Malam itu, kamar terasa sesak. Bukan karena kecil, tapi karena pikiranku sendiri yang terlalu ramai. Bayangan dari lampu belajar menari di dinding, seolah ikut menertawakan semua keresahan yang belum sempat aku lepaskan. Aku menatap jendela tirainya bergoyang pelan, tertiup angin yang datang entah dari mana. Di luar sana, udara pasti lebih bebas. Tapi entah kenapa, dadaku tetap terasa sempit.
Kadang aku pengen banget keluar. Bukan cuma dari kamar ini, tapi juga dari semua hal yang bikin aku ngerasa terjebak. Suara orang-orang yang nyuruh aku harus begini, harus begitu. Tatapan yang menilai, komentar yang datang tanpa diminta. Aku pengen teriak, tapi suaraku sering berhenti di tenggorokan. Akhirnya cuma bisa diam, sambil pura-pura kuat.
Dulu, aku sering ngebayangin jadi burung. Burung kecil yang bisa terbang ke mana pun, nggak peduli arah angin. Tapi makin aku tumbuh, aku sadar, ternyata nggak semua yang punya sayap bisa bebas. Kadang, dunia nggak kasih ruang buat kita terbang. Sangkarnya bukan dari besi, tapi dari kata-kata dan harapan orang lain yang terlalu berat buat dipikul.
“Kenapa kamu nggak pernah ngelawan?” tanya seorang teman waktu itu. Aku cuma senyum. Nggak semua hal bisa dijelasin, kan? Kalau aku ngomong pun, belum tentu mereka mau denger. Jadi aku milih diam. Diam, tapi bukan berarti pasrah. Aku cuma belum tahu caranya melepaskan diri dari semua ini.
Malam-malam seperti ini selalu datang tanpa diundang. Saat semuanya hening, cuma suara angin yang menemani, pikiranku jadi liar ke mana-mana. Tentang impian yang dulu aku punya, tentang diriku yang dulu berani bermimpi besar. Sekarang rasanya kayak sayapku dilipat paksa, dan aku lupa gimana caranya terbang lagi.
Tapi malam itu beda. Ada sesuatu yang kecil tapi kuat di dalam diri. Kayak api kecil yang menolak padam. Aku buka jendela pelan-pelan. Angin malam langsung menyapa, dingin tapi jujur. Langit hitam penuh bintang, dan aku sadar, di atas sana, ada dunia yang luas menunggu. Dunia yang nggak peduli seberapa rusak sayapku asal aku berani mencoba.
Aku duduk di meja, lalu mulai nulis. Bukan nulis buat orang lain, tapi buat diriku sendiri. Nggak peduli kalimatnya berantakan, nggak peduli siapa yang baca nanti. Aku cuma pengen jujur. Tentang rasa takut, luka, kecewa, tapi juga tentang harapan yang diam-diam masih ada di sudut hati. Kata demi kata keluar, kayak air yang akhirnya nemuin jalan setelah lama tertahan.
Dan waktu aku berhenti, aku sadar sayapku nggak hilang. Cuma dilipat terlalu lama. Mungkin aku belum bisa langsung terbang, tapi aku udah berani ngebuka satu helai. Rasanya ringan, tapi juga menegangkan. Tapi ya, begitulah rasanya saat kita mulai percaya lagi pada diri sendiri.
Aku tahu besok pagi semuanya nggak langsung berubah. Dunia tetap sama, orang-orang tetap bicara sesukanya. Tapi aku juga tahu, sekarang aku nggak sepenuhnya diam lagi. Aku punya caraku sendiri buat melawan: lewat tulisan, lewat langkah kecil, lewat keberanian yang tumbuh pelan-pelan.
Malam itu aku ngelihat ke langit lama banget. Aneh, tapi aku ngerasa kayak langit lagi nunggu aku. Nunggu aku siap, nunggu aku percaya kalau aku juga pantas terbang. Dan malam itu aku janji, suatu hari nanti, aku bakal sampai ke sana. Mungkin nggak sekarang, mungkin butuh waktu lama, tapi aku akan terbang juga.
Langit yang menungguku itu luas, tapi aku tahu jalannya ke sana dimulai dari dini dari keberanian kecil untuk membuka jendela dan bilang pada diri sendiri: “Aku bisa.” Dan mungkin, itu awal dari segalanya.
