Sudah dua tahun sejak Neza melihat wajah Aldyan untuk terakhir kalinya—hari itu di stasiun, di bawah langit mendung yang menggantung berat. Ia masih ingat dengan jelas: Aldyan tersenyum samar, memeluknya sebentar, lalu berkata, “Tunggu aku, ya.”
Setelah itu, tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada jejak.
Hari-hari berlalu menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Hingga tahun pun berganti, Neza masih bertahan dengan satu keyakinan: Aldyan akan kembali. Ia menolak semua logika yang berkata sebaliknya. Setiap kali orang bertanya, “Sampai kapan kamu mau menunggu?”, Neza hanya menjawab, “Sampai dia sendiri yang bilang berhenti.”
Di meja kamarnya, masih tergantung foto mereka berdua—Neza dalam balutan sweater abu-abu, Aldyan tersenyum di sampingnya. Foto yang mulai pudar, tapi tetap Neza bersihkan setiap minggu, seolah dengan itu ia menjaga cinta mereka agar tak berdebu.
Ada banyak pria yang datang setelah Aldyan menghilang.
Rian, tetangga baru yang rajin mengantarkan bunga.
Aji, rekan kerja yang selalu menjemputnya pulang di malam hujan.
Bahkan Dimas, sahabat masa kecilnya, sempat mengaku telah menunggu Neza sejak lama.
Namun, Neza selalu menolak dengan lembut.
“Hatiku masih punya seseorang,” ujarnya, seolah cinta itu sebuah ruang yang tak boleh disentuh siapa pun kecuali satu nama yang sudah lama pergi.
Dan begitulah, dua tahun ia hidup dalam diam. Dalam doa-doa yang tak berubah, dalam kesetiaan yang nyaris buta. Hingga suatu hari, semesta seperti bosan melihat keteguhannya.
Sore itu, Neza pergi ke pusat kota. Ia hendak membeli hadiah untuk ulang tahun ibunya. Saat keluar dari toko, matanya menangkap pemandangan yang membuat seluruh tubuhnya membeku.
Di seberang jalan, di antara kerumunan orang, berdiri seorang pria yang begitu dikenalnya.
Aldyan.
Ia sedang tertawa, memegang tangan seorang wanita berambut cokelat panjang. Wanita itu bersandar manja di bahunya, sementara Aldyan menggenggam jemarinya dengan lembut—cara yang dulu selalu membuat Neza merasa paling dicintai di dunia.
Dunia seakan berhenti berputar.
Langit mendadak terasa sempit, dan suara lalu lintas menjadi gema yang jauh.
Neza ingin berteriak, ingin berlari menghampiri, tapi tubuhnya kaku.
Ia hanya bisa menatap dari seberang jalan, menyadari bahwa dua tahun penantian telah hancur dalam sekejap mata.
Hatinya bergetar hebat. Bukan karena marah, tapi karena tak percaya.
Bagaimana mungkin seseorang yang ia tunggu dengan begitu setia kini berdiri di sana, menggenggam cinta yang baru seolah tak pernah ada janji sebelumnya?
Malam itu, Neza duduk di tepi ranjangnya dengan mata kosong. Foto mereka di dinding terasa menatapnya balik dengan sinis. Ia meremasnya perlahan, lalu menatap wajah itu untuk terakhir kali sebelum berkata pelan,
“Ternyata kamu bukan pergi karena tak ingin menyakiti. Kamu pergi karena ingin bahagia—tanpaku.”
Beberapa hari kemudian, Aldyan menemuinya.
Ia datang tanpa aba-aba, mengetuk pintu dengan ekspresi yang tak bisa Neza baca. Ada penyesalan di matanya, tapi juga ketenangan aneh.
“Nez,” katanya, “aku nggak pernah mau bikin kamu sakit. Makanya aku pergi. Aku tahu kalau aku tetap di sampingmu, aku cuma akan menambah luka. Aku nggak pantas buat kamu.”
Neza menatapnya lama. Bibirnya bergetar, tapi suaranya tetap tenang.
“Kalau benar kamu nggak mau nyakitin, kenapa pergi tanpa kata? Kamu biarkan aku menunggu di ruang kosong selama dua tahun, berharap pada sesuatu yang kamu tahu sudah hilang.”
Aldyan menunduk. “Aku kira, kalau aku menghilang, kamu akan belajar melepaskan.”
Neza tersenyum getir. “Aku justru belajar bagaimana rasanya ditinggalkan tanpa penjelasan. Belajar bahwa cinta nggak selalu berarti menunggu, apalagi kalau yang ditunggu bahkan nggak menoleh lagi.”
Ada jeda panjang di antara mereka. Hanya suara detak jam dan sisa hujan di luar jendela yang terdengar.
Aldyan mengembuskan napas pelan. “Maaf, Nez.”
Neza menggeleng. “Aku sudah memaafkan. Tapi aku juga sudah selesai.”
Ia berdiri, menatap pria itu untuk terakhir kali. Ada ketenangan yang aneh menyelimuti dadanya, seperti air yang akhirnya berhenti bergolak setelah badai panjang.
“Terima kasih sudah mengajarkan aku artinya sabar,” katanya lembut. “Tapi sekarang aku ingin belajar bahagia—tanpa menunggu siapa pun.”
Ketika pintu tertutup dan langkah Aldyan menghilang di balik hujan, Neza menatap cangkir kopi di meja—kini hanya satu. Ia menuangkan air hangat, menyesap perlahan, dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun, kopi itu terasa manis tanpa harus ada Aldyan di seberang meja.
Dan di antara sisa hujan malam itu, Neza akhirnya tahu:
Kesetiaan yang sejati bukan soal bertahan, tapi berani melepaskan.