Hujan turun sejak pagi, membasahi halaman sekolah dan mengeluarkan aroma tanah yang khas, aku memperhatikan butiran-butiran air yang menempel di kaca kelas pagi itu, turun perlahan seperti waktu yang terus berjalan bak air yang mengalir enggan untuk berhenti. Di depan sana tinta hitam masih tertuang panas di atas papan tulis putih bertuliskan "Ujian Akhir Semester". Semua orang sibuk dengan fikirannya masing-masing, ada yang membicarakan kampus impiannya, ada yang sedang menghitungkan nilai, ada pula yang tertawa seolah masa depannya sudah pasti.
Aku hanya diam, menatap buku gambarku diatas meja. Pensil hitamku menari pelan menggambarkan bentuk rumah sederhana dengan atap miringnya dan taman kecil di halaman depan. Entah sudah berapa banyak kertas yang kuhabiskan untuk menggambar bangunan-bangunan rumah seperti itu, gambaran rumah yang selama ini kusimpan rapi di dalam otakku yang menjadi anganku saja, bukan milikku.
Aku Gita, siswi kelas 3 SMA. Katanya, masa SMA adalah masa yang paling indah yang tak dapat di putar ulang bak video di layar kaca. Tapi bagiku, SMA adalah masa yang penuh sesak dengan tanda tanya. Tentang msa depan, tentang harapan, dan secuil cita-cita yang terasa semakin jauh.
Sejak kecil, aku ingin menjadi arsitek. Aku suka sekali menata ruang, menggambar bangunan-bangunan yang cantik, dan bermimpi suatu hari nanti aku bisa membangun rumah yang penuh sesak dengan ribuan bahkan tak terhingga cinta dan kehangatan di dalamnya untuk ayah dan ibu. Rumah yang tak lagi bocor ketika hujan dan tak lagi panas ketika di siang hari. Tapi semakin dekat waktu kelulusan, semakin sering aku bertanya pada diriku sendiri : "Aku kapan bisa mewujudkannya?"
Ayahku bekerja serabutan, kadang dia ada diladang, kadang juga membantu tetang yang akan membangun rumah. Mereka tidak henti-hentinya mengingatkanku untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
"Sekolah yang rajin, nak. Kami gak bisa ksaih banyak, tapi kami ingin melihat kamu berhasil,"kata ibu di satu malam yang sunyi dan tenang sembari menghitung uang hasil jualannya.
Aku tahu, dibalik kata-kata itu tersimpan harapan besar dan lelah yang tak pernah diucapkan. Karena itu, aku berusaha belajar sebaik mungkin. Tapi setiap kali sekolah menempelkan brosur kampus di papan mading, dadaku terasa sesak, seperti ada yang menghimpitnya. Biaya kuliah sangat bukan hal yang mudah untuk keluarga kami.
Teman-temanku sudah punya rencana. Ada yang ikut bimbingan belajar tambahan, ada gang ikut jalur prestasi, bahkan ada yang sudah ditetima di universitas besar. Aku ikut tersenyum dan bangga sambil mengucapkan selamat, tapi di dalam lubuk hatiku ada suara kecil yang berbisik,"Aku kapan?"
Di satu hari, guru Bahasa Ind9nesia kami, Bu Rina, memberi tugas menulia cerpen bertemakan "Cita-citaku dan langkhku meraihnya".
Aku menuliskan kisah tentang seorang gadis desa yang ingin menjadi arsitek tapi terhalang oleh keadaan. Aku menulis dengan seoenuh hatiku, dengan kalimat yang terus mengalir bersama dengan air mataku.
Ketika tulisanku dibacakan di depan kelas, semua hening. Aku menundukkan kepalaku, takut dianggap terlalu sentimental. Tetapi ketika aku menatap Bu Rina, beliau hanya tersenyum dan berkata pelan. "Gita, cita-cita itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai dengan tujuannya, tapi siapa yang tidak pernah berhenti berjalan".
Kalimat itu tertanam dalam di benakku. Sejak hari itu, aku mulai mengubah caraku memandang mimpi. Aku mulai menabung dari uang jajanku, membantu ibuku menjajalkan dagangannya, dan setiap malam aku belajar menggambar bermodalkan tutorial gratis yang ada di internet. Aku bahkan meminjam laptop sekolah untuk mencoba berbagai aplikasi desain sederhana.
Beberapa minggu kemudian, Bu Rina datang ke warung kami sembari membawa selembar kertas. "Gita, sekolah kita mendapat informasi beasiswa dari universitas teknik. Ibu mau kamu mencoba daftar, nanti ibu bantu nak, untuk rekomendasinya"
Aku terdiam, "saya bu?. Tapi.... banyak yang lebih pintar dari saya bu". Bu Rina tersenyum, "kamu bukan kurang pintar nak, kamu hanya belum percaya kalau kamu bisa nak".