Sekarang aku nggak lagi takut dengan masa lalu. Luka-luka itu udah bukan rantai, tapi bagian dari perjalanan. Dari semua rasa sakit, aku belajar apa artinya bertahan. Dari semua kehilangan, aku belajar menghargai yang tersisa. Dan dari diam yang dulu mengekang, aku akhirnya nemuin suara yang selama ini hilang. Aku tahu, suatu hari nanti, aku akan benar-benar terbang. Mungkin sayapku belum sempurna, tapi langit itu masih menungguku sabar, tenang, dan luas seperti harapan yang nggak pernah padam.
Sejak malam itu, aku mulai terbiasa menulis setiap malam. Kadang cuma satu kalimat pendek, kadang berlembar-lembar cerita tanpa arah. Tapi tiap kali pena menyentuh kertas, ada bagian dari diriku yang sembuh sedikit demi sedikit. Tulisan-tulisan itu bukan cuma kata, tapi juga potongan kecil dari hatiku yang berusaha pulih.
Aku mulai mengenali lagi diriku sendiri. Aku yang dulu suka menatap hujan dari balik jendela, bukan karena sedih, tapi karena merasa tenang. Aku yang dulu gampang ketawa atas hal-hal kecil, sebelum dunia menuntut untuk selalu serius. Ternyata aku nggak hilang — aku cuma tertimbun oleh kebisingan yang bukan milikku.
Pagi-pagi setelah malam panjang itu, aku keluar rumah lebih awal. Langit masih keunguan, sisa embun nempel di dedaunan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa pengen lihat matahari terbit. Saat sinarnya pelan-pelan muncul dari balik pepohonan, aku cuma bisa senyum kecil. Ada sesuatu yang sederhana tapi berarti seolah alam juga ngasih tahu, “Lihat, bahkan matahari pun mulai dari kegelapan.”
Hari-hariku nggak tiba-tiba jadi mudah. Aku masih harus berhadapan dengan orang-orang yang suka mengatur, komentar yang nyakitin, dan ekspektasi yang bikin capek. Tapi sekarang aku punya cara baru buat ngadepinnya. Aku nggak lagi ngerasa harus selalu nurut, atau selalu membuktikan sesuatu. Aku cuma pengen jadi diriku sendiri meski itu berarti berjalan pelan, bahkan kalau harus sendirian dulu.
Kadang aku masih jatuh juga. Ada malam-malam di mana aku ngerasa balik lagi ke titik nol, ngerasa kecil dan nggak berdaya. Tapi aku nggak nyalahin diri sendiri lagi. Karena sekarang aku tahu, proses sembuh itu bukan garis lurus. Ada mundur, ada berhenti, tapi juga ada langkah kecil yang kadang nggak kelihatan, tapi nyata.
Satu malam, aku nemuin buku lama di laci meja. Di dalamnya ada gambar burung yang pernah aku gambar waktu kecil. Sayapnya besar, warnanya aneh karena waktu itu aku asal warnain pakai spidol. Tapi di bawahnya, aku tulis kalimat kecil: “Suatu hari aku akan terbang tinggi.” Aku ngelihat tulisan itu lama banget. Rasanya kayak ketemu versi kecil diriku yang dulu percaya pada hal-hal sederhana tanpa takut gagal.
Malam itu aku menyalakan lampu belajar lagi. Tapi kali ini, bayangannya di dinding nggak lagi terasa menertawakan. Justru kayak menari pelan, mengiringi semangat kecil yang tumbuh lagi di dada. Aku mulai nulis lagi, tapi kali ini bukan tentang luka tentang mimpi. Tentang tempat-tempat yang pengen aku datangi, hal-hal yang pengen aku pelajari, orang-orang yang pengen aku bantu. Aku sadar, harapan ternyata nggak pernah benar-benar hilang. Dia cuma diam, nunggu dipanggil lagi.
Beberapa waktu kemudian, aku mulai berani keluar dari zona nyaman. Ikut kegiatan baru, ketemu orang-orang yang beda pandangan, dan belajar ngomong jujur tentang apa yang aku rasain. Nggak semua orang ngerti, tapi ada sebagian yang denger. Dan dari situ aku tahu ternyata dunia nggak sesempit yang aku kira.
