Langit sore itu berwarna jingga lembut. Angin berhembus pelan membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di halaman sekolah yang mulai sepi, hanya tersisa dua orang: Raka dan Nayla.
“Masih nunggu siapa?” tanya Raka sambil menendang kerikil kecil di depannya.
Nayla tersenyum tipis. “Nunggu hujan benar-benar berhenti. Aku nggak bawa payung.”
Raka tertawa kecil. “Alasannya aja biar bisa lama-lama di sini, ya?”
Nayla menoleh dengan wajah sedikit merah. “Siapa bilang?”
Keheningan menyelimuti sejenak. Hanya suara dedaunan yang bergesekan dan sisa rintik yang jatuh dari genting. Raka menatap ke langit, lalu ke wajah Nayla yang diterpa cahaya senja. Ada sesuatu yang terasa hangat di dadanya — perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan.
“Nay…” suara Raka terdengar pelan.
“Hmm?”
“Kalau aku bilang, aku suka sama kamu… kamu bakal marah nggak?”
Nayla terdiam. Matanya menatap Raka, lalu beralih ke tanah basah di bawah kakinya. “Kenapa baru bilang sekarang?” katanya lirih.
“Karena aku takut kehilangan kamu kalau aku salah langkah,” jawab Raka jujur.
Nayla tersenyum. “Lucu, ya. Aku juga takut hal yang sama.”
Raka tertegun. “Maksudnya…?”
“Aku juga suka kamu, Rak.”
Angin sore kembali berhembus, membawa sisa aroma hujan dan rasa yang selama ini mereka pendam. Raka tersenyum lebar, sementara Nayla menunduk malu.
Langit makin gelap, tapi bagi mereka, sore itu adalah yang paling terang.
Sebuah awal yang sederhana — di halaman sekolah, di bawah senja, dua hati akhirnya saling bertemu.