Setelah Bu Rina pulang, malm harinya aku langsung membuat lamaran beasiswa dengan semngat yang menggebu-gebu dan tangan yang bergetar. Aku tulis kisah hidup keluargaku, kerasnya perjuangan ayah dan ibuku, serta mimpiku membangun rumah untuk mereka. Keesokan harinya aku pergi lebih awal untuk mengantarkan berkas itu. Hujan baru saja reda, jalanan pun masih terasa licin, tapi aku tak perduli. Di dadaku, ada semangat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Namun, diperjalanan pulang nasib berkata lain. Aku melihat sebuah mobil melaju ke arahku. Aku tak sempat menghindar.... sekedar mencerna saja aku tak bisa. Pandanganku memburam dan semakin memburam...dunia menggelap.
Ketika aku membuka mata, semuanya berwarna putih, sayup-sayup ku dengar suara-suara, tapi semakin lama semakin jauh...hingga aku tak bisa mendengarnya lagi.
Dua bulan sudah berlalu lamanya, di ruangan sempit itu.....ruang rawat di salah satu rumah sakit, tubuhku terbujur kaku di atas brankar. Ibu duduk di samping ranjangku sembari memegang tangan dinginku yang terpasang infus memanjang. Ayahku hanya bisa berdiri di sudut ruangan, menatap ke arah ranjang dengan pandangan kosong. Tidak pernah menyangka, bahkan terbesit sedikit saja dalam benak mereka anak sulung yang mereka cintai dan rawat dengan penuh cinta sedari kecil, akan meninggalkan mereka lebih dulu mendahului mereka.
Beberapa hari setelah hari pemakaman usai, surat yang kuantar dengan semangat yang berapi-api , surat yang begitu, ku tunggu kedatangannya akhirnya tibadi rumah kami.
Di dalamnya tertulis "selamat, sdr Gita diterima sebagai penerima beasiswa penuh di program Studi Teknik Arsitektur". Ibuku yang menerimanya, dia memandangi
Di dalamnya tertulis: “Selamat, sdr. Gita diterima sebagai penerima beasiswa penuh di Program Studi Teknik Arsitektur.” Ibuku yang menerimanya, dia memandangi surat ditangannya dengan hati yang perih seperti tersayat oleh benda yang tak terlihat. Perlahan air matanya jatuh, tetes demi tetes turun membasahi ujung surat yang digenggamnya, dia menangis....ibuku menangis....
Setelah ibuku memberikan surat itu kepada ayah, ayahku menerimanya dengan pandangan kosong, dia hanya diam memandangi surat ditangannya. Mereka tersadar surat yang mereka genggam itu adalah jawaban dari segala doa, letih, tekad dan kerja keras yang mereka anggap teralu tinggi untuk anak mereka.
Setelah kepergianku, rumah dan kehidupan mereka tak lagi sama seperti sebelum aku pergi. Ayahku jatuh sakit tenggelam bersama kesedihan yang tak pernah benar-benar usai. Ibuku sering termenung dengan pandangan kosong menatap ke arah ruangan kosong yang dulunya kutempati.
Akibat kesedihan yang tak pernah usai, sakit yang ayahku derita pun tak kunjung usai, ia kalah melawan rasa sedih dan sakit yang dideritanya. Ia pergi, lebih dulu meninggalkan ibuku bersama adik laki-laki ku. Satu bulan berlalu setelah kepergianku, ibuku ikut pergi meninggalkan adikku seorang diri. Rumah kecil yang dulu berisikan 4 orang di dalamanya, kini hanya tersisa 1 orag di dalamnya. Rumah yang dulu terisi penuh dengan cinta di dalamnya kini terasa dingin dan sunyi.
Kini hanya adikku yang tersisa, ia duduk di ruang tamu yang dulunya kami pakai untuk berkumpul bersama. Dia hanya diam menatap gambar-gambarku dihadapannya,ditemani dinginnya malam. Dalam diam, dia bertekad dengan penuh melanjutkan mimpiku.
Bukan untuk membangun rumah yang besar dan megah, hanya rumah sederhana yang penuh kasih dan cinta di dalamnya, seperti yang selalu kuimpikan.
Malam itu, adikku menatap langit malam yang dulu selalu kutatap menanti hari aku mencapai impanku. Ia berbisik pelan “kak, sekarang giliran ku, akan kulanjutkan mimpimu”. Dan diantara hitamnya langit malam yang bertabur bintang, mungkin saja aku tersenyum, karena akhirnya mimpiku dan segala pertanyaanku masa dulu telah menemui jawabannya.
“Aku kapan?”. SEKARANG, melalui mereka yang tetap berjalan dengan ribuan mimpi yang kutinggalkan