Di bawah derasnya hujan dan gemuruh riuh petir, dua orang kembar—laki-laki dan perempuan—berdiri saling menggenggam. Air mata mereka menyatu dengan hujan yang jatuh tanpa henti. Dunia seolah berhenti sejenak, membiarkan dua hati muda itu menanggung luka yang tak semestinya mereka rasakan.
Baru saja mereka keluar dari rumah yang dulu mereka sebut “rumah”, tapi kini lebih mirip “neraka.”
Rumah besar penuh kemewahan, tapi kosong dari kasih sayang. Sejak usia tujuh tahun hingga kini delapan belas, mereka hidup di bawah atap yang hanya terlihat hangat dari luar.
Ayah mereka, yang dulu sederhana dan penyayang, berubah sejak hidupnya bergelimang harta.
Ibu mereka pun larut dalam dunia sosialita—sibuk dengan pesta, belanja, dan teman-teman yang hanya tahu tawa palsu.
Anak-anaknya? Dibiarkan tumbuh dalam dingin, dengan pengasuh sebagai pengganti pelukan seorang ibu.
Setiap malam, rumah itu bergema oleh suara pertengkaran. Hingga malam ini—pertengkaran paling hebat yang pernah ada. Kata-kata tajam, tangisan, suara pintu dibanting, lalu... sunyi.
Keduanya tak tahan lagi. Mereka menyeret koper, melangkah keluar tanpa tahu arah.
Hujan menyelimuti tubuh mereka, tapi dinginnya tak seberapa dibanding hati yang retak.
Langkah demi langkah menjauh, hingga hanya suara gemuruh yang menemani.
Air hujan berubah deras, tapi mereka tak peduli. Dunia terasa membeku, dan entah kenapa, semesta seperti ikut menangis bersama mereka.