Sekarang, setiap kali malam datang, aku masih suka buka jendela. Aku lihat langit, kadang penuh bintang, kadang cuma gelap polos. Tapi aku selalu ngerasa, ada sesuatu di sana yang manggil pelan. Kayak suara yang bilang, “Jangan berhenti. Kamu masih di jalan yang benar.”
Mungkin aku belum terbang setinggi yang aku mau. Tapi aku udah nggak takut lagi untuk mencoba. Karena ternyata, terbang itu bukan cuma soal sampai di atas tapi tentang keberanian buat melepaskan tanah tempat kita berpijak, dan percaya kalau angin akan menuntun kita ke arah yang tepat.
Suatu sore, aku pergi ke bukit di pinggir kota tempat yang dulu sering aku datangi waktu kecil. Dulu aku suka ke sana cuma buat lihat matahari tenggelam, tapi sore itu rasanya lain. Aku berdiri di tepi bukit, angin laut dari kejauhan membawa aroma asin yang entah kenapa bikin aku tenang. Di depan, langit mulai berubah warna, dari biru muda jadi oranye keemasan. Awan-awan berarak pelan, dan di antara semua itu, aku merasa kecil… tapi juga bebas.
Aku menarik napas dalam-dalam. Udara sore masuk ke paru-paru, rasanya segar, bersih, dan hidup. Di momen itu, aku sadar sesuatu: mungkin kebebasan nggak selalu berarti harus pergi jauh. Kadang, kebebasan itu dimulai dari menerima diri sendiri dengan segala cacat, retak, dan cerita yang nggak sempurna.
Aku menutup mata, membiarkan angin menerpa wajah. Rasanya seperti disapa oleh versi diriku yang dulu hilang. Versi yang dulu berani, yang percaya kalau dunia luas dan indah, sebelum semua ketakutan datang. “Aku masih di sini,” bisikku pelan. “Dan aku nggak akan hilang lagi.”
Ketika aku membuka mata, matahari hampir tenggelam sepenuhnya. Langit di atas berubah jadi ungu lembut dengan sisa jingga di ujungnya. Awan-awan berwarna keemasan seperti sayap yang membentang di cakrawala. Di sana, aku ngerasa sesuatu yang belum pernah aku rasain selama ini ringan. Bukan karena semua masalahku selesai, tapi karena akhirnya aku berhenti melawan diriku sendiri.
Aku tahu, di bawah bukit ini, kehidupan masih sama orang-orang masih berlari dengan urusannya, dunia masih bising, dan masa depan tetap penuh tanda tanya. Tapi kali ini, aku nggak takut lagi menghadapi semuanya. Karena aku udah tahu: aku punya sayapku sendiri. Mungkin masih lemah, mungkin belum sepenuhnya terbuka, tapi cukup buat memulai langkah pertama.
Malam mulai turun. Satu per satu bintang muncul, berkelip malu-malu di langit. Aku duduk di atas rumput, memandangi mereka yang jauh tapi terasa dekat. Dan entah kenapa, aku merasa mereka semua seperti cahaya kecil yang selama ini menuntunku dari gelap, dari kesunyian, dari sangkar yang kubuat sendiri.
Angin berembus lagi, lembut tapi kuat. Aku merentangkan tangan, membiarkan udara melingkari tubuhku. Dalam hati, aku berkata pelan, “Aku siap.”
Mungkin aku belum terbang tinggi, tapi di dalam diriku, ada sesuatu yang sudah melayang perlahan. Sesuatu yang lepas dari rantai masa lalu. Sesuatu yang percaya kalau setiap luka bukan akhir, tapi awal dari bentuk yang baru.
Dan saat aku berdiri, menatap langit malam yang luas dan tenang itu, aku tahu langit yang dulu menungguku, sekarang sudah memelukku. Aku bukan lagi seseorang yang cuma memandang dari bawah, tapi bagian kecil dari bintang-bintang yang berani bersinar meski sempat padam.
Langit itu masih sama, tapi aku tidak lagi sama. Aku telah belajar bahwa terbang bukan tentang seberapa jauh kita pergi, tapi seberapa berani kita kembali pada diri sendiri.