nenek kelihatan segar sekali sekarang.”
Nenek itu tertawa kecil. “Iya, Nak. Semua berkat kebaikanmu waktu itu. Saya jadi belajar bahwa kebaikan merangkai bisa datang dari mana saja, bahkan dari anak sekecil kamu.”
Rafi menunduk malu. “Saya cuma membantu sedikit aja yang saya punya.”
Dinda lalu berkata, “Nenek sering cerita tentang kebaikanmu. Karena itu kami mau menawarkan sesuatu. Nenek dan toko butik ingin kamu bekerja di sana, jujur saja kami membutuhkan orang yang jujur dan beradab seperti kamu.”
Rafi pun tertegun dan merasa senang campur aduk memikirkan hal itu, lalu berkata, “Tapi aku cuma remaja kecil dan aku belum punya pengalaman.” Lalu nenek itu membalas, “Pengalaman bisa dibentuk, Rafi, namun orang berhati besar susah untuk dibentuk dan sangat jarang orang seperti kamu.”
Rafi pun tersadar dan mulai berpikir, mungkin ini saatnya ia berproses membentuk diri demi menghidupi ibunya. Lalu Rafi pun mengiyakan dan mulai bekerja minggu depan.
Dan Rafi pun pulang lalu menceritakan kejadian itu ke ibunya. Namun ia kaget melihat ibunya sakit parah. Ibunya mulai kambuh dan ia pun lari menggoreng ibunya sambil menangis. “Ibu!!, Ibu sakit lagi, ya. Sebentar saya ambilin obat!” Ibunya membalas, “Tak usah repot-repot, Ibu bangga, bagaimana dengan pekerjaanmu, Nak?” Rafi pun membalas dengan suara bergetar, “Aku dapat pekerjaan baru Bu, aku bekerja di toko roti nenek yang saya tolong waktu itu.” Ibunya pun terbuka-lebar lalu membalas, “Ibu bangga denganmu Nak, jangan pernah lelah untuk berbuat baik ya. Anakmu pun memeluk ibunya dan berharap semoga ibuku ini cepat sembuh agar dapat melihat aku sukses nanti.”
Minggu depannya Rafi mulai bekerja di toko roti yang dibicarakan, tentunya dengan gaji. Hari berganti hari Rafi mulai menekuni. Pekerjaannya mulai dari: membuat roti, membersihkan toko, serta melayani pelanggan.
Nenek dan cucunya Dinda pun bangga dan melihat bahwa Rafi sangat cepat dalam berproses. Nenek itu pun menghampirinya dan berkata, “Rafi, kamu telah melakukan yang terbaik. Suatu hari kamu akan berdiri di toko ini milikmu sendiri.”
Rafi pun mengerti dan mulai untuk membuat toko sendiri. Untuk berjualan roti kecil-kecilan. Hari berganti-hari Rafi pun mulai punya penghasilan sendiri dan mempunyai cabang toko roti cukup besar. Ia pun merasa senang dengan pencapaian yang ia terima. Lalu ia teringat dengan ibunya yang sedang sakit dan bergegas pulang.
Lalu pintu terbuka pelan dan Rafi pun melihat ibunya yang terbaring tidak berdaya. Ibunya telah dipanggil Tuhan karena penyakitnya. Rafi pun terkejut lalu ia menangis keras dan bergegas panggil ibunya. Ia pun berlutut lalu berdoa. Rafi pun berkata, “Ya Tuhan jika tenaga ku membenciku maka aku akan selalu berdoa untuk ibuku.”
Ia pun bergegas ambil bantal kecil lalu memeluk ibunya yang terbaring di ranjang. Lalu tiba-tiba Rafi menangis histeris. “Ibu! Kenapa disaat aku sudah sukses engkau malah meninggalkanku!” Banyak orang — orang menangis dan memeluk Rafi untuk menyuruhnya ikhlas dan tabah, namun ia masih tidak terima dengan apa yang terjadi.
Nenek pemilik kios pun datang menghampiri Rafi dan berkata, “Tugas ibumu di dunia ini telah selesai dan sudah waktunya ia balik ke Sang Pencipta. Saya yakin ibumu tak ingin kau menangis seperti ini, namun melalui kematiannya engkau harus tetap maju menjalankan hidup, dan ingat bahwa ibumu akan selalu hidup di hatimu.”
Rafi pun tersadar dan mengerti bahwa ibunya tidak akhir melainkan awal untuk selalu berproses.
Ia pun menghampiri ibunya dan memberikan sepotong roti kepadanya lalu berkata, “Ibu mungkin dengan sepotong roti ini membangunkan setiap kebaikan yang engkau beri. Mungkin hanya ini yang dapat saya kasih, karena tidak ada yang dapat menggantikan kebaikanmu. Dan ingatlah Bu, aku akan tetap menjadi seorang anakmu yang merindukanmu.”