Hujan sore itu turun tanpa suara guntur.Hanya rintiknya yang jatuh pelan,seperti sedang berusaha menenangkan bumi yang sedang lelah.Di balik jendela kamar berdebu,jelita duduk memeluk lutut,menatatp titik-titik air yang belomba di kaca.Sejak dua bulan lalu,senyum sudah jarang singgah di wajahnya.Rumah itu terasa terlalu besar untuk satu hati yang sedang kehilangan arah.
Ayahnya meninggal mendadak karena serangan jantung.Tak ada perpisahan,tak ada pesan terakhir,yang tersisa hanya baju kerja yang masih tergantung di kursi,secangkir kopi yang tak sempat diteguk,dan suara-suara yang kani hanya hidup dalam ingatan
Sejak hari itu.Jelita tetap pernah benar-benar tidur nyenyak,ia sering terbangun tengah malam,menatap langit-langit kamar,mencari bayangan sosok ayah yang dulu selalu menepuk pundaknya setiap kali ia gagal.Kini tak ada lagi tangan itu.Tak ada suara lembut yang berkata,"Tak apa nak..kamu sudah berjuang"
Setiap pagi.Jelita tetap berangkat ke sekolah.Tapi langkah nya seperti tak punya arah,senyuman teman-teman nya terlalu terang untuk matanya yang penuh kabut.Guru-guru sering menanyakan keadaan nya,dan ia selalu menjawab dengan kalimat yang sama,"saya baik-baik saja ibu".Padahal di dalam dirinya,ada badai yang tak berhenti berputar.
Suatu hari,di taman belakang sekolah.Jelita duduk sendirian,ia memegang buku catatan kecil milik ayahnya yang di temukan di laci meja.Di halaman terakhir tertulis
"Kalau kamu lelah,jangan berhenti beristirahatlah,lalu lanjutkan.Karena dunia akan selalu menunggu kamu tersenyum lagi".
Tulisan itu membuat hatinya nyeri.Ia ingin marah,ingin berteriak pada lagit dan berkata,"Kenapa harus aku yang kehilangan?".
Tapi yang keluar hanya air mata deras,tanpa suara.
Seorang tiba-tiba duduk di sampingnya,jesika teman sekelasnya yang jarang bicara mengulurkan sebotol air dan tisu,"Kalau kamu mau nangis,gapapa".Katanya pelan,"Kadang luka engga butuh obat,cuman butuh di dengar".
Jelita menatapnya,ingin berkata sesuatu,tapi suaranya tercekat.Jesika tersenyum kecil,"Aku juga kehilangan,dua tahun lalu,ibuku pergi.Dia cuman berubah bentuk menjadi angin yang menyapa aku tiap pagi,jadi cahaya yang masuk lewat jendela".
Jelita menunduk,"Aku takut lupa,suatu hari di mana aku ga bakal ingat suaranya atau senyuman nya"
Sejak hari itu,jelita mulai belajar pelan-pelan,ia menulis surat untuk ayahnya setiap malam,menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di sekolah.Tentang nilai fisikanya yang turun,tentang tawa teman-temannya tentang mimpi-mimpi yang blum siap ia kejar.
Suatu sore ketika matahari tenggelam.Jelita kembali duduk di depan jendela kamarnya,kali ini tanpa air mata,ia hanya menatap langit jingga dan berbisik pelan."Terimakasih,dari luka ini aku belajar tersenyum lagi"
Ia tau tidak ada luka yang benar-benar hilang.Namun,kini ia mengerti luka bukan untuk disembunyikan,melainkan untuk di peluk sampai ia tak lagi menakutkan.
Dan meski senyumnya masih kaku,hatinya blum utuh,ada cahaya kecil di sana,cahaya dan keberanian yang lahir dari kehancuran.
Udara terasa lembut.Jelita menarik nafas panjang,lalu menatap bayangannya di kac,wajahnya tampak lelah,tapi di sudut bibirnya ada sesuatu yang baru sebuah senyuman kecil yang tumbuh dari luka yang akhirnya berani belajar hidup lagi.