Senja di sekitar Bontang Kuala sore itu berwarna jingga pekat, seperti luka yang belum kering. Langit memantulkan warna orange di permukaan air, sementara angin laut berembus membawa aroma asin yang berpadu dengan bau laut yang khas. Di sepanjang jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah di atas air, suara tawa anak-anak menggema, riang, dan bebas seolah tak ada beban.
Namun, di ujung jembatan itu, seorang gadis SMP termenung menatap laut yang tenang. Rambutnya diterpa angin yang lumayan kencang hingga berantakan. Namanya Halea, gadis yang terlalu sering diminta jadi sempurna, padahal ia hanya ingin tenang seperti laut di hadapannya.
Sejak kecil, Halea dikenal cerdas dan rajin. Ia anak semata wayang dari Pak Bani dan Bu Rina, pasangan sederhana yang menggantungkan hidup pada laut. Setiap subuh sebelum matahari naik, ayahnya berangkat melaut, sementara ibu nya membantu menjemur ikan dan menjual hasil tangkapan ke pasar kecil dekat rumahnya.
Halea tumbuh di tengah nasihat-nasihat ayahnya yang terdengar sederhana. Pak Bani selalu menasihati Halea untuk belajar dengan sungguh-sungguh, agar kelak hidupnya bisa lebih baik dari sang ayah.
Awalnya, Halea menerima nasihat itu dengan semangat. Ia belajar tanpa henti, memahami dan mengerjakan soal-soal pelajaran sampai larut malam. Ia ingin membanggakan ayah dan ibunya serta menjadi orang satu-satunya yang bisa mengubah nasib keluarganya.
Namun, seiring waktu berjalan. Semangat itu perlahan menjadi beban. Setiap pulang sekolah, teman-temannya bermain di jembatan kayu, berlarian sambil memercikkan air keran satu sama lain. Halea hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya. Di luar sana, suara tawa menggema, sementara di kamarnya hanya ada sunyi, lembar-lembar tugas, dan suara detak jam yang semakin lambat. Ia sangat ingin ikut bermain, tetapi ayahnya melarang dan menyuruhnya belajar
Kadang, Halea berbisik pada dirinya sndiri , "kenapa belajar selalu terasa seperti hukuman?" Tapi pertanyaan itu hanya berani ia simpan di dalam hati.
Hari itu, sepulang sekolah, langkahnya terasa berat. Di tangannya tergenggam kertas ulangan matematika dengan angka 78 di pojok kanan atas. Ia tahu, ayahnya tak akan puas. Nilai itu bukan buruk, tapi bagi ayahnya, semua yang tak sempurna berarti gagal. Halea menatap angka itu lama, padahal ia sudah belajar keras untuk ulangan matematika ini seperti biasa, tapi entah mengapa nilainya turun. Sesampainya di rumah, ia diam-diam menyelipkan kertas itu di antara buku-buku pelajaran di meja, berharap ayahnya tidak melihat. Tapi nasib berkata lain.
Malamnya, saat ia sedang belajar di kamarnya, suara langkah berat terdengar. Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Ayahnya, Pak Bani, berdiri di ambang pintu sambil membawa kertas ulangan tadi gang di sembunyikannya.
"Ini apa, Halea?" Suaranya datar, tapi dingin.
Halea menatap kertas itu dengan mata membesar, "A-ayah dapat dari mana?"
"Dari meja belajarmu, kenapa di sembunyikan?"
Halea menelan ludah, "M-maaf Itu nilai ulanganku, yah..."
Pak Bani menatap angka itu lalu menghela napas panjang.
"Kau sudah belajar tiap sore dan malam, tapi hasilnya begini juga? Kau tidak serius ya? Dan pasti main-main dikelas kan?!"
"Aku nggak main-main, yah. Dan aku serius dalam belajar...."
"Belajar serius tapi nilai nya turun begini?! Dunia ini nggak nunggu orang yang malas, Lea! Jangan kamu tahu nya cuma main aja terus!" Ucap Pak Bani membentak.
Suara ayahnya menggema di dalam rumah. Ibu yang sedang mencuci piring sehabis makan malam pun segera menghampiri.
"Pak, jangan keras keras. Mungkin Halea capek belajar terus-menerus sampai nggak sempat istirahat." Ucap Bu Rina dengan pelan berusaha menenangkan Pak Bani.
"Capek?!" suara Pak Bani meninggi sambil menatap tajam ke arah Halea dan Bu Rina.
"capek berus alasannya?! Dunia nggak akan peduli kita capek atau nggak, bu, Halea! Kalau Lea terus berlindung di balik kata capek, Lea nggak akan jadi apa-apa nanti!"
Air mata menetes di pipi Halea, ia tak berani lagi menjawab. Pak Bani keluar dari kamarnya dengan emosi yong memuncak, menarik Bu Rina bersamanya untuk keluar, Lalu menutup pintu kamar Halea dengan keras dan menguncinya. Halea terlonjak kaget dan hanya bisa duduk terpaku dengan kepala tertunduk. Dadanya sesak, seolah ada yang menekan dari dalam.
Di depan pintu kamor Halea yang sudah terkunci, Bu Rina Menatap pintu itu dengan tatapan yang sendu,"maafin ayah ya, nak..." Lirihnya, sebelum akhirnya menyusul suaminya.
Malam semakin larut, rumah sudah sunyi. Halea membuka jendela kamarnya perlahan, melangkah keluar tanpa suara. Angin laut menyapa wajahnya. la berjalan menuju Jembatan kayu di belakang rumah, tempat ia sering duduk menatap laut.
laut terbentang tenang di bawah cahaya bulan, Riak-riak air yang bergelombang Membiaskan cahaya perak, menciptakan tarian indah di permukaan air. Halea duduk di tepi jembatan, memeluk lututnya sendiri, sambil menatap air di bawah kakinya.
