Hujan turun pelan sore itu, menempel di kaca jendela kamar Nara. Ia duduk di lantai, memeluk lutut, menatap keluar tanpa ekspresi. Dari sekolah hingga rumah, tak ada yang menyapanya. Teman-temannya sibuk bermain, sementara ia selalu duduk sendiri di pojok taman, menunggu seseorang — siapa saja — untuk sekadar berkata “hai.”
Tapi tak ada yang datang.
Rumahnya pun tak banyak berbeda. Ibunya pulang larut, ayahnya sering tak ada kabar. Keheningan menjadi teman akrabnya setiap malam. Namun malam itu, sesuatu berubah.
Saat lampu kamar meredup, Nara melihat bayangan hitam di dinding. Ia mengira itu bayangannya sendiri… sampai bayangan itu bergerak lebih dulu.
Jantungnya berdegup cepat.
“Nara…” bisik suara lirih, nyaris seperti napas.
Anak itu menoleh, tapi tak ada siapa pun. Hanya gelap yang menempel di tembok, seolah hidup.
“Aku bisa jadi temanmu,” suara itu terdengar lagi, lembut tapi dingin. “Aku tahu rasanya sendirian.”
Nara menelan ludah. Anehnya, ia tidak lari.
“Teman?” tanyanya pelan.
Bayangan itu bergoyang, membentuk senyum samar di permukaan dinding.
“Ya. Aku akan selalu di sini. Bersamamu.”
Malam demi malam berlalu. Nara mulai terbiasa. Ia bermain petak umpet dengan bayangan itu, menggambar bersama, bahkan bercerita tentang sekolah. Ia tak lagi merasa sepi — tapi semakin sering bayangan itu muncul, semakin gelap kamar Nara terasa. Cahaya lampu seperti enggan menyentuhnya.
Suatu malam, saat Nara tertidur, ia terbangun karena mendengar bisikan di telinganya.
“Aku tak suka mereka menatapmu,” kata bayangan itu.
“Siapa?”
“Anak-anak di sekolah. Mereka tak pantas jadi temanmu. Hanya aku yang mengerti kamu.”
Nada suaranya berubah tajam. Nara ketakutan, tapi tak berani membantah.
Keesokan harinya, Nara mencoba berbicara dengan seorang teman sekelas. Tapi begitu ia tersenyum, bayangan hitam itu muncul di lantai kelas, bergoyang marah. Suara dingin bergaung di kepalanya:
“Janji padaku… kau tak akan bicara dengan mereka lagi.”
Nara menjerit. Anak-anak lain hanya melihatnya menangis tanpa alasan.
Malam itu, ia menyalakan semua lampu di kamarnya. Tapi bayangan itu tetap ada, menempel di bawah kakinya.
“Nara,” suaranya kini berat dan putus asa, “jangan tinggalkan aku. Aku satu-satunya yang peduli padamu.”
Nara menatapnya dengan air mata mengalir.
“Terima kasih… tapi aku ingin teman yang nyata. Aku ingin hidup di bawah cahaya.”
Bayangan itu terdiam. Perlahan bentuknya mulai pudar, seperti asap terbakar cahaya.
“Satu hal yang harus kau tahu,” katanya pelan sebelum menghilang, “bayangan tidak pernah benar-benar pergi… selama ada cahaya.”
Keesokan paginya, Nara berangkat sekolah dengan langkah ragu. Tapi kali ini, ia menyapa teman di sebelahnya. Anak itu tersenyum, dan untuk pertama kalinya, Nara merasa hangat.
Namun ketika matahari sore menurun dan cahaya menembus jendela kelas, Nara menoleh sekilas ke lantai.
Tepat di bawah kakinya, bayangannya tersenyum
-----------------------------------------------
“Kadang kita menciptakan bayangan untuk menutupi sepi. Tapi ketika kita berani menatap dunia lagi, barulah kita tahu—cahaya tidak pernah benar-benar pergi, ia hanya menunggu kita membuka hati.”
By: Ridho