Berada di tengah kebisingan, bukan hal yang baru untuknya. Dirinya yang terlihat tampak mungil, hanya bisa terus berjalan tanpa sebuah sayap. Berbeda dengan peri lainnya yang kehadirannya selalu tampak istimewa. Bukan lagi mencari daya tarik atau pun perhatian, dirinya hanya ingin didengar tanpa banyak alasan.
Sayapnya yang selalu bersembunyi, tak bisa dirinya kepakan begitu saja. Karena baginya, sayapnya itu sangat berharga. Bukan terbuat dari berlian atau pun sutera, melainkan hanya terbuat dari lapisan dedaunan kering yang sudah tak berguna. Dirinya selalu berdo'a, jika kelak sayapnya itu berguna untuk membantu sesama manusia.
Langkahnya itu tetap berjalan, tanpa peduli dengan sekitar. Hingga sosok peri lain datang menyapa dan membuatnya gemetar. Peri yang terlihat sempurna dari penampilan. Bahkan tak pernah redup dari sorotan. Sayapnya yang terbuat dari sutera, berkilau bagaikan rembulan. Bukan hanya saat terang saja, tetapi saat berada di antara kegelapan.
Dirinya hanya menunduk menatapnya malu, seperti tak pantas untuk bertemu. Bahkan mendengar suaranya pun terasa sesak, seperti ada kilatan yang menyapa dalam gemuruh.
"Bagaimana bisa dirimu memilih berjalan tanpa sayap?"ungkap peri lain itu tanpa ada rasa. Bukan rasa kagum atau pun peduli, tetapi rasa yang sudah menggores hati. Bukan juga luka atau pun air mata, dirinya terima dengan lapang dada. Tanpa ada jawaban yang terlontar, dirinya terus berjalan berusaha untuk tetap tegar.
Sesampainya dirinya di bumi, dirinya menatap sekitar penuh tanya. Tak ada siapapun yang dirinya kenal disana. Bahkan semua manusia berlalu lalang melewatinya. Dirinya terus mencari penanya itu yang terjatuh beberapa waktu yang melintasinya.
"Dimana dirimu wahai penaku?"
Dirinya bergumam dalam riuh, dirinya bertahan di tengah gemuruh. Rasa lelah, letih, dan sempat hilang arah, dirinya masih tetap terus berjalan. Berharap dirinya bisa menggunakan sayapnya itu untuk satu tujuan, yaitu menemukan kembali pena dalam dekapan.
Hingga langkahnya terhenti tepat di tengah perkotaan, menatap gedung yang tinggi menjulang, lampu yang terang benderang, dan sungai yang sedikit tenang. Malam itu menjadi malam yang panjang untuk dirinya terdiam menatap rembulan, diantara persimpangan dua jalan, dan menatap bayangan yang terpantul dalam perairan.
"Apakah ada yang peduli padaku di tempat ini?"
"Tentu ada"
Pantulan bayangan lain ikut menyelinap ke dalam lamunannya. Sosok yang tinggi dengan jaket hitam yang menyelimutinya dan sebuah tote bag yang berada di salah satu genggamannya.
"Siapa namamu?"
"Panggil saja aku peri kecil"
"Nama panggilan yang unik. Namaku adalah Aksara"
"Namamu juga indah, seperti sebuah tulisan yang memiliki sejuta harapan"
Tak ada kalimat lagi terlontar, dirinya beralih terdiam menatap langit. Jika kedatangannya ke bumi, sepertinya adalah luka untuk semua. Hingga sebuah kertas Aksara berikan padanya.
"Tulis saja semua harapanmu, siapa tahu Sang Langit mendengarmu"
Dirinya masih terdiam menatap kertas kosong itu, seketika Aksara sedang mendengar isi hatinya yang masih terus berbicara. Sebuah pena yang tak asing, tiba-tiba saja mendarat tepat dihadapannya.
"Tulislah"tegasnya kembali menyelinap ke dalam lamunannya. Dengan senyum yang mulai terpancar dari bayangannya, Aksara menatapnya lega. Jika dirinya telah menemukan pemilik penanya.