Udara malam itu lembab, dan hujan baru saja berhenti. Aku duduk di kamar, menatap layar ponsel yang masih memunculkan pesan terakhir dari Arga.
> “Udah, jangan hubungi aku lagi. Aku capek.”
Kalimat itu sudah kulihat puluhan kali, tapi tetap saja rasanya kayak ditampar setiap kali aku baca. Aku tahu hubungan ini udah retak dari lama, tapi aku nggak nyangka dia bener-bener pergi tanpa kata pamit yang layak.
Aku taruh ponsel di meja, menarik napas panjang. Lalu lampu tiba-tiba padam.
Gelap total.
“Astaga…” gumamku. Listrik di kompleks ini emang sering ngaco kalau hujan deras. Aku meraba-raba mencari lilin di laci meja belajar. Begitu kutemukan, aku nyalain korek api. Suaranya kecil, tapi cukup bikin siluet kamar terlihat samar.
Bayangan di tembok menari pelan karena api lilin yang goyah. Aku duduk di tepi kasur, menatap ponselku lagi yang udah mati karena baterai habis.
Entah kenapa, di tengah gelap dan sunyi itu, aku ngerasa… nggak sendirian.
Suara langkah kaki terdengar dari luar kamar.
Pelan.
Satu langkah. Dua langkah.
Berhenti tepat di depan pintu kamarku.
Kupikir itu Mama. Tapi begitu kupanggil, nggak ada jawaban.
“Maa…?”
Sunyi.
Aku mulai ngerasa aneh. Aku tahu semua orang di rumah ini udah tidur. Tapi langkah tadi jelas banget. Aku beranikan diri jalan ke arah pintu, masih pegang lilin. Saat aku buka pintunya… nggak ada siapa-siapa.
Cuma lorong rumah yang gelap, bau lembap, dan suara tetesan air dari atap yang bocor.
Aku balik lagi ke kamar, tapi jantungku mulai deg-degan. Lilin di tanganku tiba-tiba bergetar sendiri, apinya menurun, lalu mati begitu aja.
Sekali lagi, gelap total.
Seketika, hawa kamar berubah dingin banget.
Ada suara napas. Berat. Di belakangku.
Aku nggak berani noleh.
Tapi suara itu makin dekat, kayak seseorang yang berdiri persis di belakang kupingku.
“Nis…”
Aku membeku.
Suara itu… suara Arga.
Yang baru dua hari lalu ninggalin aku.
Kupikir aku halu, tapi aku jelas dengar namaku dipanggil dengan nada yang sama kayak waktu dia masih manis-manisnya dulu.
Aku pelan-pelan noleh.
Dan di sana, di pojok kamar, aku lihat sesuatu.
Siluet laki-laki berdiri, tubuhnya kaku, kepalanya agak miring. Bajunya basah kuyup, seperti habis kehujanan. Tapi yang bikin aku hampir pingsan adalah wajahnya — pucat, matanya kosong, dan dari lehernya menetes darah hitam pekat.
Aku mundur, nabrak meja, lilin jatuh.
“Arga…?” suaraku nyaris nggak keluar.
Dia cuma menatapku, tanpa ekspresi.
Lalu suaranya lirih banget, tapi jelas.
> “Kenapa kamu nggak datang waktu aku minta tolong…”
Aku bengong.
“T-tolong apa?”
> “Aku nunggu kamu malam itu…”
Kata-katanya bikin aku merinding. Malam itu — malam waktu dia kirim pesan terakhir. Aku ingat, dia bilang mau ngomong langsung, tapi aku malah ngambek dan milih diam.
Dan besok paginya, aku dapat kabar: Arga meninggal kecelakaan di jalan menuju rumahku.
Aku jatuh duduk, nangis tanpa suara. Tubuh Arga makin lama makin kabur, tapi tatapan matanya tetap menusuk.
> “Kamu janji mau ketemu aku, Nis…”
“Sekarang aku datang.”
Suara itu makin pelan, sampai akhirnya cuma ada suara hujan lagi di luar sana.
Aku sendiri. Lilin udah padam. Tapi entah kenapa, kamar masih bau tanah basah — kayak aroma dari kuburan.
Aku nyalain lampu senter dari ponsel begitu listrik nyala. Tapi di meja, aku lihat sesuatu yang bikin aku kaku: foto aku dan Arga, yang dulu udah aku buang ke tong sampah, sekarang tergeletak rapi di sana.
Dan di ujung fotonya, ada bekas lumpur kering…
serta tulisan samar:
> “Terima kasih udah ninggalin aku.”