"mungkin diam disini satu-satunya cara aku bisa tenang." Bisiknya pelan.
Waktu berlalu tanpa terasa. Halea menutup matanya, membiarkan angin laut memenangkan dadanya yang lelah. Di dalam pikirannya, suara ayahnya masih bergema, la menunduk dengan air mata yang terus keluar. Ia ingin dimengerti bukan dihakimi. la ingin sesekali dipeluk tanpa harus disalahi. Ia ingin didengar bukan dituntut.
Suara deburan ombak menelan setiap heiaan napasnya. Ia menarik lututnya lebih dekat ke dada, berusaha melindungi diri dari rasa sakit yang bahkan tak bisa ia jelaskan. Angin laut berembus makin kencang, menggoyangkan rambutnya yang terurai.
Dari kejauhan, suara langkah terburu-buru terdengar di atas papan kayu. Suara itu berat dan tergesa, milik seseorang yang sedang cemas. Pak Bani dan Bu Rina berjalan menyusuri jembatan kayu dengan wajah yang panik. Sejak tadi, mereka menyadari Halea tak ada di kamarnya, setelah Bu Rina berusaha membujuk dan menasihati Pak Bani bahwa perkataan nya kepada Halea itu tidak baik dan sudah keterlaluan. Pak Bani pun menyesal dan ingin bertemu dengan Halea. Namun setelah pintunya dibuka, Halea tidak ada di kamarnya, hanya ada jendela yang terbuka dan buku-buku yang berserakan di meja.
"Lea!" Suara Bu Rina memecah sunyi malam, "Nak, kamu dimana?"
Halea mendengar, tapi tak menoleh dan menjawab. Ia takut jika ia menatap mereka, air matanya akan semakin deras. Ia hanya duduk diam, memandangi laut, membiarkan bunyi langkah dari kedua orang tuanya mendekat sedikit demi sedikit.
Ketika akhirnya mereka tiba di ujung jembatan kayu belakang rumah mereka, Pak Bani berhenti beberapa langkah di belakang, menatap punggung kecil putrinya yang terguncang oleh isak. Dadanya sesak melihat anaknya seperti itu. Bu Rina berjongkok di samping Halea, tangannya gemetar saat menyentuh bahu anaknya.
"Nak, pulang ya, sudah malam. Anginnya dingin, nanti kamu sakit." Ucap sang ibu dengan pelan dan lembut.
Halea menoleh perlahan. Matanya semabab, wajahnya pucat diterpa cahaya bulan.
"Aku mau di sini saja, di sini tenang, Bu..." Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Pak Bani menelan ludah, lalu maju satu langkah tepat di samping kiri Halea. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya gelisah, antara rasa bersalah dan kasih sayang yang sudah lama tertahan. Ia pun duduk di samping Halea, memandangi laut yang sama.
"Ayah nyari kamu dari tadi. Ayah takut kalau kamu kenapa-kenapa." Ucapnya pelan, hampir berbisik.
Halea menatap ayahnya lama. Ada luka yang belum sembuh dimatanya.
"Aku cuma ingin ayah dengar dan mengerti aku sekali saja.... Bukan cuma nilai ku yang ayah lihat." Ucapnya dengan suara yang serak akibat menangis terlalu banyak.
Pak Bani menarik napas panjang, suara laut menenggelamkan jeda panjang diantara mereka. Ia ingin berkata banyak hal, tapi yang keluar hanya, "Maafin ayah, nak.. ayah cuma ingin kamu sukses."
Bu Rina tersenyum tipis menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca, "sudah ya, ayo pulang, angin makin kencang."
Halea berdiri perlahan, lalu meraih tangan ibunya. Pak Bani ikut berdiri, dan tanpa pikir panjang, ia memeluk Halea, pelukan pertama setelah hanya ada jarak dan diam diantara mereka.
Dalam pelukan itu, ada kehangatan yang akhirnya kembali dan air mata. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti. Semua marah, kecewa, dan lelah seakan larut bersama angin laut yang berembus pelan.
Suara Pak Bani terdengar parau, namun tulus. Ia berucap, "Mulai malam ini, ayah gak bakal maksa kamu lagi, Lea. Ayah cuma mau kamu belajar secukupnya, bukan sampai kamu capek. Yang penting kamu bahagia. Tidak apa-apa kalau tidak sempurna, tidak apa-apa kalau kamu butuh istirahat."
Air mata Halea menetes lagi, tapi kali ini bukan karena sakit, melainkan karena lega. Kata-kata itu seperti membebaskannya dari beban yang selama ini menekan dadanya. Ia menatap ayahnya, lalu tersenyum kecil, senyum yang selama ini jarang terlihat diwajahnya.
"Makasih, ayah. Aku janji akan tetap belajar." Ucapnya dengan wajah yang bahagia.
Bu Rina menatap keduanya lembut, lalu merangkul suami dan anaknya. Mereka bertiga berjalan pulang bersama, menyusuri jembatan kayu. Setiap langkah seperti menandai awal baru, bukan lagi tentang tuntutan tapi tentang pengertian dan kasih sayang yang tumbuh perlahan.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Halea tidur tanpa tangisan. Ia tahu besok pagi hidup nya mungkin masih sama, masih ada sekolah, masih ada belajar. Tapi kini semua terasa lebih ringan karena ia telah diperbolehkan untuk istirahat ketika capek ataupun bermain dengan teman-temannya.