Karya : Araaf Haekal Ismail Yuliansyah
Namaku Araaf. Setiap hari aku selalu membawa botol minum biru ke sekolah.
Botol itu bukan botol biasa — ia punya cerita, kenangan, dan makna yang lebih dalam daripada sekadar wadah air.
Ibu membelikannya saat aku naik ke kelas empat.
Aku masih ingat, sore itu langit sedikit mendung. Kami baru pulang dari pasar, dan Ibu mampir ke toko alat tulis kecil di pinggir jalan.
Beliau menunjuk botol biru dengan tutup bergambar petir dan berkata,
“Yang ini bagus, Nak. Semoga kamu bisa secepat kilat saat belajar dan tak mudah menyerah.”
Aku tertawa waktu itu, belum paham betapa dalam makna kalimat itu.
Namun sejak hari itu, botol itu tak pernah lepas dari tas sekolahku.
Setiap pagi, aku mengisinya dengan air dingin. Kadang Ibu membantu sambil berkata lembut,
“Jangan lupa minum, ya. Air penting untuk tubuh dan pikiran.”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku pikir, itu cuma pesan biasa dari seorang Ibu.
Tapi sekarang aku tahu, kata-kata sederhana itu adalah bentuk perhatian yang tulus — sesuatu yang tidak selalu bisa dijelaskan dengan logika.
Botol biru itu menemaniku di banyak momen.
Saat aku kelelahan di pelajaran olahraga, ia memberiku kesegaran.
Saat aku gugup menjelang ujian, aku meneguk air darinya dan merasa sedikit tenang.
Bahkan saat aku bersedih karena nilai ulanganku jelek, botol itu tetap ada di sana, di pojok meja, seolah ikut mendengarkan keluh kesahku.
Suatu hari, kejadian yang tak kusangka terjadi.
Kami sedang bermain sepak bola di lapangan sekolah.
Aku menaruh botol minumku di pinggir lapangan, tak jauh dari gawang. Permainan berjalan seru.
Aku sedang berlari mengejar bola ketika terdengar suara keras, “KRAK!”
Aku menoleh dan langsung terdiam. Botol biruku terjatuh, tertendang oleh kaki temanku.
Airnya tumpah, tutupnya pecah, dan permukaannya tergores.
Teman-temanku tertawa, tapi bagiku itu bukan hal lucu. Ada rasa sesak di dada, seolah aku baru kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
Sepulang sekolah, aku membawa botol itu pulang dengan hati berat.
Sesampainya di rumah, aku menunjukkan botol itu kepada Ibu.
Aku menunduk, takut dimarahi. Tapi Ibu hanya menatapku lembut dan berkata,
“Tidak apa-apa, Nak. Kadang sesuatu yang kita sayangi bisa rusak, tapi kenangannya tetap ada.”
Aku hanya mengangguk pelan. Kata-kata itu melekat di pikiranku.
Malam itu aku duduk di meja belajar dengan lampu kecil menyala redup.
Aku mencuci botol biru itu perlahan, mengelap setiap goresannya dengan hati-hati, seakan aku sedang merawat luka di dalam diriku sendiri.
Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Di bawah tutup botol yang retak, ada secarik kertas kecil terselip.
Basah, tapi masih bisa kubaca. Dengan tangan gemetar, aku membuka kertas itu.
Tulisan tangan Ibu muncul di sana:
> “Untuk Araaf — jangan lupa minum air setiap hari. Ibu sayang kamu.”
Mataku langsung memanas.
Air mataku jatuh satu per satu tanpa bisa kutahan.
Aku tidak tahu kapan Ibu menulis pesan itu. Mungkin sejak pertama kali beliau membelikan botol ini.
Mungkin ia ingin pesannya menemani hari-hariku diam-diam, tanpa aku sadari.
Aku menatap botol itu lama sekali. Rasanya seperti aku baru saja menemukan harta karun yang selama ini tersembunyi di depan mata.
Sebuah pesan kecil, tapi penuh cinta dan perhatian.
Malam itu aku tidak bisa tidur.
Aku hanya duduk di tepi ranjang, memandangi botol biru yang kini sudah retak di bagian tutupnya.
Entah mengapa, aku merasa seperti baru saja belajar sesuatu tentang kehidupan:
bahwa cinta tidak selalu diucapkan dengan kata besar, tapi bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana.
Sejak malam itu, botol biru itu tidak pernah aku buang.
Sekarang ia berdiri di rak buku, di antara tumpukan novel dan buku pelajaran.
Setiap kali aku melihatnya, aku seperti mendengar suara Ibu yang lembut, mengingatkanku untuk tetap semangat dan tidak lupa bersyukur.
Waktu berlalu. Aku kini duduk di bangku SMP.
Aku sudah memiliki botol baru, tapi setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, aku selalu menatap botol biru lamaku sebentar.
Aku berjanji dalam hati untuk menjaga pemberian Ibu yang lain — bukan hanya benda, tapi juga kasih sayang, perhatian, dan kepercayaan yang beliau tanamkan sejak dulu.
Kadang aku berpikir, mungkin kelak ketika aku dewasa, aku akan menceritakan kisah ini kepada anakku.
Agar mereka tahu bahwa cinta seorang Ibu bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana — bahkan dalam sebuah botol air minum.