Prolog – “Tentang Aku dan Waktu”
Aku tidak tahu pasti kapan pertama kali mulai memahami kehidupan.
Mungkin bukan saat aku lahir, bukan pula saat pertama kali belajar mencintai,
melainkan ketika aku mulai berhenti melawan rasa sakit.
Dulu, aku mengira kehidupan hanyalah tentang bagaimana cara bertahan dari segala hal yang menyakitkan.
Tapi semakin aku tumbuh, semakin aku sadar — hidup juga tentang belajar memaknai setiap peristiwa,
baik yang indah maupun yang membuat dada terasa sesak.
Aku tumbuh dalam doa dan nasihat sederhana dari orang tuaku:
“Takdir milik Tuhan, tetapi doa dan usaha milik kita.”
Dari kata-kata itu aku belajar bahwa hidup bukan tentang menunggu mukjizat,
melainkan tentang melangkah pelan, meski jalannya penuh batu.
Dan di sela langkah-langkah itu, aku belajar tentang cinta.
Cinta yang dulu kupikir hanya tentang tawa dan rindu,
ternyata juga tentang kesabaran, tentang kehilangan, dan tentang memilih untuk tetap lembut meski dunia terasa keras.
Aku mengenalnya pertama kali saat masih remaja — cinta yang polos, belum tahu luka.
Lalu waktu memperkenalkanku pada sisi lain: bagaimana rasanya kecewa, ditinggalkan, dan belajar percaya lagi.
Hingga akhirnya aku bertemu seseorang dari Bandung.
Dan entah kenapa, kota itu selalu menjadi titik temu antara masa lalu dan masa kini.
Dulu, Bandung adalah tempat aku belajar luka —
tapi kini, Bandung juga menjadi tempat aku belajar sembuh.
“Bandung adalah luka dan Bandung juga adalah obat.”
Kalimat itu kutulis suatu malam, ketika hujan jatuh pelan dan pikiranku penuh kenangan.
Aku menyadari bahwa hidup selalu membawa dua sisi:
yang melukai dan yang menyembuhkan,
yang datang dan yang pergi,
yang membuat menangis dan yang mengajarkan untuk tersenyum lagi.
Dan di antara semua itu, aku berdiri —
masih muda, tapi dengan hati yang telah belajar banyak.
Aku tidak tahu bagaimana akhir dari perjalanan ini,
apakah aku akan berjalan bersamanya menuju rumah yang sama,
atau berpisah dengan damai saat takdir berkata cukup.
Yang aku tahu, aku ingin terus menulis.
Menulis agar setiap luka punya arti,
agar setiap kehilangan tidak sia-sia,
dan agar orang-orang yang membaca nanti tahu:
bahwa hidup ini bukan tentang siapa yang tinggal,
melainkan tentang siapa yang membuat kita tetap ingin bertahan.