Lorong sekolah SMA Cendekia beraroma lilin dan disinfektan, aroma yang seharusnya bersih dan wangi, namun selalu terasa begitu pekat dengan sisa sisa bisikan yang tajam dan tawa meremehkan yang melayang samar di udara.
Bagi seorang Rina, Lorong itu adalah jalur yang sangat berbahaya yang harus dilalui dengan mata tertunduk, terutama di dekat loker merah tua, tempat Dani sang "penguasa" tak resmi dari sekolah tersebut sering menunggu beberapa mangsanya.
Mangsa utamanya adalah Ali. Ali bukanlah anak yang lemah, ia termasuk anak yang sangat cerdas dan selalu memenangkan olimpiade sains. Namun kelebihannya itulah yang membuatnya menjadi target yang sempurna bagi Dani yang melihat kecerdasan sebagai suatu kesombongan, dengan begitu Dani pun merasakan cerminan kekalahan dirinya sendiri.
Hari itu, Rina melihatnya lagi. Dani menahan Ali di dekat deratan loker, memaksanya menuliskan jawaban ulangan fisika di tangannya, agar Dani bisa menyalin saat ujian nanti.
"ini adalah biaya atas jasamu, bocah pintar" desis Dani. Suaranya pelan tetapi mengandung ancaman baja yang bisa didengar Rina bahkan dari jarak 10 meter. Perut Rina bergejolak.Ia merasa mual dan hatinya menjerit bahwa apa yang dilihatnya itu salah. Ia tahu harus melakukan sesuatu. Namun perasaan itu langsung dikalahkan oleh ketakutan akan suatu balasan. Dani tidak hanya menakut-nakuti korban, tapi juga orang-orang yang menyaksikan perbuatannya.
Minggu berikutnya, sekolah meluncur program anti perundungan baru.Pimpinan dari program ini adalah Pak Baim, guru bimbingan konseling yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan suara yang soft spoken. Pak Baim seperti harapan dari luar diri Rina. Rina mengganggap Pak Bima bisa melindunginya. Ia memperkenalkan "kotak aduan anonim" dan mengumumkan sanksi keras.
" Setiap tindakan perundungan akan dikenakan sanksi skor minimal 2 minggu,kami menyediakan sistem perlindungan.Jadi gunakanlah." ucap pak Baim dengan suara yang tegas.
Aturan, hukuman, dan janji perlindungan itu adalah dorongan dari luar yang dibuat untuk mendorong siswa berani untuk bertindak. Bagi Rina, kotak aduan itu seperti kesempatan emas. Ia bisa menolong tanpa harus ketahuan.
Malam itu,ia duduk di mejanya, memegang pulpen di atas selembar kertas.
Dani kelas XII IPA 1 sering mengganggu Adi...
Tiba-tiba tangannya berhenti.Ia membayangkan Dani akan tahu siapa yang akan melapor nanti.Ia membayangkan loker merah, tatapan dingin Dani, dan ejekan teman-teman. Meskipun itu kotak anonim, rasa takutnya lebih kuat daripada keinginannya untuk membela kebenaran.Kertas itu diremas dan dibuang.
Beberapa hari berlalu, Ali semakin tertutup. Matanya sering terlihat bengkak dan ia selalu menghindari pandangan kepada siapapun.Ia membawa beban yang berat,bukan karena intimidasi dari Dani,tetapi juga karena kesendiriannya.
Kemudian terjadi puncaknya. Dani yang frustasi karena Ali mulai menolak memberikan jawaban dan melakukan hal yang lebih kejam. Di kantin yang ramai, Dani mengambil tas Ali. mengeluarkan bekal makan siang Ali yang telah disiapkan dengan penuh kasih oleh ibunya. Dani pun menumpahkan ke lantai dan menendang lauk kesukaan Ali.
Kali ini Ali tidak melawan atau menangis. Ia hanya diam sambil berdiri. Menatap makanan yang terbuang sia-sia, ekspresi wajahnya bukanlah kemarahan, melainkan kehancuran yang sangat dalam. kemudian ia memungut tasnya, meninggalkan kantin tanpa sepatah kata pun.
Rina terdiam, tangannya menggenggam erat kotak susunya. Ia melihat kehancuran itu dan tiba-tiba ia teringat janji skorsing 2 minggu dari Pak Baim. Kotak aduan anonim. Bahkan ketakutannya kepada Dani semua itu terasa hambar dan tidak relevan. Ini bukan lagi tentang sanksi atau peraturan. Bukan lagi tentang mencari perlindungan dari luar. Ini adalah tentang martabat manusia yang di injak-injak hingga tak bersisa.
Saat itu sebuah keputusan terbentuk. Muncul dari tempat yang jauh lebih dalam dari rasa takut. Sebuah empati yang tidak bisa lagi diabaikan. Rina menyadari jika ia tidak bertindak sekarang maka ia akan hidup dengan bayangan Ali yang terlihat hancur.
Setelah jam pelajaran berakhir. Rina tidak menuju ke kotak aduan. Melainkan ke ruang bimbingan konseling . Di sana ia menemukan pak Baim sedang memeriksa formulir. Jantung Rina berdebar kencang dan lututnya sedikit gemetar. Rasa takut itu masih ada, tetapi ia berhasil menangkisnya.
"Pak Baim" kata Rina
Pak bima mendongak "ya Rina,ada yang bisa bapak bantu?"
Rina menceritakan tentang loker merah , ancaman, dan makan siang di kantin.
Pak baim mendengarkan dengan seksama. "terima kasih, Rina. tindakanmu ini sungguh berani."
Beberapa hari kemudian Dani diskor dan konsekuensinya terasa nyata di seluruh penjuru sekolah. Lebih penting dari itu, Ali di panggil ke ruang BK dan akhirnya mendapatkan dukungan yang ia butuhkan.
Rina tidak pernah mencari pujian. Ketika Ali secara singkat menatapnya di koridor dan memberikan senyum malu malu yang sudah lama hilang. Rina rasa itu hadiah terbesarnya. Bukan pujian publik dari guru, bukan rasa aman dari Dani yang pergi, tetapi ketenangan batin yang datang dari mengetahui ia telah melakukan hal yang benar.
Di bawah bayangan loker merah yang kini terasa sedikit lebih ringan, Rina tahu bahwa dengan dari dalam dirinya, keberanian yang ia temukan saat melihat kehancuran Ali adalah pelajaran terbaik dalam hidupnya. Aturan sekolah telah menyediakan kesempatan tetapi kekuatan dari dalam dirinya lah yang membuatnya mampu melangkah.