Tak ada ruang lagi untuk dirinya melangkah—pengap,redup,dan hanya ada satu pelita yang tersorot. Dirinya membeku menatap celah itu, berharap kilaunya bisa bersinar disana, bersama udara, air, dan tanah berlapis tikar hijau.
Kebisingan yang terbesit tak hanya di benak dan di batinnya itu, hanya bisa menggema dalam diam (penuh tanya, penuh ungkap, dan penuh fakta), bahwa dirinya juga mudah rapuh, mudah retak, dan mudah pecah layaknya kepingan kertas yang tak bisa kembali utuh. Dari balik semburat bayangnya itu juga terdapat ribuan perasaan tanpa pernah bisa terucap dan hanya suara ketukan langkahnya yang membekas dalam diam. Bukan berarti dirinya tak mengetahui apapun yang terlintas, tetapi dirinya tak ingin menjadi sorot di tengah keramaian tanpa batas.
Dirinya lebih memilih bersembunyi dibalik waktu, bukan karena dirinya kalah atau pun mengalah, tetapi karena dirinya ingin menjaga beberapa perasaan dalam genggamnya, tenangnya, dan do'anya.
Karena langkahnya harus penuh kehati-hatian, bukan untuk mencari perhatian, bahwa satu detak suaranya mungkin bisa memecahkan suasana dalam keriuhan.