“Hujan di bulan Juni tahun ini beraroma aneh, seperti bau tanah basah dan penyesalan.”
Rani berdiri di teras rumahnya memandangi hujan yang jatuh deras dari langit kelabu. Tetes air membentuk garis-garis bening di kaca. Seperti kenangan yang berusaha menembus waktu. Entah kenapa, setiap hujan di bulan Juni selalu membuat dadanya sesak.
Tahun berlalu sejak Damar pergi meninggalkannya. Ia tak pernah mengucapkan selamat tinggal—hanya diam, dan pergi dengan selembar tiket dan kata-kata yang mengambang di udara. “Aku akan kembali kalau kamu masih menunggu.”
Waktu berjalan. Rani mencoba melupakan. Ia sibuk dengan pekerjaannya di toko buku kecil di ujung kota. Tapi sore ini, ketika langit menggantungkan hujan seperti dulu, semuanya terasa kembali sama.
Rani menarik napas panjang. Ia memutuskan menutup toko lebih awal, berjalan menyusuri jalanan basah dengan payung kecilnya. Di sepanjang jalan, lampu-lampu toko memantulkan cahaya di genangan air. Ia berhenti di depan toko yang dulu sering mereka datangi.
“Kamu tahu, Rani?” kata Damar waktu itu sambil memegang buku puisi, “Hujan di bulan Juni itu aneh. Ia turun saat bunga sedang mekar, tapi tidak berharap balasan.”
“Kayak kamu?” canda Rani waktu itu.
Damar tertawa, tapi matanya terlihat sendu. “Mungkin. Tapi aku berharap kamu tahu, kadang cinta juga seperti hujan, tidak selalu datang di waktu yang tepat.”
Rani memejamkan mata. Ingatan itu hidup untuk dilupakan. Ia hendak berbalik pergi ketika seseorang memanggilnya pelan.
“Rani?”
Suara itu membuatnya terpaku. Ia menoleh ke belakang. Di seberang jalan berdiri seorang dengan payung hitam. Wajahnya masih sama, hanya terlihat lebih lelah.
“Damar?” Suaranya nyaris tak terdengar di antara derasnya hujan.
Damar melangkah mendekat, langkah demi langkah. Kemudian berdiri di hadapan Rani. Sesaat keduanya hanya terdiam. Hujan menutupi kebingungan yang menumpuk bertahun-tahun.
“Kamu masih suka datang ke sini rupanya,” kata Damar mencoba tersenyum.
“Tempat ini nggak berubah,” jawab Rani pelan.
“Tapi kita yang berubah.”
“Iya,” Rani menunduk. “Aku kira kamu nggak akan kembali.”
Damar menghela napas panjang. “Aku juga kira batal begitu. Tapi ternyata ada hal-hal yang nggak bisa ditinggalkan, Ran. Termasuk kamu.”
Rani menatapnya. Ada kehangatan dan luka yang bercampur di matanya.
“Aku nggak menunggumu,” katanya akhirnya. “Aku cuma belum tahu cara berhenti berharap.”
Damar tersenyum. “Itu cukup buatku.”
Mereka berdua diam lagi. Hujan terus turun, tapi kini terasa lebih lembut, seolah langit pun ikut memahami pertemuan yang terlambat itu.
Rani menatap hujan di luar payung mereka berdua.
“Hujan di bulan Juni selalu aneh,” kata Rani.
“Kenapa?”
“Karena selalu datang bersamaan dengan hal yang belum selesai.”
Damar menggenggam tangan Rani perlahan.
“Mungkin kali ini kita bisa menyelesaikannya bersama.”
Hujan tak lagi sekadar aroma tanah basah. Ada kehangatan, ada kesempatan kedua, dan ada sepasang manusia yang akhirnya belajar bahwa tidak semua perpisahan harus berakhir dengan kehilangan.