Malam itu, angin berembus dingin lewat jendela kamar kosku di Blok C. Jam di dinding menunjuk pukul 00.47. Aku baru saja menutup laptop setelah menyelesaikan revisi tulisan artikel kriminal—ironis banget, karena malam itu justru aku sendiri yang jadi bagian dari kisah semacam itu.
Tiba-tiba ponselku berdering. Nomor tak dikenal.
“Haloo?”
Tak ada jawaban, cuma suara napas berat.
“Siapa ya?” tanyaku lagi.
Masih diam. Lalu samar terdengar, suara perempuan berbisik:
“Jangan buka pintu…”
Aku langsung merinding.
“Siapa ini?” suaraku bergetar. Tapi sambungan langsung terputus.
Kamar kosku cuma diterangi lampu belajar. Dari luar, terdengar langkah pelan di lorong. Tok… tok… tok… — iramanya pelan tapi teratur, seperti orang menyeret sandal. Aku menatap pintu kayu tipis di depanku. Siapa yang masih keluyuran jam segini?
Aku memberanikan diri mengintip lewat lubang pintu. Kosong. Tapi langkah itu masih terdengar. Lebih dekat. Tok… tok… tok…
Aku mundur pelan, mengambil ponsel. Mau nelpon penjaga kos, tapi layar ponsel tiba-tiba mati sendiri. Padahal tadi baterai masih 60%. “Ah, sial,” gumamku.
Lalu—tok tok tok!—ada yang mengetuk pintu kamarku tiga kali.
“Niaaa…” suara perempuan memanggil pelan.
Aku membeku. Tak ada satu pun orang di kos ini yang tahu namaku. Aku baru pindah dua hari lalu.
Suara itu datang lagi, lebih pelan tapi lebih dekat.
“Niaaa… tolong bukain…”
Aku menggenggam gagang pintu. Suara itu terdengar seperti dari seberang pintu, tapi… ada suara lain juga, seperti seseorang yang diseret di lantai. Aku mundur cepat, napasku berat.
Dari jendela, kulihat sosok perempuan berdiri di lorong, rambut panjang menutupi wajah, mengenakan daster putih kotor. Tangannya berlumur darah. Dia menatap ke arah kamarku.
Aku menutup tirai dengan cepat, menahan teriak.
Beberapa menit kemudian, semuanya hening.
Kutelan ludah, mencoba menenangkan diri. Kupikir, mungkin cuma halusinasi. Mungkin aku kecapekan. Tapi saat aku menoleh ke meja, ponselku menyala sendiri. Di layar muncul satu pesan baru:
“Kamu kamar C-7 kan? Jangan buka pintu. Aku mati di situ.”
Tanganku gemetar. Kubuka pesan itu, tapi pengirimnya: Nomor tak dikenal — offline sejak 1 tahun lalu.
Tiba-tiba suara ketukan lagi, keras kali ini. TOK! TOK! TOK!
“Niaaa…”
Aku berteriak sekuatnya. Tapi tak ada yang datang. Ketukan berhenti. Saat kutatap bawah pintu, kulihat sesuatu—setetes darah menetes pelan ke lantai dari luar.
Aku langsung lompat ke jendela, mau keluar lewat sana. Tapi di kaca, pantulan wajahku berubah… ada sosok perempuan lain berdiri di belakangku. Wajahnya pucat, bibirnya sobek, matanya kosong. Dia tersenyum.
“Sekarang giliranku nulis ceritanya,” bisiknya di telingaku.
Semua gelap.
---
Keesokan paginya, penjaga kos menemukan kamar C-7 terkunci dari dalam. Di meja ada laptop yang masih menyala, dengan satu dokumen terbuka. Judulnya:
“Panggilan Terakhir dari Kos Blok C — oleh Nia.”
Tapi tak ada yang tahu, siapa sebenarnya Nia. Data penyewa kamar itu kosong.